Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24. OPERASI
Di rumah sakit, tenaga medis segera menyambut ketika Evan menerobos masuk. Dengan cepat, Lucia dipindahkan ke ranjang dorong.
"Perempuan, usia dua puluhan, tubuhnya dingin, keringat berlebih, nyeri perut hebat!" suara Evan terdengar lantang, hampir seperti instruksi militer.
Para perawat mengangguk, segera bergerak. Namun ketika mereka hendak membawa Lucia masuk ke ruang pemeriksaan, Evan masih menggenggam tangannya erat-erat, enggan melepaskan.
"Sir, kami perlu memeriksanya. Anda harus menunggu di luar," ujar seorang dokter dengan tenang.
Evan terdiam sejenak, lalu menunduk, mencium tangan Lucia sebelum akhirnya perlahan melepaskannya. "Aku akan menunggumu di sini. Kumohon tetaplah baik-baik saja," kata Evan.
Lucia membuka mata samar, menatapnya, lalu mengangguk lemah sebelum ranjang itu didorong masuk.
Di ruang tunggu, Evan mondar-mandir tanpa henti. Wajahnya pucat, kemejanya basah oleh keringat. Ada ketakutan ketika ia melihat Lucia seperti tadi.
Deren dan Clara yang langsung dihubungi oleh Evan segera datang, terkejut melihat keadaan Evan dan juga tentang keadaan Lucia padahal setengah jam lalu masih baik-baik saja
"Apa yang terjadi?" tanya Clara cemas, berlari menghampiri.
"Lucia tiba-tiba panas dingin, kesakitan ... aku tidak tahu apa yang salah," suara Evan pecah, nadanya penuh rasa bersalah. “Aku seharusnya memperhatikan lebih awal."
Clara memegang lengannya, mencoba menenangkan. "Tenang, Evan. Dia sudah ditangani dokter. Kita tunggu hasilnya."
Namun Evan tidak bisa tenang. Matanya terus menatap pintu ruang pemeriksaan, setiap detik terasa seperti siksaan. Dalam benaknya, terbayang wajah Lucia yang tersenyum lembut beberapa jam lalu, kontras dengan tubuh lemah yang ia gendong tadi.
Waktu berjalan lambat. Hingga akhirnya, seorang dokter keluar, melepas masker, lalu menghampiri mereka.
"Bagaimana keadaannya?" suara Evan tercekat.
Dokter itu menatapnya serius. "Kondisinya cukup lemah, tapi kami sudah memberikan penanganan awal. Kami curiga ini infeksi lambung akut, bisa karena makanan atau kondisi tubuh yang menurun. Untung Anda membawanya cepat. Kami akan observasi selama beberapa hari."
Evan menutup mata, menghembuskan napas berat, antara lega dan masih diliputi cemas.
"Boleh aku melihatnya sekarang?" tanya Evan.
Dokter mengangguk. "Satu orang saja untuk sementara."
Evan melangkah masuk.
Lucia terbaring di ranjang putih, wajahnya pucat namun tampak lebih tenang. Selang infus menempel di tangannya, dan sebuah kain basah diletakkan di dahinya. Evan mendekat, duduk di kursi samping ranjang, lalu menggenggam tangannya erat.
"Lucy?" suara Evan bergetar. "Kau menakutiku. Kumohon, jangan lakukan itu lagi.”
Wanita itu membuka mata perlahan, menatap Evan dengan samar.
"Maaf, aku membuatmu khawatir," ucap Lucia.
"Jangan minta maaf. Kau hanya perlu sembuh. Itu saja." Evan menunduk, menempelkan keningnya di punggung tangan Lucia, seolah menarik kekuatan dari sentuhan itu.
Air mata yang jarang sekali muncul di matanya, kini menggenang tipis. Ia tidak peduli lagi pada gengsi atau wibawa. Saat ini, satu-satunya yang ia inginkan hanyalah melihat Lucia kembali tersenyum sehat.
Malam semakin larut, namun Evan tidak beranjak sedikit pun dari sisi ranjang Lucia. Suara mesin monitor jantung berdetak stabil, namun setiap bunyinya justru membuat dada Evan makin sesak. Jemarinya terus menggenggam tangan Lucia, seolah dengan begitu ia bisa mentransfer kekuatan agar wanita itu bertahan.
Clara dan Deren duduk di kursi seberang, menatap dalam diam. Clara beberapa kali menunduk, menahan rasa cemas yang sama. Deren, meski berusaha tenang, tak bisa menyembunyikan sorot matanya yang khawatir.
Ketika semua orang hampir terlelap dalam penantian yang mencekam, pintu kamar pasien kembali terbuka. Seorang dokter masuk, wajahnya serius.
"Mr. Evan, kami sudah melakukan pemeriksaan lanjutan," katanya hati-hati. "Sayangnya, kondisi pasien memburuk. Infeksinya menyebar lebih cepat dari dugaan kami. Satu-satunya jalan adalah operasi segera."
Seakan seluruh udara di ruangan itu tersedot habis.
"Operasi?” suara Evan tercekat. "Seberapa berbahaya?"
Dokter menatapnya dalam-dalam. "Risikonya cukup tinggi mengingat tubuhnya lemah. Tapi jika tidak dilakukan sekarang, infeksi bisa menyebar dan mengancam nyawanya. Kami butuh persetujuan Anda sebagai penanggung jawab.”
