NovelToon NovelToon
Immortality Through Suffering

Immortality Through Suffering

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Spiritual / Balas Dendam / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:6.8k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.

Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.

Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.


Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di kejar Kultivator Core formation

Saat pemikiran Lin Meihua masih melayang dengan perkataan Xu Hao, tubuhnya yang melesat di udara tiba-tiba tertarik kuat, lalu ditangkap dengan sigap oleh Chen Wuji yang berdiri tegak di atas pedang terbangnya. Nafas Lin Meihua terengah, tubuhnya masih bergetar karena serangan akar darah sebelumnya, namun suara Chen Wuji terdengar tegas.

"Sukurlah junior tidak terluka."

Lin Meihua terkejut sejenak, lalu tersadar sepenuhnya. Matanya membelalak dan wajahnya pucat ketika ia teringat sesuatu.

"Senior, teman Su masih terjebak di dalam goa. Kita harus cepat menyelamatkannya!" Suaranya bergetar, ada desakan cemas di balik nada dinginnya.

Chen Wuji menatap lurus ke depan, matanya tajam namun penuh keraguan. Ia menggelengkan kepalanya perlahan, sorotannya berat.

"Tunggu. Tungku itu adalah jebakan kultivator Soul Transformation. Kita bahkan bisa mati seketika jika masuk kembali. Kita selamat hanya karena keberuntungan. Apa kau ingin cepat mati, junior?"

Lin Meihua terdiam, bibirnya bergetar. Namun matanya dipenuhi air yang tak sempat jatuh.

"Tapi... bagaimana dengan teman Su..." katanya lirih, seakan bicara kepada dirinya sendiri.

Chen Wuji menghela napas panjang. Tatapannya suram, namun nada suaranya tegas seperti besi.

"Kita tidak bisa menyelamatkannya. Jika suatu hari kita bertemu lagi, dia akan memaklumi keputusan ini. Kita tidak punya pilihan."

Lin Meihua menunduk, giginya menggertak pelan. Ia mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Tubuhnya bergetar, bukan karena ketakutan, melainkan karena rasa tidak berdaya yang menyesakkan.

"Apa... dia bisa selamat dari goa itu?"

Chen Wuji menatap langit yang mulai mendung, seakan menimbang sesuatu di dalam hatinya.

"Itu semua tergantung keberuntungannya. Tidak ada yang bisa memastikan."

Hening sejenak menguasai udara. Lin Meihua akhirnya menarik napas dalam, lalu mengeluarkan pedang terbangnya dengan gemetar. Cahaya hijau berkilau di bawah kakinya, namun wajahnya tetap suram.

Chen Wuji memandanginya sebentar, lalu berkata singkat.

"Ayo kembali ke sekte."

Lin Meihua hanya mengangguk. Ia tidak lagi membantah. Mereka berdua pun melesat menembus langit, meninggalkan goa yang kini sunyi menakutkan.

Sementara itu, di dalam goa yang mencekam, Xu Hao masih terjebak dalam lilitan akar darah. Tubuhnya terikat erat, nyaris tak bisa bergerak. Nafasnya memburu, matanya merah, urat-urat di lehernya menegang. Ia terus meronta, namun semakin kuat ia melawan, semakin erat akar itu melilit tubuhnya.

Akar-akar itu terasa dingin, namun berdenyut seperti daging hidup, setiap sentuhannya menusuk kulit dan menyalurkan energi jahat ke tubuhnya. Xu Hao mengerang pelan, namun tatapannya tetap dingin dan tak menyerah.

Ketika lilitan itu semakin mempersempit ruang geraknya, Xu Hao tiba-tiba membuka mulut dan menggigit keras akar yang menutupi bahunya. Rasa amis dan besi memenuhi lidahnya. Darah pekat dari akar itu mengalir deras ke dalam mulutnya, namun ia tetap menggigit, mencabik, dan menelan dengan paksa.

Ia melakukannya dengan cepat, bukan dengan nafsu makan, melainkan dengan tekad bertahan hidup. Setiap kunyahan seperti perjuangan melawan kematian itu sendiri.

Akar-akar berdarah itu bergetar seakan kesakitan, perlahan melonggar, lalu satu per satu melesat kembali ke dalam tungku kotak di tengah goa. Xu Hao terlepas, tubuhnya jatuh terduduk di tanah dengan nafas terengah. Tangannya gemetar, tubuhnya penuh bekas luka merah, namun matanya tetap bersinar dengan api tekad.

