Aku, Ghea Ardella, hanyalah seorang gadis pecinta sastra,menulis mimpi di antara bait-bait senja,
terobsesi pada harapan yang kupanggil dream,dan pada seorang pria yang kusebut my last love.
Dia, pria asal Lampung yang tak pernah kusentuh secara nyata,hanya hadir lewat layar,namun di hatiku dia hidup seperti nyata.
Aku tak tahu,apakah cinta ini bersambut,
atau hanya berlabuh pada pelabuhan kosong.
Mungkin di sana,ia sudah menggenggam tangan wanita lain,sementara aku di sini, masih menunggu,seperti puisi yang kehilangan pembacanya.
Tapi bagiku
dia tetaplah cinta terakhir,
meski mungkin hanya akan abadi
di antara kata, kiasan,
dan sunyi yang kupeluk sendiri.
Terkadang aku bertanya pada semesta, apakah dia benar takdirku?atau hanya persinggahan yang diciptakan untuk menguji hatiku?
Ada kalanya aku merasa dia adalah jawaban,
namun di sisi lain,ada bisikan yang membuatku ragu.
is he really mine, or just a beautiful illusion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thalireya_virelune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
rasa yang hambar
Aku pun menangis hingga tanpa sadar tertidur malam itu.Dalam hati aku berdoa, semoga luka ini ikut berakhir bersama mimpi yang hancur.
Namun, keesokan harinya aku terbangun.
Mataku terasa berat, bengkak karena air mata semalam.
Sesaat aku hanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Rasa sakit itu masih ada, bahkan lebih menusuk karena aku sadar ,aku masih hidup, dan harus kembali menanggung semuanya.
Aku terbangun di jam enam subuh,Tanpa pikir panjang, aku langsung meraih ponselku. Jantungku berdegup kencang ketika melihat ada pesan baru dari Reza, pesan yang semalam tak sempat aku baca.
“Yaudh lah gua blok ae ya,” begitu tulisnya.
Tanganku bergetar. Sejenak aku hanya menatap layar, mencoba mencerna setiap huruf yang terasa seperti belati menusuk dadaku. Aku ingin marah, kecewa, benci, tapi di sisi lain masih ada cinta yang diam-diam menggenggam erat.
Dengan emosi yang campur aduk, aku pun mengetik balasan.
“Silahkan, gak ada yang nyuruh juga lo nge-chat gue lagi? Urusin aja tuh cewek lo. Berantem sama cewek lo, nge-chat lagi ke gue. Tapi pas bahagia sama dia, lo ninggalin gue.”
Aku tahu kenapa aku menulis begitu karena jauh di dalam hati, aku yakin dia memang sudah punya cewek di Lampung sana. Entah Nancy, atau perempuan lain yang tak pernah ia sebut namanya. Aku pun tidak tahu, dan mungkin tak akan pernah tahu.
Aku menatap layar ponselku lagi. Pesan yang kukirim hanya centang satu. Tidak ada tanda terkirim.
Aku terdiam, tubuhku terasa lemas seketika. Apa benar dia sudah ngeblok aku? pikirku.
Perasaan itu seperti jurang yang tiba-tiba terbuka di bawah kakiku.
Di satu sisi aku marah, ingin berteriak sekeras-kerasnya karena sudah diperlakukan seperti sampah. Tapi di sisi lain, hatiku masih menolak percaya. Masih ada secuil harapan bodoh yang berbisik, mungkin sinyalnya jelek, mungkin dia sibuk, mungkin bukan benar-benar ngeblok aku.
Pagi itu aku berusaha menata diriku sebaik mungkin. Meski mataku masih sembab karena tangisan semalam, aku tetap mengenakan seragam sekolah dengan rapi, mencoba menyembunyikan luka di balik senyum yang dipaksakan.
Sesampainya di sekolah, langkahku terasa berat. Semua terasa biasa saja bagi orang lain, tapi dalam hatiku badai masih belum reda.
Saat istirahat tiba,aku menceritakan perihal ini kepada yena.
“Yen…” ucapku lirih sambil menatap meja kelas.
Yena langsung menoleh dengan wajah penasaran. “Kenapa lagi, Ghe? Mukamu pucet banget.”
Aku menarik napas panjang, lalu menceritakan semuanya tentang chat semalam, tentang kata-kata Reza yang menusuk hatiku, tentang centang satu yang membuatku yakin dia benar-benar ngeblok aku.
Yena terdiam sesaat, lalu menatapku iba. “Ya ampun, Ghea kenapa sih kamu masih mau mikirin dia? Padahal jelas-jelas dia udah nyakitin kamu berkali-kali.”
Aku hanya bisa menunduk. “Aku gak tahu, Yen,aku benci dia, tapi aku juga masih cinta. Aku kayak orang bodoh.”
