Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.
Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Strategi Windi
Ruang ekstrakurikuler teater selalu ramai di hari Rabu sore. Aroma cat panggung dan debu kostum menggantung di udara, diselingi tawa dan suara riuh anak-anak yang sedang membaca naskah.
Aruna dan Windi baru saja masuk, melewati tirai kain hitam yang menutupi pintu. Di dalam, Atta sudah lebih dulu bergabung dengan teman-temannya, tertawa sambil memegang skrip.
Windi menoleh ke Aruna dan bertanya pelan, “Eh, ngomong-ngomong… kamu sama Atta itu gimana, sih?”
Aruna mengernyit. “Gimana apanya?”
“Ya, hubungan kalian. Banyak yang kira kalian tuh... couple. Kamu juga nyaman banget, kelihatan.”
Aruna menghela napas sambil menurunkan tasnya. “Kita masih temenan, Win. Cuma temenan.”
Windi mengangkat alis. “Padahal... semua orang di sekolah ini mikirnya kamu bakal dijodohin sama dia, lho. Cocok, donatur sama donatur. Udah kayak sinetron elite.”
Aruna duduk dan mulai membuka skrip teater. “Sayangnya hidup gue kayak sinetron plot twist. Gue malah dijodohin sama guru killer yang... ngasih sup.”
Windi cekikikan. “Bagas, si pangeran sup dari neraka ya?”
Aruna ikut tertawa pahit. “Yup. Dunia ini penuh kejutan.”
Tak lama, keduanya bergabung dalam latihan. Aruna dipasangkan berakting dengan Atta. Mereka mulai berdialog—adegan romantis klasik: dua sahabat kecil yang mulai menyadari perasaan mereka.
Namun tak ada yang tahu, dari balik celah tirai pintu yang sedikit terbuka, seseorang diam-diam mengintip.
Bagas.
Wajahnya datar, tapi matanya tajam. Ia melihat Aruna tertawa kecil saat Atta membisikkan sesuatu sebelum dialog dimulai. Melihat Aruna tersenyum, bebas, ringan... tidak seperti saat bersamanya.
Ponselnya tiba-tiba berdering. Ia menarik diri dari balik celah, mengangkat panggilan.
“Pak Raden,” suara dari ujung sana. “Rapat guru dimulai sekarang. Kami tunggu di ruang rapat.”
Bagas menjawab singkat, “Baik, saya segera ke sana.”
Ia menyimpan ponselnya dan melangkah pergi, tanpa sadar—senyum kecil tersungging di sudut bibirnya. Ada rasa yang belum ia kenali, tapi perlahan mulai tumbuh.
Latihan teater selesai. Anak-anak mulai berkemas, suasana mulai lengang. Atta berjalan ke arah Aruna yang sedang menggulung naskah dan memasukkannya ke dalam tas.
“Aruna,” sapa Atta pelan.
Aruna menoleh. “Hmm?”
Atta menyelipkan kedua tangannya ke saku jaket. “Mas Bagas masih di sekolah?”
Aruna menggeleng. “Nggak tahu. Bisa jadi.”
Atta mengangguk pelan, lalu senyum tipis. “Biasanya sehabis latihan, aku ajak kamu makan mie ayam langganan kita itu. Tapi… kayaknya kebiasaan itu harus selesai, ya?”
Aruna menghela napas. “Atta, jangan gitu. Please. Bersikap biasa aja.”
Atta menatapnya, tidak tersenyum kali ini. “Gimana bisa biasa, kalau kamu tunangan orang lain?”
Aruna menahan diri agar tidak mendebat. Suaranya melembut. “Kalau kamu masih anggap aku teman… nggak ada yang berubah.”
Atta menunduk sebentar, lalu menjawab, “Yang berubah… perasaanku.”
Aruna terdiam beberapa detik. Ia menatap Atta, lalu berkata pelan, “Ya udah… nanti, pas aku udah sembuh, ajak aku makan mie ayam lagi. Tapi sekarang, kita balik ke awal. Teman.”
Atta masih diam. Aruna tersenyum tipis, lalu berbalik. “Aku duluan ya.”
