Immortality Through Suffering
Desa Batu Tua berdiri terpencil di batas antara hutan kabut dan pegunungan tak bernama, seakan dilupakan oleh langit dan tak dijamah oleh takdir. Tidak ada sumur spiritual yang mengalirkan Qi murni. Tidak tumbuh tanaman pil yang bisa menyelamatkan jiwa. Tak pula ada bijih logam untuk membentuk pedang abadi. Hanya hamparan ladang gandum yang merunduk lesu, ternak yang kurus hingga terlihat tulangnya, dan manusia-manusia yang hidup lebih dekat dengan tanah lumpur daripada bintang-bintang langit.
Di tempat seperti itu, Xu Hao dilahirkan.
Hingga usianya mencapai empat belas tahun, belum pernah sekalipun telapak kakinya melangkah ke luar dari batas desa. Ia tidak tahu seperti apa rupa gerbang sekte. Ia belum pernah mencium harum pil penyembuh. Ia pun tidak tahu seperti apa rasanya ketika Qi yang agung mengalir lembut dalam meridian tubuh.
Yang ia tahu hanyalah diam, bekerja, dan bertahan dari dunia yang seperti tak menginginkan kehadirannya. Ejekan dan pukulan adalah makanan hariannya. Hari ini pun tak berbeda. Anak dari tetua dusun memukulnya dengan tongkat kayu karena alasan sepele. Tidak ada pembelaan. Tidak ada ampunan. Karena begitulah dunia bekerja bagi mereka yang lahir tanpa berkah Qi.
Langit sore itu tampak bersih, tapi terlalu pucat.
Awan menggantung rendah di ujung cakrawala. Tidak bergerak. Tidak berubah. Seolah-olah langit sedang menahan napas.
Xu Hao duduk di belakang rumah, menumbuk kulit kayu kering menjadi bubuk kasar untuk ramuan ibunya. Bahunya masih terasa perih. Memar lebam menghiasi tulangnya, tapi ia tidak mengeluh. Ia hanya diam, seperti biasanya.
Namun sore itu, dunia mulai berubah.
Bukan dalam keheningan damai, melainkan dalam kesunyian yang begitu tajam, sampai-sampai terasa melukai jiwa. Tidak ada suara jangkrik. Tidak ada gemerisik angin di ladang. Tidak ada langkah kaki dari jalanan tanah. Hanya detak jantungnya sendiri yang bergema nyaring di dalam kepala.
Lalu... angin berhenti.
Daun-daun yang semula melayang perlahan, kini membeku di udara. Langit memucat sepenuhnya. Cahaya seolah diselimuti lapisan tipis kabut putih.
Xu Hao bangkit berdiri. Dadanya terasa sesak. Ia melangkah perlahan menuju depan rumah, melewati pintu bambu yang longgar dan nyaris runtuh. Dalam satu detik berikutnya, hidupnya terbelah seperti cermin retak.
Di halaman tanah yang kering, ayah dan ibunya berdiri kaku. Mata mereka membelalak. Tangan mereka saling menggenggam erat. Terlalu erat. Tapi tubuh mereka bergetar hebat, seakan sedang menahan sesuatu yang tak terlihat oleh mata fana.
Di hadapan mereka, berdiri satu sosok.
Jubah hitam legam membalut tubuhnya, seperti bayangan yang dipadatkan oleh malam. Wajahnya tersembunyi di balik kerudung tipis berwarna arang. Tapi dari balik kain itu, sepasang mata bersinar putih. Bukan putih susu. Bukan putih cahaya. Tapi putih seperti cahaya bulan yang jatuh ke danau mati. Putih yang membuat darah membeku.
Ia tidak berbicara.
Ia tidak mengangkat tangan.
Ia hanya berdiri di sana. Diam. Menatap. Dan dari pandangannya saja, kematian pun datang.
Ayah Xu Hao tiba-tiba terangkat. Tubuhnya melayang beberapa jari dari tanah, seperti dijerat oleh benang tak kasatmata. Matanya meneteskan darah. Hidung dan telinganya mengalirkan cairan merah pekat. Tapi ia tidak berteriak. Mulutnya terbuka tanpa suara.
Ibu Xu Hao berusaha meraih tubuh suaminya. Tapi tangannya tak sampai. Ia hanya bisa menatap, sebelum tubuhnya sendiri mulai menggigil. Darah meledak dari rongga dadanya, mengalir dari tenggorokan, dari pori-pori di bawah kuku. Seakan ada tangan yang mencengkeram jantung mereka dari dalam.
Xu Hao hanya bisa berdiri.
Tubuhnya kaku. Napasnya tercekat. Lidahnya kelu. Dunia mendadak menjadi dingin. Udara menjadi berat. Tapi ingatannya merekam semua itu dengan jelas. Terlalu jelas.