Air mataku hampir jatuh lagi, tapi Yena cepat-cepat menggenggam tanganku. “Udah, jangan nangis di sekolah. Kamu kuat kok, Ghea. Percaya deh, suatu hari nanti kamu bakal ketemu orang yang jauh lebih baik dari dia.”
Aku menunduk dalam, suaraku bergetar. “Tapi aku gak bisa, Yen, dia itu cinta terakhirku.”
Yena menghela napas panjang, menatapku penuh iba namun juga kesal. “Emangnya apa sih, Ghea, yang bikin kamu jatuh cinta segitunya sama dia? Dia udah nyakitin kamu berkali-kali, padahal dia gak pernah ngasih kamu kebahagiaan yang nyata.”
Aku terdiam, menatap kosong ke arah luar jendela kelas. “Entahlah…” bisikku lirih. “Mungkin karena aku terlalu buta, mungkin karena aku gak pernah ngerasain cinta yang sesakit ini sebelumnya. Dia datang tiba-tiba, bikin aku ngerasa berarti, terus pergi seenaknya. Tapi justru dari semua luka itu aku tetap jatuh lagi.”
Yena menatapku lama, lalu berkata dengan suara lembut tapi tegas, “Ghea, jangan sampe kamu ngorbanin hidupmu cuma buat orang yang gak peduli sama kamu. Cinta gak seharusnya bikin kamu tersiksa kayak gini.”
Aku menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang mulai jatuh. “Aku tahu, Yen aku tahu banget. Tapi hatiku gak bisa berhenti milih dia. Kayak udah dikutuk.”
Yena mendekat, menggenggam tanganku erat.
“Ghea, denger aku ya. Cinta itu bukan kutukan. Kamu yang bikin diri kamu sendiri terjebak. Kamu pikir dia cinta terakhirmu? Nggak, Ghea. Dia itu cuma persinggahan yang salah, yang nyakitin kamu.”
Aku menggeleng pelan, air mata mulai jatuh. “Tapi Yen, kalau bukan dia siapa lagi? Rasanya gak ada yang bisa gantiin.”
Yena menatapku dengan mata tajam, wajahnya penuh ketegasan.
“Ghea, jangan pernah bilang gitu lagi. Dunia ini luas, ada banyak orang yang bisa bikin kamu bahagia tanpa harus nyiksa kamu dulu. Kamu cantik dengan caramu, kamu berharga banget. Reza itu cuma orang yang gak pernah sadar kalau dia udah dapet berlian, dan malah nganggep kamu kerikil.”
Aku terdiam, jantungku serasa diremas. Kata-kata Yena seperti menamparku.
“Apa kamu mau selamanya jadi mainan dia?” Yena melanjutkan, suaranya bergetar tapi tetap tegas. “Mau selamanya jadi ‘gratisan’ buat seseorang yang bahkan gak pernah ngasih kamu rasa aman?”
Aku menarik napas panjang, lalu tersenyum getir.
“Aku gak bodoh, Yen. Aku tahu selama ini aku dipermainkan. Aku tahu kalau Reza nggak pernah benar-benar mencintaiku. Tapi cintaku ke dia, Yen, itu menantang logika yang nyata. Aku nggak bisa jelasin kenapa itu bisa terjadi.”
“Mungkin orang lain bakal bilang aku gila. Mungkin semua orang nganggep aku tolol karena masih sayang sama orang yang udah berkali-kali nginjek harga diriku. Tapi rasa ini nggak bisa aku hapus begitu aja. Rasanya udah jadi bagian dari diriku.”kataku melanjutkan.
Yena menghela napas panjang, lalu memelukku erat. “Kalau begitu, jangan biarin cinta itu bikin kamu hancur, Ghea. Kalau pun kamu nggak bisa berhenti mencintai dia sekarang, setidaknya cintailah dirimu lebih dulu.”
Aku menghela napas dalam, lalu tersenyum tipis meski hatiku terasa begitu rapuh. Dalam diam, batinku berbisik lirih.
“Apakah jika aku secantik perempuan tercantik di dunia, Reza akan mencintaiku dengan tulus? Atau jangan-jangan, tetap saja aku akan jadi mainannya, meski wajahku secantik bidadari sekalipun?”ujar batinku.
Sepanjang hari itu terasa begitu hambar, seolah waktu berjalan tanpa arti.
Suara guru di kelas hanya terdengar bagai gumaman yang lewat tanpa bisa ku cerna. Tawa teman-temanku pun tak mampu sedikit pun menyentuh hatiku,yang rapuh ini.
Setiap detik, aku merasa jiwaku hanya berjalan tanpa tujuan. Tidak ada warna, tidak ada rasa, hanya kehampaan yang semakin menyesakkan dada.