Ia melangkah pergi dengan langkah ringan namun hatinya sedikit berat.
Baru beberapa meter berjalan di lorong sekolah, ponselnya berdering.
Bagas
Pesan masuk.
[Makan malam nanti malam. Aku jemput jam tujuh.]
Aruna membaca pesannya. Matanya membelalak pelan. Ia menatap layar ponsel itu seperti sedang menatap naskah plot twist yang tak pernah ia setujui.
Mulutnya berkomentar, lirih, “Nanti malam? Bahkan belum tanya aku bisa atau nggak…”
Ia membuka pesan balasan, mengetik... lalu menghapus... lalu mengetik lagi.
Akhirnya ia menulis:
^^^[Pak, aku masih belum enak badan. Bisa lain waktu?]^^^
Ia menekan send.
Beberapa detik kemudian, balasan masuk cepat.
[Kita cuma makan sebentar. Aku janji nggak akan lama. Lagipula... ini penting.]
Aruna menatap layar dengan perasaan campur aduk. Ia tahu benar, di antara mie ayam Atta dan makan malam Bagas… dunianya sedang ditarik ke dua arah.
Dan ia belum siap menentukan arah mana yang akan ia pilih.
Aruna keluar dari aula sekolah dan menemukan Windi duduk di sana, sibuk dengan ponselnya. Ia melambai pelan.
“Win,” panggil Aruna.
Windi menoleh, tersenyum. “Lama banget. Udah deal nikah muda sama Pak Guru?”
Aruna mendengus. “Astaga, bisa nggak nggak nyindir sepuluh detik aja?”
Mereka tertawa kecil. Aruna mengajak, “Yuk ke kafe. Aku butuh es cokelat dingin dan tempat buat curhat sebelum aku meledak.”
Mereka tiba di sebuah kafe kecil dekat sekolah. Duduk di pojok ruangan, pesanan baru saja tiba ketika Aruna mulai bicara.
“Tadi… Atta ngomong kalau dia nggak bisa bersikap biasa lagi. Katanya perasaannya berubah.”
Windi menaikkan alis. “Wow. Akhirnya anak itu ngomong juga, ya?”
Aruna memutar sedotan di gelasnya. “Tapi dia bilang seolah semuanya udah terlambat. Kayak... aku udah milik orang lain.”
Windi menyandarkan punggungnya. “Ya memang. Dari sudut pandang dia, kamu udah ada cincin tunangan di jidat, meskipun belum nikah.”
Aruna cemberut. “Tapi ini rumit, Win. Aku nggak minta dijodohin, aku juga nggak pernah tahu perasaan Atta. Sekarang semuanya jadi... absurd.”
Windi menatapnya serius. “Arun, kalau Atta emang suka sama kamu, kenapa nggak bilang dari dulu? Dia itu selalu bertingkah sok romantis, tapi nggak pernah jelas. Nggak pernah ngomong. Jadi salah siapa kalau kamu diduluin orang lain?”
Aruna terdiam. Kalimat Windi menampar realitas, tapi juga mewakili kekacauan hatinya.
Aruna menghela napas. “Yang salah itu… anak kelas tiga SMA tunangan sama gurunya. Hello? Kita tuh masih belajar fisika, bukan latihan resepsi.”
Windi tak tahan tertawa. “Ya itu sih... salah besar tapi juga lucu banget.”
Aruna ikut tertawa meski sedikit getir. “Gue bener-bener kayak pemeran utama di sinetron plot-nya nabrak peraturan sekolah.”
Windi menyesap minuman lalu berkata santai, “Yang penting, jangan sampai kamu cuma jadi penonton dalam hidup kamu sendiri. Kamu boleh dijodohin, tapi kamu tetap bisa punya pilihan.”
Aruna menatap sahabatnya. Untuk sesaat, suara kantin, keributan kelas, dan bahkan pesan dari Bagas terasa jauh.
Windi menyandarkan badannya ke sandaran kursi sambil menyeruput minuman.
“Arun,” katanya serius. “Menurut gue, kamu harus break dulu deh... dari Pak Raden.”
