Mati sebelum kematian, itulah yang dirasakan oleh Jeno Urias, pria usia 43 tahun yang sudah lelah dengan hidupnya. keinginannya hanya satu, mati secara normal dan menyatu dengan semesta.
Namun, Sang Pencipta tidak menghendakinya, jiwa Jeno Urias ditarik, dipindahkan ke dunia lain, Dunia Atherion, dunia yang hanya mengenal kekuatan sihir dan pedang. Dunia kekacauan yang menjadi ladang arogansi para dewa.
Kehadiran Jeno Urias untuk meledakkan kepala para dewa cahaya dan kegelapan. Namun, apakah Jeno Urias sebagai manusia biasa mampu melakukannya? Menentang kekuasaan dan kekuatan para dewa adalah hal yang MUSTAHIL bagi manusia seperti Jeno.
Tapi, Sang Pencipta menghendaki Jeno sebagai sosok legenda di masa depan. Ia mendapatkan berkah sistem yang tidak dimiliki oleh siapa pun.
Perjalanan panjang Jeno pun dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ex_yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Misi Guild.
Bab 21. Misi Guild.
Angin pagi membawa aroma darah dan daging segar ketika Jeno menyerahkan hasil buruan terakhir kepada Victor. Tangan-tangan terampil si tukang potong hewan bergerak metodis, memisahkan tulang dari daging dengan presisi yang lahir dari pengalaman bertahun-tahun. Suara pisau yang bersentuhan dengan tulang menciptakan ritme yang familiar di gudang pemotongan.
"Berikan aku waktu untuk menyiapkan pembayaran," ujar Calista, matanya masih terpaku pada tumpukan monster yang mengesankan. "Hasil buruan sebanyak ini... bahkan aku perlu menghitung ulang."
Setelah Calista pergi, keheningan gudang terpecah oleh suara langkah kaki yang berat dan berwibawa. Justus, Ketua Serikat Petualang, melangkah masuk dengan mata yang melebar ketika melihat pemandangan di hadapannya. Bangkai-bangkai monster berjajar rapi ada Ursa Karak dengan cakar yang masih berkilat menakutkan, Venom Fang Serpentz yang panjangnya hampir menyentuh langit-langit gudang, dan berbagai binatang buas lainnya yang bahkan petualang berpengalaman akan berpikir dua kali untuk menghadapinya.
"Demi Dewi Fortuna..." Justus berkata dengan napas yang tertahan. "Jeno, kau telah membawa seluruh ekosistem hutan ke sini."
Victor tertawa, suara basnya bergema di ruangan yang dipenuhi aroma metalik. "Tuan Jeno memang luar biasa. Kualitas daging monster-monster ini... koki serikat pasti akan berteriak kegirangan."
Mata Justus berbinar dengan antusiasme yang tulus. "Semakin kuat monster, semakin kompleks rasa dagingnya. Ini akan menjadi pesta kuliner yang tak terlupakan!" Ia berbalik kepada Jeno dengan senyum lebar. "Kembalilah saat matahari tepat di atas kepala. Aku akan meminta koki terbaik kami menyiapkan jamuan istimewa untukmu."
Jeno menggeleng dengan sopan, tangannya menunjuk ke arah daging yang sedang dipotong Victor. "Terima kasih, tetapi aku butuh lima puluh kilo daging yang siap diolah. Aku berencana berburu lagi setelah ini sambil berlatih. Hutan tidak menunggu siapa pun."
Tanpa menunggu jawaban, Justus memberi isyarat pada Victor. "Berikan yang terbaik, dan gratis. Anggap ini sebagai investasi untuk masa depan."
Victor langsung bekerja dengan kecepatan yang menakjubkan. Pisau potongnya bergerak seperti tarian mematikan, setiap sayatan tepat sasaran, setiap potongan sempurna. Bertahun-tahun mengasah keahlian tercermin dalam setiap gerakan tangannya. Jeno mengamati dengan penuh perhatian, matanya mengikuti setiap detail teknik pemotongan.
"Keterampilan ini akan sangat berguna jika aku harus bertahan hidup di hutan," gumam Jeno, lebih kepada dirinya sendiri.
Amelia dan Viconia bertukar pandang heran. "Sungguh aneh melihat seseorang dengan kekuatan luar biasa tertarik pada keahlian tukang potong," bisik Amelia.
"Mungkin dia lebih praktis dari yang kita kira," jawab Viconia dengan nada yang sulit dibaca.
Saat Victor membedah jantung Ursa Karak, kilatan cahaya biru emerald muncul dari dalam. "Batu Sihir kelas tinggi," ujar Victor sembari mengambil kristal yang berkilauan. "Ini milikmu, Tuan Jeno."
Jeno menerima batu sihir itu, merasakan energi yang berdenyut di dalamnya. Kehangatan asing menyebar dari telapak tangannya ke seluruh tubuh.
"Sekarang yang ini," Victor beralih ke Venom Fang Serpentz. "Daging ular ini kelezatan sejati, tetapi..." Ia mengangkat pisau dengan hati-hati. "Satu sayatan yang salah pada kantung empedu, dan seluruh daging menjadi racun mematikan. Perhatikan baik-baik."
Gerakan Victor kini lebih lambat dan berhati-hati. Setiap sayatan dihitung dengan presisi matematika, menghindari organ-organ vital yang bisa merusak kualitas daging. Jeno menyerap setiap detail, otaknya merekam teknik-teknik yang mungkin akan berguna suatu hari nanti.