Dengan langkah gontai, ia menyeret tubuhnya ke arah tungku itu. Tungku hitam itu berdiri diam, namun darah kental di dalamnya tampak berputar seakan hidup. Xu Hao menatapnya sejenak, lalu tanpa ragu memasukkan tangannya.

Sekejap, darah di dalam tungku seperti tersedot masuk ke tubuhnya. Cairan itu mengalir deras, memenuhi meridian dan otot-ototnya, membuat tubuhnya bergetar hebat. Tungku bergetar keras, seolah menolak kehilangan isinya. Namun Xu Hao tetap menggertakkan giginya, membiarkan setiap tetes darah pekat itu terserap.

Tak lama, darah di dalam tungku habis tersedot sepenuhnya. Getaran tungku pun berhenti, meninggalkan keheningan mencekam. Xu Hao terduduk di sampingnya, punggungnya bersandar pada tungku dingin itu.

Ia mengangkat kepalanya, memandang langit-langit goa yang kini sudah pulih tanpa bekas kehancuran. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya, meski tubuhnya masih bergetar.

"Sukurlah... mereka selamat," ucapnya lirih, suaranya parau, namun penuh kelegaan.

Xu Hao perlahan mengangkat tubuhnya dari tanah lembab goa. Setiap sendi masih terasa berat seakan darah pekat yang tadi melilitnya belum sepenuhnya hilang dari uratnya. Nafasnya berdesir kasar, namun matanya tetap tajam, penuh dengan kilau dingin. Ia menoleh sekali lagi pada tungku hitam, yang kini tampak tenang, seolah tak pernah ada gejolak darah yang mengerikan sebelumnya.

Tatapannya menangkap sesuatu di dasar tungku. Sebuah cincin hitam dengan ukiran samar, hampir tertutup lapisan darah kering. Xu Hao menyipitkan mata, lalu mengulurkan tangannya. Begitu cincin itu berada di telapak tangannya, hawa dingin menjalar cepat hingga ke lengan. Ia bergumam lirih, suaranya rendah dan dingin, “Cincin penyimpanan.”

Ia menyalurkan sedikit Qi ke dalamnya. Ruang kosong yang luas terasa di dalam kesadarannya. Tidak ada benda berharga, tidak ada pil, tidak ada senjata. Kosong, hampa, namun justru itu membuat bibirnya sedikit terangkat. “Bagus. Aku bisa menyimpan banyak barang di sini,” ujarnya singkat.

Xu Hao lalu membuka kantong kain yang tergantung di pinggang. Ia mengeluarkan dua pil putih bercahaya lembut, serta beberapa inti beast yang tadi dibagikan oleh Chen Wuji. Dengan gerakan sederhana namun penuh tekad, ia memindahkan semuanya ke dalam cincin penyimpanan itu. Cahaya kecil berkedip di permukaan cincin, menandakan benda-benda itu telah tersimpan sempurna.

Setelah itu, tatapannya kembali jatuh pada tungku hitam. Ada keinginan aneh untuk menjadikannya milik pribadi. Ia menyalurkan Qi, mencoba memindahkan benda itu ke dalam cincin penyimpanan. Namun tak ada reaksi. Xu Hao bahkan sempat mencoba mengangkatnya dengan kedua tangan, ototnya menegang hingga urat-urat di lengan menonjol. Tapi tungku itu sama sekali tidak bergeming, seolah tertanam ke dalam bumi.

Dahi Xu Hao berkerut tipis, lalu ia menghela napas. “Sudahlah. Tidak perlu repot-repot.” Suaranya tenang, namun sorot matanya menandakan ia sudah menandai benda itu dalam ingatannya.

Xu Hao berbalik menuju sudut goa, tempat tanaman spiritual tumbuh. Aroma lembut memancar dari keempat tanaman dengan jenis yang berbeda. Daun-daunnya berkilau samar, batangnya berdenyut seperti hidup, seakan merasakan kehadirannya. Xu Hao menatap tajam, lalu meraih satu per satu tanaman itu. Getaran lembut mengalir dari akar mereka saat ia mencabutnya, seolah tanaman itu menolak dipisahkan dari tanah. Namun kekuatan tangannya tak memberi pilihan. Semua dimasukkan ke dalam cincin penyimpanan.

