Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Rumah Lama

Aku memandang ke arah luar, dari dalam mobil Ford hitam milik ayahku yang sedang melaju di jalanan kota Florida yang cukup lengang. Kota yang dijuluki sebagai negara bagian matahari ini umumnya memiliki cuaca yang cerah, terutama di awal bulan Agustus seperti saat ini. Matahari tampak bersinar begitu teriknya, panas dan menyengat. Persis seperti apa yang ada di ingatanku, tiga tahun yang lalu.

Saat itu, terakhir kalinya aku memijakkan kaki di kota ini, aku masih seorang siswi SMA yang baru menyelesaikan tahun pertamaku. Lalu, tiba-tiba Ayah membawaku dan ibuku pindah ke California, karena urusan pekerjaannya. Jadi, mau tidak mau aku harus mengucapkan selamat tinggal pada semua kenangan yang kumiliki di kota ini.

Sebenarnya, aku tidak memiliki banyak kenangan semasa SMA dulu. Kenangan tentang bermain dengan banyak teman, memiliki satu atau dua orang sahabat, datang ke berbagai pesta di malam akhir pekan, memiliki liburan musim panas yang sangat menyenangkan. Aku tidak memiliki kenangan-kenangan semacam itu, bahkan tidak satu pun.

Dan mirisnya lagi, satu-satunya kenangan semasa SMA yang kumiliki justru tak ingin kuingat-ingat lagi. Kenangan yang setidaknya berawal sangat manis, meskipun berakhir begitu pahit. Kenangan yang terpaksa harus kukubur dalam-dalam, dan berharap takkan pernah muncul dalam benakku lagi.

Seperti yang sudah kubilang, aku benar-benar tak ingin mengingatnya lagi. Jadi, aku tidak akan menjelaskan lebih jauh tentang apa yang ada di dalam kenangan itu. Cukup sudah. Mari kita mengukir kisah yang baru di tempat yang lama.

Dulu, Ayah membawa kami pindah dari kota ini karena urusan pekerjaan. Dan kini, ia membawa kami kembali dengan alasan yang sama. Rencananya, Ayah dan Ibu akan tinggal di rumah lama kami yang selama ini dibiarkan kosong. Sementara, aku akan tinggal di asrama kampus, begitu perkuliahan kembali dimulai setelah libur musim panas yang panjang.

Beberapa saat yang lalu, aku adalah seorang mahasiswi tahun pertama di salah satu universitas di California. Dan, saat pertengahan Agustus nanti, aku akan menjadi mahasiswi pindahan tahun kedua di salah satu universitas di Florida.

Sejujurnya, pindahan kali ini rasanya tidak sama dengan pindahan sebelumnya. Jika sebelumnya, aku bisa pindah dengan mudahnya karena memang tidak banyak hal yang kumiliki di Florida. Pindahan kali ini justru sebaliknya, terasa cukup berat, karena di California sana aku memiliki seorang sahabat.

Namanya Jennifer, atau yang biasa kupanggil Jenny. Aku mengenalnya saat masih menjadi siswi SMA tahun ketiga di sekolah baruku di California. Kami satu sekolah, tapi beda kelas. Dia yang pada saat itu merupakan anggota tim pemandu sorak dan salah satu gadis populer di sekolah, entah bagaimana menemukan gadis introvert sepertiku dan berhasil merubahku. Meskipun, jelas bukan berubah menjadi salah satu gadis populer sepertinya. Namun, setidaknya ia berhasil mengeluarkan sisi lain dari diriku yang lebih baik dan tidak membosankan. Singkat cerita, kami berteman baik, menjadi sahabat dan kebetulan diterima di satu perguruan tinggi yang sama.

Memikirkan Jenny seperti ini, sudah membuatku merindukannya. Jelas ia juga terkejut dengan rencana pindahan yang mendadak dan tak pernah disangka ini. Semalam, aku mendatangi rumahnya untuk berpamitan. Kami sama-sama merasa kehilangan, sedih dan banyak berpelukan. Namun ia berjanji, akan selalu menyempatkan waktu untuk mengobrol denganku melalui panggilan telepon dan mengunjungiku saat musim liburan tiba. Meskipun kini kami berjarak lebih dari 2500 mil, tapi hal tersebut tidak boleh mempengaruhi persahabatan kami.

"Selamat datang kembali di rumah!", seru Ayah dari belakang kemudinya, ketika mobil kami tiba di halaman depan sebuah rumah yang masih tampak familiar.

Aku dan Ibu turun dari mobil, melangkahkan kaki menuju beranda rumah. Sementara Ayah menurunkan koper-koper milik kami dari bagasi mobil, lalu membawanya menuju beranda.

"Ayo, masuk!", serunya lagi, membuka pintu rumah dengan kunci di tangannya.

