Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.
Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.
Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sehabat
Di tengah kegundahan itu, ponsel Ratna berdering. Ia meraih dari dalam tas, menatap layar yang menampilkan nomor baru. Harapannya sederhana: itu pasti Naya. Dengan cepat, layar digeser ke atas.
“Hallo, Sal. Aku di depan kost kamu!”
Belum sempat membalas, Ratna terkejut. Naya ternyata sudah menunggu di luar. Tanpa peduli penampilannya yang acak-acakan, gadis itu langsung melesat keluar kamar dan berlari menuruni tangga. Ia membuka gerbang secepat kilat.
Benar saja, Naya berdiri di seberang jalan, tersenyum sambil melambaikan tangan. Ratna menutup gerbang kembali, lalu bergegas menghampiri sahabatnya itu yang malam ini tampak sangat rapi.
“Loh, kamu kok bisa ada di sini, Nay?” tanya Ratna, mata berbinar heran. Dari mana Naya tahu kostnya?
“Ya ngikutin kamu lah dari tadi. Kamu terlalu fokus, sih. Gimana kalau yang ngikutin orang jahat?” jawab Naya santai, sambil menyeringai.
Ratna terkekeh. Memang tadi ia pulang tanpa menoleh kanan-kiri atau ke belakang. Namun, kini rasa penasaran kalah oleh kebahagiaan—akhirnya ada teman untuk bercerita, bukan hanya berkutat dengan buku diary kosong.
“Kayaknya kamu habis nangis. Mau ikut nggak? Aku tahu tempat yang bisa bikin stres hilang, loh,” kata Naya sambil menepuk punggung Ratna.
Mata Ratna menyipit, ragu sejenak. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Naya sudah menariknya berjalan menyusuri jalanan malam yang masih ramai kendaraan. Baru pukul tujuh malam, cahaya langit masih temaram sore.
Akhirnya, mereka berbelok ke sebuah jalan yang menuju jembatan. Ratna mengikuti langkah Naya tanpa banyak bicara. Tak terasa, mereka memasuki area hutan bambu yang gelap. Satu-satunya cahaya berasal dari sorot flash ponsel yang Naya nyalakan.
“Kamu ngapain ngajak aku ke sini, Nay?” tanya Ratna panik, mata bergerak cepat menelusuri gelapnya hutan bambu. Ia takut, tiba-tiba ada sosok menyeramkan muncul. SeLama ini, kemampuan Ratna melihat sosok gaib selalu ia sembunyikan—dan ia belum pernah bercerita kepada siapapun.
Hening menyelimuti sekeliling mereka. Naya tetap melangkah mantap menyusuri jalan sempit, di kanan-kiri tumbuh rumput liar yang hampir menutupi setapak.
“Nah, di sini,” kata Naya, menunjuk pohon beringin besar dengan akar-akar menjulur keluar. Ratna merasa ngeri, apalagi melihat sulur-sulur pohon yang menjalar hampir setengah batang pohon. Dari pengalamannya, tempat seperti ini biasa disukai makhluk gaib seperti genderewo.
“Serem banget, Nay,” bisik Ratna sambil menyilang tangan dan mengusap lengan sendiri, mencoba menenangkan rasa takutnya.
“Serem apanya? Santai aja, di sini nggak ada setan. Aku sering ke sini, kok. Pulang dari sini, otakku langsung fresh,” jawab Naya sambil terkekeh. “Udah, sini duduk!”
Akhirnya Ratna mengikuti arahan Naya. Mereka duduk terdiam, seolah tersesat di tengah kegelapan yang hanya ditemani suara burung malam. Tidak terlihat kehidupan di sekitar, bahkan sepertinya binatang pun enggan lewat di tempat itu.
“Kamu sedih kenapa, Sal? Dibully lagi?” tanya Naya, memecah keheningan yang tebal.
Ratna hanya mengangguk, wajahnya mendadak sendu. “Mereka jahat banget.”
“Bukan cuma mereka yang jahat, dunia ini juga jahat. Oyah, kalau lagi frustrasi kayak gini, kamu suka kepikiran bunuh diri, nggak?” Naya bertanya begitu saja, seolah tanpa beban.
Ratna menatap hening ke arah gelap, berpikir sejenak sebelum menjawab, “Sejauh ini belum sampai ke pikiran itu. Aku cuma pengin capai cita-citaku dulu… jadi Dokter. Pasti ibuku senang kalau aNaknya berhasil.”
“Oh, iya,” Naya hanya tersenyum kecil.
“Kamu belum jawab pertanyaan aku, Nay. Ngapain ngajak aku ke tempat kayak gini?” Ratna menoleh, menatap sahabatnya penuh ingin tahu sekaligus curiga.
Naya menoleh, wajahnya yang pucat bersinar di bawah remang lampu, matanya tampak sendu seolah menyimpan banyak rahasia. Ia menatap Ratna, lalu berkata lembut, “Kadang kita butuh suasana sepi, Rat. Di sini, kita bisa berbaur dengan alam. Sekali-kali, kamu juga perlu melampiaskan kemarahan dengan melakukan sesuatu.”
“Maksudnya?” Ratna bertanya, sedikit kebingungan.
“Yaa… apa saja yang bisa bikin hati kamu lega dan puas. Paham, kan?” jawab Naya sambil tersenyum tipis.
Ratna hanya mengangkat bahu. Ucapan Naya terlalu berat untuk dipahami saat itu, apalagi dengan hatinya yang masih waswas, takut-takut ada sesuatu yang muncul dari kegelapan sekitar.
“Ish, kamu mah lemot, Ratna! Pokoknya kamu harus sering main sama aku. Nanti aku tunjukin cara-cara ngelepasin beban hidup kamu. Salah satunya kayak gini—jalan malam,” Naya menimpali dengan nada bercanda, tapi ada tekad di sorot matanya.
Ratna mengangguk polos. Ia tahu, yang dibutuhkannya hanyalah seseorang yang mau mendengarkan segala keluh kesahnya. Selama bersama Naya, rasanya aman, walau malam gelap dan sunyi.
Sementara itu, di tempat lain, kegaduhan terjadi. Bu Mely histeris ketika memasuki kamar Vani. Gadis itu tergeletak di lantai, mulut berbusa, dengan selendang melilit lehernya. Suasana mencekam. Apa yang sebenarnya terjadi?