Aruna yang sedang minum hampir tersedak. “Hah?! Break? Win, dia bukan pacarku, dia tunanganku. Mana bisa orang tunangan break, itu bukan paket data.”
Windi nyengir. “Bisa kalau kamu mau. Lagian kamu nggak pernah minta dijodohin, kan?”
Aruna mengangkat alis, mulutnya separuh tertawa. “Jadi menurut lo, gue chat dia terus bilang, ‘Mas, kita break dulu ya, aku mau mikir’? Gitu?”
Windi mengangguk mantap. “Ya! Tuh, kamu bahkan bisa bikin draft-nya sekarang.”
Aruna menggeleng sambil tertawa pelan. “Astagaaa… kamu gila.”
Windi ikut tertawa, lalu berkata setengah serius, “Ya tapi bener, Run. Kamu nggak bahagia, kamu masih bingung sama Atta, dan kamu bahkan belum siap nikah. Kamu butuh jeda. Entah buat mikir, atau buat napas.”
Aruna menatap langit-langit kafe. “Kadang gue pengen kabur ke luar negeri. Kayak jadi tukang es krim di Islandia. Gak ada yang maksa tunangan, gak ada PR matematika.”
Windi mengangguk. “Aku ikut. Jadi tukang topping marshmallow.”
Mereka berdua tertawa, meledak, mengundang beberapa pandangan heran dari pengunjung kafe lain. Tapi Aruna merasa lebih ringan. Walau masalahnya belum selesai, setidaknya ia tahu satu hal:
Ia berhak berpikir sebelum melangkah.
Di langit yang sama, Bagas baru saja memarkirkan mobilnya di garasi rumah. Langkahnya ringan, wajahnya sedikit lebih cerah dari biasanya. Begitu masuk ke dalam, aroma masakan ibunya langsung menyambut.
“Bagas, kamu pulang lebih cepat hari ini?” suara Ibu terdengar dari dapur.
“Iya, Bu. Ini semester baru jadi nggak banyak tugas di sekolah," jawab Bagas sambil melepas sepatu.
Saat ia membuka ponsel, sebuah notifikasi muncul. Dari kontak Aruna.
Aruna
[Baiklah. Makan malam boleh. Tapi kalau kamu pesen sup, aku kabur dari restoran.
P.S. Jangan bilang ini kencan. Ini cuma… diplomasi perjodohan.]
Bagas nyaris tertawa keras. Ia memegang ponselnya sambil tersenyum—senyum yang tidak bisa dia tahan.
Dari arah meja makan, Ibu mengintip dengan wajah penuh kecurigaan manis.
“Eh… tumben kamu senyum-senyum lihat HP. Jangan-jangan… ada yang spesial?”
Bagas menoleh cepat. “Nggak kok, Bu.”
Ibu mendekat dan menyipitkan mata.
“Kamu bukan tipe yang gampang senyum, Bagas. Apalagi abis pulang kerja. Biasanya mukamu kayak abis melakukan ratusan rapat dalam sehari."
Bagas tergelak. “Ibu keterlaluan banget.”
Ibu mencondongkan badan, mencoba melihat ponsel Bagas. “Siapa sih yang bikin kamu senyum begitu?”
Bagas cepat-cepat mengunci layar. “Rahasia negara, Bu.”
Ibu mengangkat alis, lalu tersenyum. “Hmm… rahasia yang bikin kamu glowing begini pasti bukan dari sekolah.”
Bagas hanya menggeleng dan menuju kamar, tapi Ibu berteriak dari dapur, “Kalau itu Aruna, balasnya yang romantis. Perempuan suka kejutan.”
Bagas berhenti di tangga. “Bu, kami baru kenal.”
“Ibu saja suka dikirim emot bunga sama ayah kamu,” sahut ibunya sambil tertawa.
Bagas melanjutkan naik, tapi wajahnya masih menyimpan senyum kecil. Dalam hatinya, ia bergumam:
Oke, Aruna. Makan malam. Tapi jangan salahkan aku kalau kamu jatuh cinta sama dessert-nya.