Xu Hao berdiri sejenak, membiarkan tatapannya menyapu seluruh goa. Udara lembab, bau darah, dan kilauan samar batu roh di dinding. Ia melangkah menuju lorong sempit. Di tengah jalan, perhatiannya tertumpu pada deretan batu roh yang bersinar hijau kebiruan. Pandangan matanya mengeras. “Ini yang kuincar sejak awal,” gumamnya pelan.

Tangannya terulur hendak meraih, namun tanah bergetar keras. Dinding goa bergemuruh, batu-batu kecil berjatuhan. Seakan seluruh tempat itu akan runtuh jika ia berlama-lama. Xu Hao segera menarik tangannya kembali, tubuhnya melesat tanpa ragu. Ia berlari melalui lorong panjang yang berguncang. Nafasnya teratur meski kecepatan larinya meningkat tajam, langkahnya ringan seperti bayangan yang menembus kabut.

Kilauan cahaya putih di ujung lorong semakin dekat. Xu Hao merasakan sedikit ketenangan. Begitu ia menembus keluar, pintu goa di belakangnya tertutup rapat dengan suara berat, lalu kembali menyatu dengan dinding batu. Seolah-olah goa itu tak pernah ada.

Xu Hao berdiri di depan pintu batu yang kini sudah tertutup. Wajahnya dingin, tapi seberkas rasa lega melintas di matanya. “Aku tidak terjebak. Itu sudah cukup.”

Xu Hao tidak tinggal diam. Tubuhnya langsung melesat, menembus rimbunnya hutan yang dipenuhi kabut pagi. Ranting-ranting melesat di sisi wajahnya, tanah yang lembab tak mampu menghambat kecepatannya. Napasnya tenang, langkahnya stabil, namun dalam hatinya ia tahu tempat itu terlalu berbahaya untuk didiami.

“Tidak bisa berlama-lama di daerah ini,” gumamnya, suaranya datar tapi penuh tekad. “Jika seorang kultivator Soul Transformation datang, aku hanya akan menjadi mangsa.”

Xu Hao berlari semakin cepat, tubuhnya seperti anak panah yang menembus barisan pohon tinggi. Matahari perlahan naik, namun hutan justru semakin gelap, rimbun, dan penuh bayangan.

Akhirnya, Xu Hao menghentikan langkahnya di bawah sebuah pohon besar yang rimbun. Batangnya lebar, cabang-cabangnya kokoh. Ia melompat ringan ke atas, naik ke salah satu dahan besar. Dari sana, pandangan matanya menyapu jauh ke arah barat, menembus kabut tipis hutan.

Ia duduk bersila, punggungnya bersandar pada batang pohon yang dingin. Nafasnya mulai melambat, tubuhnya tenang meski hati dan pikirannya masih berputar. Ujung matanya menyipit, seolah mengingat wajah Lin Meihua dan Chen Wuji yang telah meninggalkan dirinya.

Namun tidak ada penyesalan di sorot mata itu. Hanya tekad yang semakin pekat, bercampur dengan hawa dingin yang menekan. Ia menutup matanya perlahan, membiarkan kabut Qi merah muncul tipis di sekeliling tubuhnya.

Malam itu hutan terasa seperti mulut raksasa yang hendak menelan siapa saja. Angin malam berdesir membawa bau lembap tanah bercampur darah binatang buas. Suara auman dan lolongan beast spiritual saling bersahutan, membuat bayangan pepohonan seakan bergerak hidup.

Xu Hao melanjutkan perjalanan nya, dan berlari kencang. Napasnya teratur meski tubuhnya diguyur keringat dingin. Setiap langkah kakinya menjejak tanah dengan ringan, seperti bayangan yang meluncur di antara batang-batang pohon. Namun tiba-tiba, sebuah tangan besar muncul dari balik pohon di depannya. Xu Hao mengangkat kedua tangannya untuk menahan. Tubuhnya terhantam mundur tiga langkah, telapak tangannya terasa panas dan kesemutan.

Dari balik pohon, seorang pria muda muncul. Rambutnya acak-acakan, jubahnya compang-camping seolah sudah lama tidak diganti, namun matanya memancarkan cahaya tajam. Aura Core Formation tahap akhir memancar liar, menekan udara di sekitarnya.

"Dasar bocah berani masuk ke sini seorang diri," katanya dengan suara serak. "Cepat serahkan cincin penyimpananmu. Mungkin aku akan membiarkanmu hidup."