Kami masuk ke dalam rumah lama kami. Rasanya seperti memutar kembali kenangan demi kenangan saat kami masih tinggal disini. Tidak heran, aku menghabiskan enam balas tahun usiaku tinggal di rumah ini, apalagi Ayah dan Ibu, yang tentu saja lebih lama dari itu.

"Hmm, aku tidak menyangka akan kembali ke rumah penuh kenangan ini.", kata Ibu, sambil tersenyum.

Rumah ini memang menyimpan banyak kenangan, terlebih untuk Ibu. Ibuku adalah seorang perancang busana yang kini namanya cukup tersohor. Sebelum sesukses sekarang ini, dulunya Ibu berjuang keras dari titik paling rendah, dimana rumah ini menjadi saksinya. Ibu menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar dan berlatih, hingga memiliki koleksi pakaian sendiri yang dulu dijualnya di sebuah butik pakaian kecil di Tampa.

"Yah, Bu, aku ke kamar dulu.", sahutku, menyeret sebuah koper besar berwarna pastel milikku menuju kamar lamaku di atas tangga

Aku tercengang, menatap ke seluruh punjuru kamar lamaku yang masih tampak sama persis seperti saat kutinggalkan. Sebuah ranjang yang cukup besar dengan nakas di sebelahnya, sebuah lemari pakaian kayu berwarna cokelat, sebuah meja dan komputer lamaku, juga beberapa komik jepang kesukaanku. Berada di dalam kamar lamaku rasanya seperti kembali ke masa lalu saat usiaku masih belasan tahun. Apalagi sehari sebelum kami tiba disini, Ayah memesan jasa layanan Home Cleaning untuk membersihkan debu-debu yang menempel selama rumah ini kosong. Jadi, begitu kami tiba, setiap sudut rumah tampak bersih seperti saat kami masih tinggal di rumah ini.

Jarum jam menunjukkan tepat pukul dua belas siang, saat aku meliriknya di atas pergelangan tangan kiriku. Aku mencoba mencari kesibukan, apa yang sekiranya bisa kulakukan di tengah hari seperti ini. Sebab, kedua mataku rasanya terlalu segar untuk tidur siang sekarang. Lalu, tiba-tiba aku teringat Jenny.

Aku mengambil ponsel milikku yang beberapa saat lalu kusimpan di dalam tas selempang kecil berwarna cokelat terang yang kini tergeletak di atas ranjang lamaku. Kularikan ibu jari tangan kananku di atas layar ponsel itu untuk mencari nama Jenny di kontak telepon. Kemudian, menekan salah satu ikon dengan gambar telepon untuk menghubunginya.

Tuuuut... tuuuutt... tuuuuttt...

"Halo,Nora!", seru Jenny dari balik panggilan telepon, dengan suara yang terdengar sangat berantusias.

"Hai, Jenny!", balasku.

"Sudah sampai?"

"Baru saja."

"Bagaimana? Apa kamu sudah merindukanku?", godanya.

"Tentu saja. Belum apa-apa aku sudah merindukan komentar-komentar pedasmu, Jenn.", jawabku, balik menggodanya.

"Hei! Aku melakukannya demi kebaikanmu.", protesnya. Membuatku tak kuasa menahan tawa.

"Ya. Tentu aku tahu itu."

"Jadi, bagaimana? Apakah Florida jauh lebih baik daripada disini?"

"Tanpamu? Tentu saja tidak. Belum ada sehari saja aku sudah merasa bosan."

"Kalau begitu, kemarilah, Nora! Ayo kita pergi berpesta di rumah Lily malam ini!"

"Hmm, sepertinya aku akan melewatkan malam yang menyenangkan kali ini."

"Benar sekali! Padahal aku ingin mengenalkanmu dengan kekasihku yang tampan dan seksi."

"Siapa? Mike?"

"Ugh, jelas bukan! Aku sudah memutuskannya semalam."

"Hah? Kenapa?"

"Dia terlalu pencemburu. Dia bahkan melarangku pergi berpesta lagi."

"Mungkin dia mengkhawatirkanmu, Jenn. Kamu gadis cantik dan populer di kampus, dan pasti banyak pria yang mengincarmu."

"Hmm, jangan membelanya, Nora!"

"Haha. Baiklah. Maaf! Jadi siapa kekasihmu yang seksi dan tampan yang kamu maksud tadi?"

"Stefan."

"Stefan? Stefan Jonas?"

"Yup!"

"Jenn? Apa kamu bercanda?"

"Aku serius, Nora."

"Tapi, kamu tahu kan kalau dia itu badboy?"

"Percayalah, Nora! Berpacaran dengan badboy jauh lebih menarik dan menantang. Kurasa, kamu juga harus mencobanya."

"Ya Tuhan! Tidak, terimakasih!"