Ayahnya jatuh terlebih dahulu.
Tubuhnya membentur tanah dengan suara tumpul, seperti karung kosong.
Ibunya menyusul. Tubuhnya jatuh perlahan, mata yang membelalak kini mencari Xu Hao.
Ia melihat ke arah putranya.
Ia tahu anaknya melihat segalanya.
Namun ia tidak menangis. Tidak berteriak. Tidak memohon. Hanya tersenyum tipis, lembut seperti embun pagi di daun bunga layu.
Itulah senyuman terakhir.
Tubuhnya jatuh menyentuh tanah, begitu pelan seakan bumi menyambutnya. Tidak ada suara dentuman. Hanya keheningan. Seperti daun yang gugur di musim dingin. Seperti harapan yang layu di hadapan dewa.
Sosok berjubah hitam itu belum bergerak.
Ia menoleh pelan ke arah Xu Hao.
Tatapannya tak menyampaikan ancaman, tapi rasa dingin mengalir begitu saja masuk ke dalam tulang-tulang Xu Hao. Ia tahu, ini bukan manusia. Mungkin bukan makhluk dari dunia yang sama dengannya.
Tak ada kata yang terucap.
Tak ada gerakan. Tak ada tanda.
Hanya pandangan itu. Pandangan yang membuat detak jantung Xu Hao berhenti sejenak. Waktu seakan diam.
Lalu... ia menghilang.
Tanpa suara. Tanpa cahaya. Tanpa jejak.
Seolah ia memang tidak pernah benar-benar ada.
Beberapa saat setelah itu, Xu Hao masih berdiri. Kakinya bergetar. Tangannya menggigil. Ia mencoba melangkah, tapi lututnya lemas. Dunia terasa asing, seperti tubuhnya baru saja dilahirkan kembali di tengah penderitaan.
Ia melangkah satu langkah.
Lalu jatuh berlutut di sisi ibunya.
Darah sudah mendingin di tanah. Tapi wajah ibunya tetap lembut, seperti saat ia membacakan lagu pengantar tidur. Tangan ibunya masih menggenggam tangan ayah Xu Hao. Bahkan dalam kematian, mereka tidak saling melepaskan.
Xu Hao menunduk. Ia mulai menangis. Tidak terisak. Tidak meraung. Tangis yang datang dari kedalaman jiwa, bukan dari suara.
Ia memeluk tubuh mereka, berkata dengan suara parau.
"Ayah... Ibu... jangan mati... Kalau kalian tidak ada... aku harus hidup bersama siapa..."
Tangisnya pecah. Sesak. Berat. Ia menangis seperti anak kecil yang kehilangan seluruh dunianya. Karena memang, bagi Xu Hao, dunia telah runtuh di sore itu. Tanpa suara. Tanpa alasan. Tanpa ampun.
Dan di bawah langit pucat yang kembali diam, seorang anak tanpa Qi, tanpa nama, dan tanpa masa depan… kehilangan satu-satunya cahaya dalam hidupnya.
Langit belum sepenuhnya menghitam saat Xu Hao menyeret langkahnya ke belakang rumah. Angin yang tadi membeku kini kembali bergerak perlahan, namun masih membawa hawa kematian. Cahaya senja berubah menjadi bayangan lembayung yang menyelimuti ladang-ladang sepi. Di tanah keras dan dingin, ia berdiri sendirian. Tak ada suara, tak ada pelukan, tak ada kata-kata penghiburan dari siapa pun.
Tangannya gemetar saat mengambil cangkul tua yang disandarkan pada dinding rumah. Besinya sudah karatan. Pegangannya kasar. Namun itulah satu-satunya alat yang dimiliki keluarga miskin yang tidak pernah mengenal Qi atau teknik spiritual.
Xu Hao mulai menggali.
Tanah belakang rumah mereka keras. Kering. Ada akar-akar tua yang membelit dan menghalangi setiap hentakan cangkulnya. Tapi ia tidak mengeluh. Tidak bersuara. Ia hanya menggali. Peluh membasahi wajahnya. Darah merembes dari telapak tangannya yang lecet. Cahaya matahari pelan-pelan ditelan langit malam, namun Xu Hao tetap menggali.
Ia menggali dua lubang. Satu di sebelah kiri, satu lagi di sebelah kanan. Ia mengukur dengan matanya sendiri, memastikan keduanya cukup dalam dan cukup luas. Satu untuk ayahnya. Satu untuk ibunya. Tidak berjauhan. Tidak terpisah. Mereka akan tetap bersama. Bahkan dalam kematian.
Waktu bergulir. Awan menutupi bulan. Dingin mulai meresap masuk ke kulit. Tapi Xu Hao tidak berhenti.
