Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
"Inilah akibatnya kalau enggak mau turuti omongan ibu. Harusnya dari awal kamu enggak usah nikahi wanita miskin kaya Ratu! Ibu enggak mau tahu, pokoknya kamu urus sendiri rumah sama anak kamu. Ibu sudah cape sama semuanya!" Ibuku langsung berlalu pergi meninggalkan diriku dalam keadaan kacau.
Tinggal lah aku sendirian dengan kekacauan ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang.
...****************...
Malam itu aku sudah tak bisa menahan emosi lagi. Dengan langkah berat tapi penuh amarah, aku melajukan mobil ke rumah ibu Ratu. Lampu rumah sederhana itu menyala redup, menandakan penghuninya ada di dalam.
Aku mengetuk pintu dengan keras. Tak lama kemudian pintu terbuka, wajah ibu Ratu muncul dengan ekspresi kaget bercampur dingin.
“Ibu!” seruku tanpa basa-basi. “Aku datang mau minta pertanggungjawaban! Anak ibu itu sudah berani-beraninya gugat cerai aku di pengadilan. Apa ibu nggak ajarin dia jadi istri yang benar?”
Wajah ibu Ratu berubah pucat ketika aku mengucapkan kalimat itu. Ia bahkan sampai menutup mulutnya dengan tangan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar dari mulutku.
“Ap-apa kamu bilang, Langga? Ratu… Ratu gugat cerai kamu?” suaranya bergetar, matanya membesar penuh keterkejutan.
Aku mengangguk keras, nadaku penuh amarah. “Iya, Bu! Ini semua gara-gara didikan ibu! Anak ibu kurang ajar, berani-beraninya bawa-bawa pengadilan buat ceraiin aku. Mana mungkin seorang istri berani sampai segitunya kalau nggak ada dorongan?”
Ibu Ratu terlihat semakin bingung. Keningnya berkerut dalam, tangannya gemetar memegangi kursi.
“Erlangga… ibu juga nggak tahu Ratu ada di mana sekarang. Dia nggak pernah pulang, nggak pernah hubungi ibu. Bahkan, ibu sendiri pun bingung harus nyari ke mana,” suaranya lirih, terdengar begitu cemas.
"Karena ibu sudah gagal, dan tidak dapat bertemu Ratu. Maka akan aku hentikan pembayaran hutang ke ibu ke rentenir. Silakan ibu urus sendiri hutang ibu yang sudah menumpuk itu. Aku sudah tidak sudi lagi buang-buang uangku!" ancamku terlihat wajah mertuaku begitu takut. Tapi aku sudah tidak peduli, aku merasa harga diriku diinjak-injak olehnya.
"Lang, jangan... Kasih ibu waktu untuk cari Ratu. Ibu janji akan bawa Ratu pulang ke rumah kamu."
"Sudah terlambat, Bu. Aku enggak butuh lagi." Aku memutuskan untuk pulang, ibu Ratu terus saja memanggilku dengan suara tangisannya.
Saat dalam perjalanan pulang, suasana hatiku sudah campur aduk—antara marah, bingung, dan lelah. Tiba-tiba ponsel berdering, menandakan ada pesan masuk. Aku melirik layar, dan betapa terkejutnya aku melihat nama pengirimnya. Ratu.
Dengan jari yang sedikit gemetar, aku membuka pesan itu.
"Datanglah ke sidang pertama proses perceraian. Jangan coba-coba menghindar. Aku sudah mantap dengan keputusanku."
Aku terpaku beberapa saat. Napasku memburu, seolah dunia di sekitarku berhenti berputar.
“Apa maksudnya ini? Jadi benar dia sudah menyiapkan semua… sampai-sampai surat pengadilan itu sampai ke rumah?” gumamku pelan.
Pikiranku langsung melayang pada anak-anak. Wajah polos Clara dan Mira berkelebat dalam bayanganku.
“Kalau benar ini berlanjut… bagaimana nasib anakku, rumah?” bisikku dengan suara serak.
Dengan buru-buru aku menekan tombol panggil di layar, berharap Ratu masih bisa kuajak bicara sebelum semuanya terlambat. Suara nada sambung membuat jantungku berdegup semakin kencang. Namun, belum sempat berharap lebih, sambungan itu langsung terputus.