"Haha. Baiklah. Kalau begitu biar aku saja."

Obrolanku dan Jenny kian lama terasa kian mengasyikkan. Memang begitulah kalau sudah mengobrol dengannya. Tidak pernah sekalipun obrolan kami terasa membosankan. Bahkan seringkali kami sampai lupa waktu, sebab rasanya waktu berjalan cepat sekali.

"Nora! Turun dulu, Sayang! Saatnya makan siang."

Dengan terpaksa aku mengakhiri obrolan kami yang semakin menarik ini, begitu kudengar suara Ibu memanggilku dari bawah dan kulirik jarum jam yang sudah menunjukkan lewat pukul dua siang. Ibu menyuruhku turun ke bawah untuk makan siang bersamanya dan Ayah.

Saat aku turun ke bawah, di atas meja makan sana sudah tersaji hidangan makan siang kami yang berupa roti isi keju panggang dan sup tomat. Tebakanku, pasti Ibu memesannya secara online dan mendapatkannya melalui jasa layanan antar makanan. Sebab, tadi kami memang belum sempat pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan.

"Ibu dengar ada yang baru saja mengobrol begitu asyiknya.", kata Ibu, tiba-tiba, saat kami sedang menyantap makan siang kami. Aku tahu kalimat itu pasti ditujukan untukku.

"Ah, iya. Tadi aku bertelepon dengan Jenny. Dia menitipkan salam untuk Ibu dan Ayah.", jawabku.

"Maaf karena pekerjaan Ayah membuatmu jauh dari sahabatmu.", sahut Ayah.

"Tidak apa-apa, Yah. Kami masih bisa bertelepon atau saling berkunjung saat libur panjang."

"Atau kalian bisa pergi berlibur berdua ke suatu tempat yang bagus. Nanti Ayah bisa mengaturnya untuk kalian."

"Wah, terdengar menyenangkan!"

"Ide yang bagus, Sayang!", sahut Ibu, tersenyum pada Ayah.

"Anggap saja itu sebagai permintaan maaf Ayah karena sudah membuat kalian harus berpisah."

"Terimakasih, Yah."

Obrolan di meja makan kali ini berlangsung tidak cukup lama. Kami hanya membicarakan seputar pekerjaan Ayah, rencana Ibu untuk kembali membuka butik pakaian disini, juga rencanaku tinggal di asrama kampus dan berkuliah di sana saat pertengahan Agustus nanti.

Setelah menghabiskan makan siang dan menyelesaikan obrolan kami, Ayah dan Ibu bersiap-siap pergi ke supermarket untuk membeli beberapa barang dan bahan makanan. Sementara aku kembali ke kamar, mengeluarkan semua pakaian dan barang-barang yang ada di dalam koper besar milikku, lalu menatanya ke dalam lemari cokelat lamaku dan beberapa tempat lainnya.

Setelah itu, aku merebahkan tubuhku di atas ranjang, sambil memainkan ponsel yang tergeletak tepat di sampingku. Ku buka pesan masuk dari Jenny. Dia mengirimiku foto dirinya bersama kekasih barunya yang bernama Stefan, sedang berciuman di dalam mobil. 'Tampan, seksi, dan pencium yang hebat. Bagaimana? Sudah tertarik?', tulisnya.

'Terimakasih atas review-nya, Jenn. Tapi, tidak. Simpan saja untuk dirimu.', balasku sambil tersenyum.

Begitulah Jenny. Dia dan dunianya selalu tampak menarik dan menyenangkan. Tapi, jangan salah paham dengannya. Dia memang bukan gadis polos, lugu atau semacamnya. Kamu tidak akan menemuinya di perpustakaan, toko buku, atau perkumpulan mahasiswa teladan. Karena, jelas bukan seperti itu dirinya.

Dia adalah Jenny. Gadis populer dengan rambut pirangnya yang indah dan parasnya yang cantik, yang suka berpesta, memiliki sederet mantan kekasih dan menyukai hal-hal yang menarik dan menantang dalam hidupnya. Dan yang terpenting, dia adalah seorang sahabat yang selalu ada dalam setiap suka-duka, menjadi pendengar yang baik, loyal, apa adanya dan tidak pernah menghakimi apapun yang kulakukan atau menjadi keputusanku. Jadi, seharusnya itu menjadi alasan yang cukup, kenapa aku sangat menyayanginya.

Aku dan Jenny saling berkirim pesan. Dia banyak membicarakan tentang hubungannya dengan kekasih barunya yang ia bilang tampan, seksi dan pencium yang hebat itu, juga tentang pesta di rumah Lily nanti malam yang sepertinya akan menyenangkan. Hingga tanpa sadar rasa kantuk mulai menguasaiku dan membuatku tertidur di atas ranjang lamaku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!