Xu Hao hanya menatap sekilas. Tanpa sepatah kata pun, ia memutar tubuh dan melesat lagi.

Pria itu tertawa dingin, lalu menginjak pedang terbang di bawah kakinya. Dalam sekejap, tubuhnya meluncur mengejar Xu Hao dari atas. "Heh, bocah kecil, kau pikir bisa lari dariku?"

Xu Hao tidak panik. Ia tahu perbedaan kultivasi terlalu jauh. Jika bertarung, ia pasti mati. Maka satu-satunya jalan adalah melarikan diri dengan kelicikan. Ia sengaja berlari zig-zag di antara pepohonan, tubuhnya menekuk, melompat, merunduk, memanfaatkan celah batang dan akar pohon untuk menghalangi jalur pedang terbang.

Beberapa kali, ia tiba-tiba berhenti mendadak lalu melesat ke arah berlawanan. Pria itu yang meluncur di udara terpaksa mengerem pedangnya dengan kasar. Wajahnya mulai mengeras.

Xu Hao juga sengaja melintasi sarang-sarang binatang spiritual kecil. Seekor ular hitam melompat dari semak ketika terganggu, membuat pedang pria itu hampir terhantam. Sekali waktu Xu Hao menendang sebuah batu besar ke arah udara, memantulkannya ke arah pria itu. Batu itu memang tidak mampu melukai, namun membuat jalur pedang terbangnya terguncang.

"Heh, beraninya kau mempermainkanku," pria itu menggeram.

Xu Hao tidak menjawab. Ia terus berlari, sesekali menoleh untuk menilai jarak. Dalam hatinya, ia sengaja tidak berlari secepat mungkin. Ia ingin memberi kesan bahwa dirinya sedang terpojok. Namun setiap kali pria itu mencoba mendekat, Xu Hao selalu menemukan cara untuk menyelinap ke jalur yang sulit diikuti.

Ketika melihat sungai kecil di depan, Xu Hao langsung melompat ke dalamnya. Air dingin memercik tinggi. Ia segera menyelam dan berenang deras mengikuti arus. Dari atas, pria itu menggeram frustasi. Ia tidak bisa melihat jelas karena aliran sungai gelap tertutup dedaunan.

"Bocah busuk! Kau pikir bisa sembunyi begitu saja? Aku akan memburumu sampai mati!" teriak pria itu, suaranya bergema keras di tengah hutan.

Xu Hao muncul lagi puluhan meter di hilir sungai. Nafasnya berat, namun matanya menyala dingin. Ia tahu pria itu semakin marah. Semakin marah, semakin besar kemungkinan melakukan kesalahan. Itu adalah satu-satunya kesempatan baginya.

Air menetes dari rambut dan tubuh Xu Hao saat ia merangkak keluar dari sungai yang deras. Nafasnya terengah, namun matanya tidak kehilangan ketajamannya. Ia segera menjejak tanah, melesat masuk ke dalam hutan gelap dengan langkah secepat mungkin. Di belakangnya suara tawa pria berambut acak-acakan itu masih terdengar, tajam dan mengejek.

"Berhenti saja, bocah. Serahkan cincinnya, aku akan biarkan kau hidup!" teriak pria itu sambil melayang rendah dengan pedang terbangnya. Aura Core Formation tahap akhir menekan udara, membuat ranting-ranting bergoyang.

Xu Hao tidak menoleh. Dalam hatinya ia tahu satu pukulan langsung bisa mematahkan tulangnya. Namun semakin dekat bahaya, semakin dingin pikirannya bekerja. Pandangan matanya sempat menangkap bayangan besar di kejauhan. Seekor binatang spiritual berkulit hitam legam, setinggi tiga pohon, tubuhnya berotot, mata merah menyala bagaikan bara api. Nafasnya saja membuat daun-daun di sekitarnya layu.

Itu jelas binatang spiritual setara Nascent Soul Akhir.

Xu Hao menahan napas sejenak. Senyum tipis melintas di wajahnya. Ia sudah menemukan cara untuk meloloskan diri.

Ia segera mengubah arah, berpura-pura panik. Kakinya menghantam tanah keras sehingga meninggalkan jejak-jejak dalam, seolah-olah dirinya melarikan diri sembarangan. Suara injakan sengaja diperkeras, agar pria di belakangnya tidak kehilangan jejak.

Pria itu tertawa semakin keras. "Hahaha, makin kau berlari makin jelas jejakmu! Dasar bocah bodoh!"

