NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:699
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tuntutan Mama Mertua

Cahaya matahari menerobos tirai dapur yang sebagian tersingkap. Di meja bar dapur yang elegan itu, Alaric duduk santai hanya mengenakan celana panjang kain tipis warna abu gelap, dada bidangnya terbuka bebas, kulitnya terlihat kontras dengan cahaya hangat pagi.

Asap tipis mengepul dari mug kopi di tangannya. Di tangan satunya, sebuah tablet menyala terang. Ia menggulir layar, lalu tersenyum.

Senyum kecil tapi jelas. Senyum yang langka. Tenang, puas, dan mungkin bangga.

“Saham naik, bahkan melampaui nilai tertinggi sebelumnya,” gumamnya pelan, seolah hanya untuk dirinya sendiri.

Aluna baru saja keluar kamar. Rambutnya masih setengah basah, mengenakan baju tidur oversized warna pastel. Langkahnya perlahan, tidak ingin mengganggu suasana, tapi matanya langsung tertarik pada pemandangan itu.

Alaric yang tersenyum.

Bukan senyum sarkasme, bukan senyum tipis menyembunyikan kemarahan. Tapi senyum bahagia yang tulus.

Dan itu menghantam sesuatu di dada Aluna.

“Pemandangan ini belum pernah gue lihat. Bahkan saat pesta pernikahan kami, senyum itu nggak muncul. Hari itu wajahnya kayak patung. Dingin. Tanpa ekspresi. Tapi sekarang, dia tampak hidup.”

Aluna terpaku di ambang pintu. Diam-diam memperhatikan lekuk rahang Alaric yang mengeras saat menyesap kopi. Lengannya yang bergerak ringan saat menggulir layar. Garis senyum di wajahnya.

Sejenak ia lupa cara bernapas.

Alaric menoleh. Mata mereka bertemu.

“Kamu ngeliatin aku?” tanyanya sambil menaikkan satu alis, menyembunyikan tawa di balik cangkirnya.

Aluna tersenyum canggung. “Tumben… senyum kamu tulus.”

Alaric tertawa pelan. “Karena uang.”

Aluna menarik napas, lalu ikut duduk di seberang. “Jadi, aku harus bikin kamu lebih kaya dulu biar bisa dapat senyum kayak tadi tiap hari?”

Alaric menyeringai. “Mungkin.”

Tapi saat Aluna menyender di meja, menyodorkan wajahnya dengan jahil, Alaric menurunkan tablet, mendekat dan mengecup dahinya.

“Tapi kamu juga salah satu alasan saham itu naik.”

Aluna mendongak, terkejut. “Hah?”

Alaric memandangi wajahnya. Lembut. “Jaket couple. Pegangan tangan. Peluk di alun-alun. Itu bikin netizen yakin kita pasangan sempurna. Dan itu bikin investor tenang.”

Aluna menggigit bibir. “Jadi, aku cuma alat pencitraan?”

Alaric menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, menyesap kopi, lalu memejamkan mata sejenak.

“Kamu alat pencitraan yang paling mahal. Dan paling manis.”

Aluna melempar tatapan tajam. Tapi pipinya merah. Baginya kata-kata Alaric tadi cukup manis meski penyebabnya adalah saham naik.

Alaric berjalan ke mesin kopi.

Aluna menatap Alaric yang sedang berdiri di depan mesin kopi, memutar badan dengan gerakan ringan—santai, nyaris seperti bukan CEO dingin yang dikenal semua orang.

Tangan Alaric bergerak luwes saat menyodorkan cangkir ke hadapan Aluna, bahkan menambahkan dua sendok madu.

“Masih panas. Hati-hati.” Suaranya pelan, tapi lembut. Tidak sekadar basa-basi.

Aluna menerima cangkir itu, dan tatapannya tak lepas dari wajah Alaric. Mata pria itu tenang, namun penuh isi. Ia bertanya tiba-tiba, suara pelan, seperti gumaman.

“Umurmu… 25, ya?”

Alaric menoleh, satu alisnya terangkat. “Baru sadar kamu nikah sama cowok muda?”

Aluna tersenyum kecil. “Bukan itu... Maksudku, apa kamu nggak ngerasa tertekan? Umur segitu pegang banyak perusahaan. Dikenal dunia. Banyak musuh. Banyak yang benci. Banyak yang nunggu kamu jatuh.”

Alaric tertawa kecil. Lalu menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Ia menyentuh ujung rambut Aluna, menyelipkannya ke belakang telinga. Lembut.

“Semua orang tertekan, Al. Tapi aku bahagia saat aku berkuasa. Bahagia karena bisa ngatur. Bisa bikin keputusan. Bisa ngelindungin orang yang aku sayang.”

Aluna mengedip pelan. “Itu terlalu menakutkan.”

Alaric mengangguk sedikit. “Kadang memang begitu. Tapi kamu tahu nggak apa yang paling bikin aku tenang?”

Aluna menggeleng pelan.

Alaric menyentuh tangan Aluna di atas meja. Perlahan, dengan ibu jarinya mengusap punggung tangan istrinya itu.

“Ada yang nanya kayak gini. Nanya hal kecil. Hal pribadi. Sesuatu yang orang lain nggak pernah peduli. Itu... bikin aku waras.”

Hening beberapa detik. Lalu Aluna tertawa kecil, sedikit malu. “Aku cuma penasaran, sih. Kamu kelihatan terlalu tenang buat orang yang hidupnya kayak medan perang.”

Alaric menyandarkan punggung ke kursi. “Karena ada satu tempat yang nggak kayak medan perang.”

Aluna menaikkan alis. “Di mana?”

Alaric menunjuk ke bawah meja. “Kursi ini. Dapur ini. Sama kamu.”

Tatapan mereka bertaut. Tak ada yang mewah. Tapi terasa dalam.

Aluna masih menatap Alaric, jemarinya melingkari cangkir kopi hangat yang mulai berkurang panasnya. Tatapannya penuh ragu, tapi juga ingin tahu. Ia bukan tipe yang suka menahan pertanyaan di kepalanya terlalu lama.

“Alaric… Kamu... bersikap manis akhir-akhir ini. Itu karena kamu mulai suka sama aku? Atau cuma karena aku cocok buat pencitraan?”

Alaric tidak langsung menjawab. Ia meneguk kopinya perlahan, lalu menghembuskan lewat hidung. Suaranya terdengar seperti mendesah karena kenyataan.

Lalu ia menatap Aluna. Lurus. Tanpa ragu. “Tahu nggak,” katanya pelan. “Aku barusan merasa bahagia. Dan kamu langsung rusak itu dengan pertanyaanmu.”

Aluna tertawa kaku. Menunduk. Tapi ia tidak minta maaf. “Aku cuma pengen tahu. Sejujurnya.”

Alaric bangkit, meraih piring kecil yang masih kosong di depannya, lalu membawa ke wastafel.

Suasana terasa dingin. Lalu ia bicara. Masih dengan nada santai, tapi tajam. “Kamu tahu bedanya kecupan di dahi dan kecupan di bibir, ‘kan?”

Aluna mengernyit.

“Kalau aku cium keningmu, itu karena aku lagi bahagia. Kalau aku cium bibirmu, itu karena aku lagi butuh pelampiasan.”

Aluna menelan ludah. “Jadi, selama ini cuma pelampiasan?”

Alaric menoleh setengah. Menyandarkan diri ke counter dapur. Tangannya menyilang di dada. Sorot matanya tak terbaca.

“Kamu perempuan yang menyenangkan buat publik. Pencitraan kita berhasil. Tapi soal rasa... aku belum bisa.”

Ia berjalan kembali, berdiri di sisi Aluna. Jemarinya menyentuh ujung dagu gadis itu, mengangkat pelan.

“Aku nggak bisa berdebar di depan kamu, Al. Tapi aku bisa nyaman. Dan aku bisa... sayang. Mungkin. Nanti.”

Aluna tidak tahu harus merasa bagaimana. Antara kecewa dan lega. Karena kejujuran itu nyata.

“Oke,” katanya akhirnya. “Tapi kalau kamu cium bibirku lagi dan aku balas, itu bukan karena aku butuh pelampiasan.”

Alaric tertawa pelan. “Itu karena kamu perempuan 23 tahun yang terlalu jujur. Dan terlalu suka laki-laki 25 tahun yang belum tahu cara mencintai wanita.”

Aluna memutar bola mata, lalu berdiri sambil membawa cangkirnya ke wastafel. “Laki-laki 25 tahun yang terlalu tahu cara memanipulasi pasar saham lewat jaket couple.”

Alaric menyeringai, matanya mengikuti punggung Aluna.

“Dan perempuan 23 tahun yang tahu caranya mencuri hati netizen.”

...***...

Apartemen terasa sunyi pagi menjelang siang

Aluna duduk bersandar di sofa sambil mengaduk es lemonnya yang sudah nyaris cair. Dering telepon membuatnya melirik layar.

Callindra—Mama Alaric

Aluna langsung duduk tegak, menekan tombol hijau. “Halo, Ma?”

Di seberang, suara Callindra terdengar lembut tapi penuh wibawa. “Kamu sibuk hari ini, Al?”

Aluna menoleh ke Alaric yang duduk tak jauh di meja makan, mengenakan kaos dan celana training sambil membalas E-mail.

“Kayaknya enggak, Ma. Hari ini libur kuliah. Syuting juga kosong.”

“Bagus. Mama bosan ke mall sendirian. Kamu ikut Mama, ya. Sekalian kita belanja kebutuhan rumah. Kamu suka belanja, ‘kan?”

“Iya, iya! Aluna ikut, Ma,” jawabnya riang. “Tapi Aluna izin dulu ya ke Alaric.”

Callindra tertawa kecil. “Iya, iya... minta izin. Biar makin keliatan harmonis.”

Sambungan terputus.

Aluna segera beralih ke Alaric. Suaminya menutup laptopnya dan menatapnya datar. “Boleh aku ikut Mama ke mall?”

Alaric memiringkan kepala. Bibirnya membentuk senyum mengejek. “Silakan, Bu Artis. Mau jadi bahan pencitraan lagi?”

Aluna mengernyit. “Apaan sih...?”

Alaric bangkit dari kursi, berjalan santai ke sofa, lalu duduk di sandarannya. Menatap istrinya dari atas.

“Kamu tahu kenapa Mama ngajak kamu sekarang?”

Aluna mengangkat bahunya.

“Karena semua direksi satu perusahaan udah mulai ngeledek,” jelas Alaric.

Aluna masih bingung. Alaric melanjutkan.

“Mereka bilang, ‘masa menantu pertama Callindra nggak pernah diajak jalan, padahal istri pewaris utama? Jadi, ya... sekarang waktunya kamu diajak mejeng, supaya Mama nggak kehilangan wibawa.”

Aluna membuka mulut, ingin membalas, tapi tertahan. Lalu mendengus pelan. “Aku kayak boneka hidup banget sih.”

Alaric menyeringai. “Bukan. Kamu artis. Profesional. Tahu gimana caranya jadi pusat perhatian.”

Aluna berdiri dan menendang pelan kaki Alaric. “Sampai nanti sore. Kalau kamu nggak jemput aku, aku nginep di motel. Biar saham anjlok.”

Alaric menatapnya datar. Lalu tertawa. “Selama bukan Renzo yang jadi partner kamu, aku ikhlas.”

“ALARIC!”

...***...

Suasana mall mewah di pusat kota tampak ramai.

Callindra dan Aluna berjalan berdampingan, dikelilingi dua bodyguard wanita dan satu asisten pribadi Callindra yang sibuk mencatat brand apa saja yang disukai sang nyonya besar.

Callindra mengenakan blouse putih bersih dan celana palazzo beige.

Aluna tampil elegan dalam midi dress ungu pastel dan outer hitam tipis. Wajahnya full makeup, tapi tidak mencolok karena mereka sedang mampir ke flagship store kosmetik premium milik Alverio Group.

Mereka tertawa bersama saat pramuniaga menyebutkan krim malam favorit Aluna diberi edisi spesial.

Para pelanggan lain hanya bisa melirik penuh kagum—pemandangan langka melihat Callindra dan menantu kesayangannya belanja bersama.

“Aluna tetap glowing, padahal syuting dan kuliah bersamaan,” puji Callindra setengah berteriak, agar seisi toko mendengar.

Aluna hanya terkekeh kecil, berpura-pura malu.

Namun begitu mereka pindah ke area foundation dan tak banyak orang yang mendekat, Callindra mendekatkan tubuh dan berbisik sangat pelan.

“Kamu bahagia, ‘kan, Al? Sudah jadi istri dari pewaris Alverio. Sudah jalan-jalan bareng, bahkan foto couple-mu viral.”

Aluna menoleh pelan. “Bahagia, Ma... meski kadang kami terlalu sibuk,” balasnya bohong. 

Callindra mengambil satu botol serum, berpura-pura memperhatikan kemasannya, tapi bibirnya tetap bicara.

“Tapi bulan madu nggak pernah kalian jalani, ya? Mama ingat setelah nikah langsung sibuk kerja dan shooting, iya, ‘kan?”

Aluna tersenyum kaku. “Kami sama-sama sibuk, belum sempat.”

Callindra menoleh. Matanya masih menyimpan senyum, tapi sorotnya menajam.

“Kamu tahu sendiri, Al, keluarga sebesar ini butuh penerus. Kamu istri sah. Jangan sampai nanti media gosip menanyakan kenapa belum juga ada kabar bahagia...”

Aluna menunduk sejenak, tangan meremas tas kecilnya. “Aku tahu, Ma. Tapi, kami belum membicarakan itu lebih serius.”

Callindra mendekat, menepuk punggung tangan Aluna seperti sedang menyemangati. Senyumnya kembali ditampilkan ke publik saat seorang fotografer dari majalah lifestyle mendekat.

“Mama percaya kamu bisa atur semuanya. Kamu pintar. Jangan sampai ada pihak lain yang malah lebih dulu memberi pewaris...”

‘Cekrek’. Kamera menangkap momen mereka tertawa bersama.

Padahal, di bawah senyum itu, Aluna merasakan tekanan yang nyaris membuatnya tercekik.

...***...

Mereka duduk di lounge eksklusif lantai atas mall, dengan teh omija dan macaroon disajikan di meja kecil. Callindra menyesap pelan tehnya sebelum meletakkan cangkir porselen itu.

Callindra menyilangkan kaki. Tatapannya masih hangat tapi perlahan berubah serius.

“Aluna… Kamu tahu Mama sayang sama kamu, ‘kan?”

Aluna yang duduk di seberang mengangguk sopan, masih menyentuh pinggiran cangkirnya.

“Itu sebabnya Mama ingin kamu berpikir baik-baik,” lanjut Callindra pelan. “Kamu sudah menikah dengan Alaric. Posisi kamu di keluarga ini bukan hanya menantu—tapi calon ibu dari penerus berikutnya.”

Aluna menahan napas sesaat. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini.

Callindra menyandarkan tubuh, tetap elegan meski nadanya mulai menekan.

“Mama ingin kamu fokus kuliah saja. Urusan biaya, fasilitas, semua Mama tanggung. Tapi tinggalkan dunia hiburan itu. Mulai pikirkan kesehatan, stabilitas, dan program kehamilan. Sekarang bukan waktunya lagi kamu berlarian ke lokasi syuting.”

Aluna tersenyum kecil.

Ia mengangkat wajahnya, menatap Callindra dengan sorot tenang—sama sekali tidak melawan, tapi cukup kuat untuk menyampaikan posisi.

“Ma, aku masuk keluarga ini karena aku Aluna, artis. Itulah kenapa publik percaya dan menyukai hubungan kami. Itu yang membuat saham Alverio melonjak saat kami tampil bersama.”

Callindra masih diam. Matanya mengamati Aluna.

“Kalau aku berhenti, siapa aku? Aku bukan keturunan konglomerat, bukan lulusan luar negeri. Hanya gadis biasa yang jadi luar biasa karena profesi.”

“Aku tidak akan berhenti, Ma. Tapi aku janji akan tetap menjaga nama keluarga ini.”

Hening beberapa detik. Callindra menatap dalam, lalu akhirnya tersenyum kecil—entah karena kagum pada ketegasan Aluna, atau karena tahu menantunya tak akan mudah dibentuk.

“Kamu keras kepala ya, seperti suamimu,” ucap Callindra lalu, “baiklah. Tapi jangan sampai pekerjaanmu nanti membuat Alaric... berubah arah.”

Aluna mengangguk sopan.

Tapi senyumnya menghilang sedikit saat mendengar kata ‘berubah arah’. Entah apa maksud Callindra—atau mungkin Aluna sudah memikirkannya sejak lama. Selingkuh? No! Ganti istri? Mungkin.

“Kalau gitu, kamu harus lahirin cucu dalam waktu cepat. Nanti Mama gak akan nyuruh kamu untuk tinggalkan profesi sebagai artis. Tapi jika dalam waktu satu bulan kamu belum hamil, kamu harus resign jadi artis!”

“Maaaa….”

1
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!