Evan berdiri terguncang, matanya langsung beralih ke wajah pucat Lucia yang masih terbaring. Dunia seakan runtuh di sekelilingnya.
Lucia membuka mata samar, mendengar percakapan itu. Bibirnya bergetar, berusaha tersenyum meski tubuhnya lemah.
"Operasi? Lakukan saja. Aku tidak apa-apa," jawab Lucia pelan.
"Tidak apa-apa? Evan hampir berteriak, suara parau penuh ketakutan. "Lucia, ini bukan hal kecil! Aku tidak bisa membiarkanmu-"
"Evan?" Lucia memotong dengan suara lemah, namun tegas. "Aku ingin hidup. Kalau operasi bisa menyelamatkanku ... izinkan aku menjalani itu.”
Ketakutan kembali terjadi Evan, meski ia berusaha keras menahannya. Clara bangkit, mendekat, lalu menyentuh bahu Evan.
"Dia benar, Evan. Ini kesempatan untuk menyelamatkannya. Jangan biarkan ketakutanmu menahannya,"
Evan menunduk, menggenggam tangan Lucia erat, hampir gemetar. “Aku tidak sanggup melihatmu sakit seperti ini."
Lucia menatapnya dalam, senyumnya samar. "Aku juga tidak sanggup melihatmu hancur. Tapi aku janji, aku akan kembali padamu."
Kata-kata itu, meski rapuh, menyentuh hati Evan lebih dalam daripada apapun. Dengan berat, ia mengangguk, lalu menoleh ke dokter.
"Lakukan operasinya. Saya setuju. Tapi kumohon... selamatkan dia bagaimanapun caranya," ucap Evan.
Segera, perawat datang menyiapkan ranjang dorong. Lucia dipindahkan dengan hati-hati. Evan berjalan di sampingnya, tak pernah melepaskan genggaman tangannya.
Di depan pintu ruang operasi, seorang perawat menghentikan langkahnya. "Sir, hanya sampai di sini. Kami akan berusaha sebaik mungkin."
Evan menahan napas, lalu membungkuk, menempelkan bibirnya ke dahi Lucia. Aku akan menunggumu di sini. Jangan tinggalkan aku, Lucia. Kau harus kembali.”
Lucia tersenyum tipis, matanya menutup perlahan. "Aku janji."
Pintu ruang operasi menutup.
Evan terduduk di kursi tunggu, wajahnya tertunduk di kedua telapak tangan. Clara duduk di sebelahnya, sementara Deren berdiri menjaga suasana tetap tenang.
"Dia kuat, Evan,_ ujar Clara, mencoba meyakinkan. "Lucia sudah melewati banyak hal. Dia tidak akan menyerah sekarang."
Evan mengangkat kepalanya, matanya merah. "Aku sudah melihat begitu banyak hal dalam hidupku, tapi tidak pernah setakut ini. Aku rela kehilangan segalanya, Clara. Asal jangan dia."
Clara menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. "Kalau begitu, percayalah padanya. Percayalah pada pilihan yang ia ambil."
Jam terus berdetak. Lima belas menit terasa seperti satu jam, satu jam terasa seperti seabad. Setiap kali lampu tanda operasi di atas pintu menyala merah, hati Evan makin tercekat.
Akhirnya, setelah waktu yang terasa tak berujung, pintu ruang operasi terbuka. Dokter keluar, masih mengenakan masker dan pakaian bedah.
Evan berdiri terburu-buru, jantungnya berdegup kencang. "Bagaimana keadaannya?"
Dokter menanggalkan maskernya, menghela napas panjang. "Operasi berjalan lancar. Kami berhasil membersihkan infeksi yang menyebar di lambungnya. Kondisinya masih lemah, tapi stabil. Ia butuh waktu untuk pulih."
Seakan beban berton-ton terangkat dari pundak Evan. Kakinya hampir goyah, tetapi Clara menopangnya. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh, meski ia cepat-cepat menyekanya.
"Terima kasih, terima kasih, Dokter," suara Evan bergetar penuh syukur.
Beberapa saat kemudian, Lucia dipindahkan ke ruang pemulihan. Wajahnya tetap pucat, namun nafasnya teratur. Evan duduk di sisinya, menggenggam tangannya kembali.
Ia menunduk, suaranya lirih, hampir seperti doa.
"Lucy, kau membuatku setengah mati ketakutan. Jangan pernah lakukan itu lagi. Aku tidak bisa hidup tanpamu," kata Evan.
Meskipun belum sepenuhnya sadar, Lucia menggeliat pelan, jari-jarinya yang lemah menggenggam balik tangan Evan. Gerakan kecil itu cukup untuk membuat air mata baru mengalir di pipinya.
Clara dan Deren berdiri di pintu, menyaksikan dari jauh. Clara tersenyum samar, meski matanya berkaca-kaca. Ia berbisik pada suaminya, "Lihatlah mereka. Meski dengan segala kerumitan, hati mereka saling memilih."
Deren mengangguk, merangkul bahu Clara. "Aku hanya berharap, setelah semua ini, mereka bisa benar-benar menemukan kebahagiaan yang pantas mereka dapatkan."
Dan malam itu, di ruang rumah sakit yang sunyi, Evan tetap duduk di sisi Lucia, menolak bergeser barang sejengkal pun. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, pria yang selalu kuat itu menyadari: ia rapuh jika kehilangan wanita ini. Dan untuk itu, ia akan menjaga Lucia dengan segenap hidupnya.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih