"Apa-apaan nih!" Sandra berkacak pinggang. Melihat selembar cek dilempar ke arahnya, seketika Sandra yang masih berbalut selimut, bangkit dan menghampiri Pria dihadapannya dan, PLAK! "Kamu!" "Bangsat! Lo pikir setelah Perkutut Lo Muntah di dalem, terus Lo bisa bayar Gue, gitu?" "Ya terus, Lo mau Gue nikahin? Ngarep!" "Cuih! Ngaca Brother! Lo itu gak ada apa-apanya!" "Yakin?" "Yakinlah!" "Terus semalam yang minta lagi siapa?" "Enak aja! Yang ada Lo tuh yang ketagihan Apem Gue!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiara Pradana Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Terancam diceraikan oleh Papa Armando dan kini Andri putra satu-satunya berada dijeruji besi.
Aisyah mondar-mandir. Bingung. Siapa lagi yang harus Ia mintakan pertolongan.
Aisyah dengan kemarahannya kepada Sandra, terus saja menyalahkan bahwa semua itu bisa terbongkar karena Sandra menikah dengan Revano.
Aisyah berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang remang, wajahnya menampakkan campuran antara kebingungan dan kemarahan yang membakar. Di matanya, Sandra adalah biang keladi dari semua malapetaka yang menimpa keluarganya.
Bagaimana tidak, sejak Sandra menikah dengan Revano, rahasia kelam yang selama ini disembunyikan mulai terbongkar satu per satu.
Kini, Andri, putra satu-satunya, terjerat kasus hingga harus mendekam di balik jeruji besi.
Aisyah merasa seperti terjebak dalam pusaran nasib yang kejam. Papa Armando, yang dulu begitu disegani, kini mengancam akan menceraikannya, seolah semua kehancuran ini adalah kesalahannya.
Namun, di balik semua itu, amarahnya paling tajam tertuju pada Sandra.
Baginya, Sandra adalah penyebab utama yang membuka semua luka lama dan menjatuhkan keluarga mereka ke jurang kehancuran.
Dengan suara bergetar, Aisyah menggumam pelan dalam hati, “Kalau bukan karena Sandra menikah dengan Revano, mungkin semuanya masih bisa tertutup...” Namun, kalimat itu tidak pernah sampai terucap keras, karena dia tahu hanya kemarahan dan kepedihan yang terus membakar dadanya tanpa henti.
Aisyah menatap layar ponselnya dengan mata penuh harap dan kegelisahan. Wajahnya yang biasanya tegar kini memperlihatkan kerutan kecemasan, menandakan betapa berat beban yang dipikulnya saat ini.
Sebagai istri Papa Armando, ia tahu betul bagaimana rumitnya hubungan keluarga mereka—terutama dengan kehadiran Sandra, putri kandung suaminya dari pernikahan terdahulu.
Dalam hatinya, Aisyah tak bisa menerima kenyataan bahwa Sandra berusaha merebut kembali apa yang sudah lama ia anggap miliknya: cinta dan perhatian Papa Armando, serta posisi sosial yang selama ini mereka bangun bersama.
Namun kini, yang paling penting baginya adalah membebaskan Andri, putranya, dari jeratan penjara yang mengancam masa depan keluarga mereka.
Dengan suara yang lembut namun penuh tekad, Aisyah berbisik sendiri, "Semoga saja dia mau membantu Andri." Ia tahu, jalan keluarnya hanya satu—mencari seseorang yang memiliki pengaruh cukup kuat untuk mengubah nasib anaknya.
Siapapun itu, Aisyah rela mengerahkan segala upaya demi keselamatan Andri. Dalam diam, dia menahan air mata, menyadari bahwa perjuangan ini bukan sekadar soal hukum, melainkan juga pertarungan hati dan kekuasaan dalam keluarga yang penuh intrik.
Sementara di tempat berbeda, Yasmin dengan wajah sembab memasuki kediaman kedua orang tuanya.
*
Yasmin berhenti seketika saat suara sang Papa menggema, memecah keheningan di lorong rumah.
Matanya menatap tajam penuh tantangan ke arah pria yang berdiri di depannya, sementara di samping Papa berdiri wanita yang paling ia benci, sosok yang selalu mengusik kedamaiannya.
Hatinya membara, tapi dia memilih membisu, mengabaikan kehadiran keduanya seolah mereka tak layak mendapatkan perhatian.
Namun, amarah Papanya malah menusuk lebih dalam dengan kata-kata yang kejam, "Mau belajar jadi perempuan murahan seperti Ibumu!" Kalimat itu bagai cambuk yang memukul bangkai luka lama dalam diri Yasmin. Nafasnya tercekat, matanya berkaca-kaca, tapi wajahnya tetap keras, menolak menyerah pada rasa sakit yang menggerogoti.
Benci terhadap Papanya berubah menjadi dendam membara, terutama saat nama Ibunya yang telah pergi itu disentuh dengan hina.
Dalam diam, Yasmin merasakan luka yang tak terobati, sebuah luka yang menggores jiwa dan membentuk tembok pembelaan di sekeliling hatinya.
Yasmin berdiri tegak, matanya menyala penuh tantangan. Tamparan dari sang Papa hanya membuatnya semakin keras kepala, tak ada setitik pun rasa takut di wajahnya.
Bibirnya melengkung membentuk senyum sinis saat menatap pria yang baru saja menghina ibunya.
“Urus saja jalang Papa itu!” gumamnya dengan nada penuh ejekan, seolah ingin menusuk hati sang Papa yang kini tampak kehilangan kendali. Baginya, pengkhianatan Papa dengan gundik yang berani mengaku sebagai istri hanyalah noda hitam yang harus dihadapi, bukan dihindari.
Yasmin tahu betul luka yang dirasakan ibunya; bagaimana perempuan itu rela berkorban dan tetap setia, sementara Papa memilih jalan licik yang penuh kebohongan. Sikapnya yang keras dan penuh keberanian adalah bentuk pembelaan tanpa suara untuk wanita yang dicintainya itu.
Tatapannya tak pernah melembut, malah semakin tajam saat Papa berusaha membungkamnya. Dalam benaknya, kata-kata itu bukan sekadar perlawanan, melainkan sumpah untuk tidak pernah membiarkan ibunya terhina tanpa pembelaan.
Yasmin adalah perisai hidup yang tak akan mudah runtuh, meski badai keluarganya terus menerpa.
"Jangan kurang ajar Yasmin!"
"Papa yang seharusnya diam! Papa sudah diracuni sama Gundik Setan ini!"
"Apa Pa! Papa mau tampar Yasmin lagi? Tampar Pa, Tampar!"
Tak ada jawaban, Papa Yasmin memilih ikut dengan Sang Istri meninggalkan Yasmin yang kini segera masuk ke dalam kamar.
Dalam kamar yang menjadi saksi kesedihan Yasmin, Yasmin kembali menangis. Meraung sejadi-jadinya.
"Ma, Yasmin gak kuat! Yasmin mau ikut Mama!"
Yasmin terisak di sudut kamar yang remang, air matanya mengalir deras tanpa henti. Suaranya tercekat saat ia memohon, "Aku mau ikut Mama... Aku nggak mau di sini sendirian." Namun kenyataan pahit yang menjerat hidupnya membuat permintaan itu terasa mustahil. Malam itu, ketika keputusasaan menguasai dirinya, Yasmin dipaksa melewati batas kehormatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya—tertidur di samping pria asing yang kasar dan penuh kebencian, sosok yang bahkan namanya pun tak pernah ia tahu.
Tubuh kecil Yasmin menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi juga rasa takut dan luka yang menggerogoti hatinya. Mimpi tentang kebahagiaan bersama Mama kini berubah menjadi bayangan kelam yang menghantuinya.
Semua yang sudah terjadi seolah menjadi rantai tak terlihat yang menjeratnya dalam kesunyian dan kesendirian yang paling menyakitkan.
*
Revano tampak rapi dengan setelan jas gelap yang menonjolkan sosoknya yang tegas namun hangat.
Matanya penuh perhatian saat menatap Sandra yang duduk di sofa apartemen mereka, wajahnya memancarkan kegelisahan yang sulit disembunyikan.
Sandra, dengan rambut tergerai acak-acakan dan mata yang sesekali menatap kosong ke luar jendela, jelas sedang diliputi keraguan.
Meski pagi itu keduanya bersiap berangkat ke kantor A Corp untuk rapat penting, Revano tak bisa menahan diri untuk tidak mencoba menenangkan istrinya. Ia meraih tangan Sandra dengan lembut, suara suaranya rendah namun penuh keyakinan. “Santai saja, Sayang. Kita hadapi bersama. Aku selalu di sampingmu,” ucapnya sambil menatap mata Sandra dengan penuh ketulusan.
Sandra menghela napas panjang, sedikit terhibur oleh sentuhan dan kata-kata suaminya.
Di balik keraguan itu, ada kekuatan yang mulai tumbuh kembali, berkat Revano yang selalu hadir sebagai sandaran. Revano tahu, bukan hanya bisnis yang harus ia hadapi hari ini, tapi juga menjaga hati istrinya yang rapuh.