Suara langkah kaki yang familier menginterupsi konsentrasi mereka. Calista kembali dengan membawa kantung kain berat yang berderak pelan setiap kali bergerak. "Perhitungan sudah selesai," katanya, menyerahkan kantung itu kepada Jeno. "Total keseluruhan: tujuh juta koin perak, yang sebagian besar sudah kami konversi ke koin emas."
Jeno menerima kantung itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ketika ia membuka ikatan tali, kilatan emas 24 karat menyapa matanya. Setiap koin berkilau seperti miniatur matahari, dan untuk sesaat, pikiran Jeno melayang ke masa lalunya di Bumi. "Jika aku masih di sana, satu gram koin emas ini setara dengan dua juta rupiah lebih," pikirnya. "Dan yang terpenting, ini hasil jerih payahku sendiri, bukan hasil korupsi atau kecurangan."
Kebahagiaan yang tulus terpancar dari wajah Jeno, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang mendapat hadiah. Pemandangan ini tidak luput dari pengamatan Amelia dan Viconia.
"Menarik," bisik Amelia, sebuah ide mulai terbentuk di benaknya. "Ternyata dia tidak kebal terhadap pesona kekayaan."
Dengan senyum yang diperhitungkan, Amelia melangkah maju. "Jeno, jika kau mau menjadi pengawal pribadi Putri Eleanor, aku bisa menjamin gaji seribu koin emas setiap bulan. Ditambah tunjangan, fasilitas istana, dan status sosial yang tinggi."
Viconia tidak akan membiarkan Amelia unggul. Dengan langkah yang sama percaya diri, ia berdiri di samping Jeno. "Kerajaan Greaves bisa memberikan sepuluh ribu koin emas jika kau mau bergabung dengan kami. Sepuluh kali lipat dari yang ditawarkan kerajaan kerdil itu."
Mata Amelia menyipit berbahaya. "Wanita yang tidak tahu diri," desisnya. "Kau pikir uang bisa membeli segalanya?"
"Lebih baik daripada sombong tanpa alasan," balas Viconia dengan nada yang sama dingin. "Dikalahkan telak di arena, masih saja berharap mendapatkan kesetiaan seseorang."
"Setidaknya aku tidak menjilat seperti anjing lapar!"
"Lebih baik anjing lapar daripada gagak sombong yang tidak mengenal diri!"
Pertengkaran kedua wanita itu semakin memanas, suara mereka bergema di seluruh gudang. Jeno hanya menggelengkan kepala, fokusnya beralih ke daging yang telah disiapkan Victor. Ia sudah terbiasa dengan drama politik seperti ini, baik di Bumi maupun di Atherion.
Justus terbahak keras, memegang perutnya yang sakit karena tertawa. "Dua Penyihir Agung bertengkar seperti gadis kecil yang berebut mainan. Ini lebih menghibur daripada pertunjukan badut di festival musim panas!"
Jeno bangkit, mengangkat kantung daging yang telah disiapkan. "Terima kasih untuk semuanya, Ketua Justus. Aku akan kembali segera."
"Tunggu!" Justus masih tersenyum lebar. "Ambil satu atau dua misi dari Calista. Kau perlu tantangan yang sesuai dengan kemampuanmu." Ia berbalik kepada Calista. "Berikan dia misi-misi lama yang tidak bisa diselesaikan petualang lain."
Calista mengangguk paham. "Aku punya beberapa misi yang sudah berdebu di arsip. Misi-misi yang membuat petualang berpengalaman pun mundur teratur."
Setelah Jeno dan Calista pergi, Justus berbalik kepada Amelia dan Viconia yang masih saling melotot. Ekspresi wajahnya berubah serius.
"Kalian berdua tidak mengerti," katanya dengan suara yang menusuk. "Jeno Urias bukan orang yang bisa dipahami dengan logika biasa. Dia tidak bergerak karena uang, kekuasaan, atau status. Ada sesuatu yang lebih dalam yang menggerakkannya."
Kedua wanita itu tidak menggubris peringatan Justus. Mereka sudah berlari keluar gudang, tapi masih saling mengejek sambil mengejar Jeno.
Victor menyeka pisau potongnya dengan kain, senyum tipis terukir di wajahnya. "Nama Jeno Urias akan dikenal di seluruh Atherion sebentar lagi."
Justus mengangguk dengan ekspresi yang bijaksana. "Lebih dari itu. Aku yakin dia akan membuat kesombongan para pahlawan cahaya dan kegelapan runtuh. Kekuatan sejati tidak memerlukan gelar atau pengakuan."
Keduanya terdiam sejenak, menatap ke arah pintu di mana Jeno telah menghilang.
"Kita harus memastikan dia betah di Kota Velden," kata Justus akhirnya. "Dengan kehadiran seseorang seperti dia, keamanan kota dan rakyat akan lebih terjamin. Tapi yang lebih penting..."
"Apa?" tanya Victor sambil melanjutkan pekerjaannya.
"Dia mungkin menjadi kunci untuk mengubah nasib dunia ini. Entah ke arah yang lebih baik atau..." Justus tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi keduanya memahami implikasi yang tidak terucapkan.
Di luar gudang, suara pertengkaran Amelia dan Viconia masih terdengar samar, berbaur dengan hiruk-pikuk kehidupan kota yang mulai ramai. Namun perubahan besar sudah dimulai, dan tidak ada yang bisa menghentikannya lagi.
Situ Sehat ??!