Aku mencoba lagi, kali ini dengan lebih panik. Tapi hasilnya sama. Ditolak.
“Ratu… kenapa kau tega seperti ini?” gumamku, menatap layar ponsel yang kini terasa begitu dingin.
Tanganku bergetar, rasa marah bercampur frustasi menyelimuti. Aku menekan panggilan ulang berkali-kali, namun selalu ditolak dalam hitungan detik.
Seolah Ratu benar-benar ingin memutus semua komunikasi.
Aku menepuk setir mobil dengan keras, berteriak penuh emosi, “Sial! Kamu pikir bisa lari begitu saja dariku?!”
...****************...
Aku duduk termenung di ruang tamu. Rokok di tanganku hampir habis, tapi pikiranku masih kalut. Hampir setiap hari bayangan Ratu terus menghantui. Bukan karena aku benar-benar kehilangan cintaku padanya, tapi lebih karena aku takut jika dia pergi, siapa yang akan mengurus Clara dan Mira?
Aku sadar, aku egois. Aku tidak pernah benar-benar memikirkan perasaan Ratu selama ini. Aku hanya menuntut, hanya menyuruh, hanya meletakkan semua tanggung jawab rumah tangga di pundaknya. Dan sekarang, ketika dia benar-benar mengajukan perceraian, aku baru merasa panik.
“Tidak mungkin Ratu benar-benar tega meninggalkan anak-anak,” gumamku pelan sambil menatap kosong ke arah pintu. Aku menggenggam kepalaku, mencoba menepis rasa takut. “Aku tidak ada niatan untuk bercerai… aku masih butuh dia.”
Namun, semakin kupikirkan, semakin jelas kenyataannya: semua ini sudah ada di luar kendaliku. Surat pengadilan sudah dikirim, sidang sudah ditentukan.
Aku juga sudah mencoba berulang kali menekan nomor Ratu, tapi setiap panggilan hanya berakhir dengan nada sambung lalu terputus. Pesanku pun tak pernah dibalas. Rasa frustrasi semakin menumpuk.
“Kenapa sih kamu susah sekali dihubungi, Rat?” desisku kesal sambil melempar ponsel ke sofa.
Aku berjalan mondar-mandir di ruang tamu, gelisah. Rasanya seperti ditinggalkan tanpa kepastian.
...****************...
Tibalah hari persidangan. Sejak pagi aku sudah gelisah, tidak bisa berkonsentrasi sama sekali. Begitu waktunya tiba, aku langsung berangkat lebih awal, berharap bisa menemui Ratu sebelum sidang dimulai.
Langkahku terasa berat saat memasuki gedung pengadilan. Aku menyapu pandangan ke sekeliling, mencari sosok yang selama ini selalu mengisi rumahku. Dan benar saja—di ujung lorong aku melihatnya. Ratu duduk tenang dengan pakaian rapi, wajahnya terlihat lebih tegas dari terakhir kali aku melihatnya.
Aku menarik napas panjang, lalu mencoba mendekat. “Ratu?"
Ia menoleh sekilas, tapi tatapannya dingin. Ia kembali membuang wajahnya dan fokus berjalan, terlihat sekali tatapannya seperti tidak sudi melihat wajahku.
"Ratu tunggu! Ada yang mau aku bicara kan sama kami," ujarku menahan tangannya, ia pun langsung melepas genggaman tanganku.
"Jangan pernah sentuh aku!" jawabnya dengan tatapan tajam.
"Aku berhak sentuh kamu, jangan lupa kita masih suami istri."
"Siapa yang kamu maksud istri?"
"Tentu saja kamu, memang siapa lagi."
"Hoh, kamu anggap aku istri? Bukanya selama ini kamu anggap aku babu dan baby sister?" Aku terdiam membeku, seakan kata-kata Ratu baru saja menamparku keras di depan banyak orang. Tenggorokanku tercekat, mulutku terbuka tapi tak ada satu pun kalimat yang bisa keluar.
“Ratu…” hanya itu yang mampu kuucapkan lirih.
Matanya berkaca-kaca, tapi tatapannya tetap tajam menusukku. “Mas nggak pernah lihat aku sebagai pasangan. Dari awal aku cuma jadi pengurus rumah, pengasuh anak, penurut buat semua aturan Mas dan keluarga Mas.”