Xu Hao tidak menjawab. Ia menurunkan tubuhnya, berlari rendah melewati semak berduri, lalu dengan cepat mematahkan beberapa ranting dan melemparkannya ke arah lain. Ranting itu jatuh dengan keras, menciptakan suara patahan dahan. Sejenak pria itu melirik ke arah suara, tapi kembali fokus mengejar Xu Hao.

Setelah mendekati area sarang binatang spiritual itu, Xu Hao menahan langkahnya sejenak lalu menendang sebuah batu besar. Batu itu menghantam batang pohon hingga hancur dan menimbulkan getaran keras. Suara itu menggema ke seluruh hutan.

Binatang spiritual itu langsung membuka mata merahnya yang menyala. Raungan menggelegar memecah kesunyian malam, membuat tanah bergetar. Xu Hao segera melesat ke arah lain, masuk ke semak lebat, lalu menyelam ke dalam lumpur dangkal untuk menyamarkan auranya.

Pria acak-acakan itu melihat jelas bayangan Xu Hao masuk ke area itu. Ia tersenyum penuh keserakahan, tidak menyadari bahaya yang menunggu. Dengan sombong ia menurunkan pedang terbangnya dan berlari masuk.

Saat itu binatang spiritual yang terganggu sudah bangkit penuh, tubuhnya menjulang tinggi. Suara nafasnya seperti gemuruh petir. Matanya langsung tertuju pada sosok pria acak-acakan yang masuk ke wilayahnya.

"Apa ini…?" pria itu terbelalak, tapi sudah terlambat. Binatang itu mengayunkan lengannya yang sebesar batang pohon, menghantam tanah dengan kekuatan luar biasa. Tanah berguncang, debu dan pecahan batu beterbangan.

Pria itu mengeluarkan pedangnya, mencoba menahan serangan. Namun kekuatan Nascent Soul Akhir terlalu besar. Pedangnya bergetar hebat, hampir terlepas dari tangannya. Tubuhnya terlempar keras ke udara dan menghantam pohon besar hingga hancur berderak.

Xu Hao yang bersembunyi di lumpur menahan senyumnya. Matanya dingin seperti bilah pisau. Ia tahu pria itu akan sibuk mati-matian melawan binatang spiritual itu. Perlahan ia mundur tanpa suara, meninggalkan lokasi dengan hati-hati.

Di belakangnya suara teriakan pria itu menggema, bercampur dengan raungan binatang spiritual yang murka. Bau darah mulai tercium samar di udara. Xu Hao tidak menoleh sedikit pun. Baginya, itu hanyalah hasil dari kelicikan yang tepat di saat yang tepat.

1
Nanik S
Ditunggu upnya tor 🙏🙏🙏
Nanik S
Huo... nekat benar memberi pelajaran pada Pria Tu
Nanik S
apakah mereka bertiga akan masuk bersama
Nanik S
Huo memang Urakan.... memang benar yang lebih Tua harus dipanggil senior
Nanik S
Lha Dau Jiwa sudah dijual
YAKARO: itu cuma tanaman obat kak. bukan jiwa beneran
total 1 replies
Nanik S
Inti Jiwa...
Nanik S
Lanjutkan makin seru Tor
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Makan Banyak... seperti balas dendam saja Huo
Nanik S
Pil Jangan dijual kasihkan Paman Cuyo saja
Nanik S
Mau dijual dipasar tanaman Langkanya
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Ceritanya bagus... seorang diri penuh perjuangan
Nanik S
Cerdik demi menyelamatkan diri
Nanik S
Baru keren... seritanya mulai Hidup
YAKARO: Yap, Thanks you/Smile/
total 1 replies
Nanik S
Mungkin karena Xu Hai telah byk mengalami yang hampir merebut nyawanya
Ismaeni
ganti judul yaa thor?
YAKARO: enggak. Hidup Bersama Duka itu awalnya judul pertama pas masih satu bab, terus di ubah jadi Immortality Though Suffering. malah sekarang di ganti sama pihak Noveltoon ke semula.
total 1 replies
Nanik S
Xu Hai... jangan hanya jadi Penonton
Nanik S
Sebenarnya siapa Pak Tua yang menyelamatkan Hao
YAKARO: Hmm, saya juga penasaran/Proud/
total 1 replies
Nanik S
untung ada yang menolong Xu Hai
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!