Barulah saat bayangan malam benar-benar turun, dan tubuhnya hampir roboh karena kelelahan, ia meletakkan cangkulnya. Napasnya tersengal. Tubuhnya gemetar. Tapi matanya masih menyala. Bukan karena semangat, tetapi karena cinta dan luka yang belum sempat sembuh.
Ia melangkah ke dalam rumah. Tubuh ayahnya masih terbaring di tempat semula, darahnya sudah mengering. Dengan kekuatan sisa yang nyaris tak ada, Xu Hao berjongkok, lalu mengangkat tubuh itu perlahan. Tubuh yang dulu selalu membawanya di atas bahu. Tubuh yang dulu melindunginya dari dingin, dari hujan, dari kelaparan.
Langkahnya berat saat membawa tubuh ayahnya ke lubang pertama.
Ia tidak menjatuhkannya. Ia menurunkannya perlahan-lahan. Sekuat tenaga, ia memastikan tubuh itu diletakkan dengan hati-hati. Ketika posisi tubuh ayahnya sudah pas di dalam liang, Xu Hao menunduk, lalu mencium kening dingin yang dulu selalu hangat itu.
Suaranya pecah ketika ia berbisik, "Ayah… Xu Hao sangat menyayangimu. Jika nanti aku mati… aku harap kita bisa bertemu kembali di dunia lain."
Tangisnya pecah. Tapi ia tidak membiarkan tubuhnya goyah. Dengan tangan gemetar, ia mulai menimbun liang itu. Tanah demi tanah ia timpa di atas tubuh ayahnya. Setiap genggam terasa seperti belati yang menancap di dadanya sendiri. Air mata mengalir tanpa henti, bercampur dengan tanah dan darah yang menodai wajahnya.
Setelah kubur itu tertutup sepenuhnya, ia berlutut sebentar. Tangannya menekan tanah yang baru saja ia timbun, seakan berharap bisa menyentuh tubuh ayahnya sekali lagi dari balik bumi.
Lalu ia berdiri. Kakinya lemas. Tapi ia masih melangkah.
Ia masuk ke rumah. Kali ini ia menunduk dan mengangkat tubuh ibunya. Lebih ringan dari tubuh ayahnya. Lebih rapuh. Tubuh yang dulu selalu mendekapnya saat demam. Tubuh yang selalu menggandengnya pulang di musim dingin.
Ia membawa ibunya keluar, menuju lubang yang satu lagi.
Perlahan-lahan ia turunkan. Hatinya terasa ditarik turun bersama tubuh itu. Ia menggigil. Tapi ia tetap mencium kening ibunya. Lebih lama dari sebelumnya. Tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Suaranya pecah dalam keheningan.
"Ibu… kenapa aku ditinggal sendiri? Aku tidak bisa hidup tanpa Ibu… tanpa Ayah…"
Ia memeluk tubuh ibunya, masih di dalam liang kubur. Hidungnya menempel pada baju ibunya. Aroma samar dari jamu dan ramuan yang sering dibuat ibunya masih tertinggal. Aroma yang selalu menenangkan.
"Ibu… Xu Hao berjanji… Xu Hao akan membalaskan kematian Ibu… Tidak peduli berapa lama… Xu Hao pasti akan membayar hutang darah ini dengan darah."
Tangisnya berubah menjadi bisikan penuh tekad. Dari kelemahan lahir kekuatan. Dari luka lahir niat yang membara.
Setelah beberapa saat, ia naik dari lubang itu. Lalu mulai menutupinya. Perlahan-lahan. Sampai liang itu tertutup sempurna. Tanahnya ditekan hati-hati. Dihaluskan dengan telapak tangannya sendiri.
Ketika semua selesai, Xu Hao sudah terlalu lelah untuk berdiri.
Langit malam gelap gulita. Angin berhembus pelan di antara rumput liar. Tapi di antara dua gundukan tanah itu, Xu Hao merebahkan tubuhnya. Ia tidak masuk ke rumah. Ia tidak mencuci darah di wajah. Ia hanya berbaring di tanah, di antara dua makam yang ia gali dengan tangannya sendiri.
Tubuhnya bergetar. Tapi matanya perlahan tertutup.
Dan di malam sunyi itu, di bawah langit yang tidak memberikan jawaban, Xu Hao tertidur. Di antara kematian dan janji. Di antara cinta dan dendam. Tidur anak lelaki yang telah kehilangan segalanya… kecuali kehendak untuk bertahan hidup dan membalas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Ismaeni
baru kali ini baca cerita yang mengena banget dihati,bagus thor ceritanya dan jangan lupa update nya...
2025-08-21
3
WaViPu
Tragis banget thor. Xu Hao cuma diem aja.
2025-08-09
4
Nanik S
Awal yang menarik dan berbeda dengan lainya
2025-08-24
1