Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan di Balik Sayap
Lana tak bergerak. Mata dan jari-jarinya terpaku pada layar. Dokumen itu terbuka perlahan, halaman demi halaman mengungkap data yang membekukan udara di sekelilingnya. Grafik keuangan. Foto-foto kontrak ilegal. Percakapan email rahasia. Dan yang paling membuat napasnya tercekat, nama seseorang yang mereka kenal.
“Leon,” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Tak sampai semenit, Leon sudah berdiri di sampingnya, masih mengenakan kaus rumah dan celana training. Tangan kirinya penuh remah biskuit karena baru saja menemani Arya bermain. Tapi begitu matanya membaca baris pertama dokumen itu, wajahnya mengeras.
"Aku kenal logo ini," katanya pelan, menunjuk simbol kecil di sudut halaman pertama, tiga garis melengkung membentuk lingkaran. “Ini… logo lawas Titan sebelum merger. Mereka menyembunyikan aset-aset kotor di bawah proyek fiktif, lalu memutarnya lewat sub-kontraktor palsu.”
Lana menelan ludah. “Dan lihat siapa yang tanda tangan di sini.” Ia membesarkan tampilan layar nya.
Leon membaca cepat, lalu menoleh padanya. “Nathan Halim?”
“Ya. Dan kamu tahu siapa dia sekarang?” Lana menatapnya lurus. “Komisaris utama Aeternum Developments. Perusahaan yang baru saja mengalahkan kita di tender Semarang.”
Keheningan panjang menggantung di udara. Arya di ruang sebelah tertawa kecil, suara tawa murni yang membuat semuanya terasa kontras dan kejam.
“Kalau ini benar…” Leon mulai bicara, tapi suaranya tercekat. “Ini bukan cuma soal bisnis. Ini... kriminal tingkat tinggi.”
Lana menggenggam tangannya. “Kita harus hati-hati. Ini bisa membuka luka lama. Tapi kalau kita diam, berarti kita ikut tutup mata.”
Leon menarik napas dalam. "Kita nggak akan tinggal diam. Tapi kita juga nggak bisa gegabah."
Rapat Tengah Malam
Malam itu juga, mereka memanggil rapat terbatas, di rumah mereka sendiri. Di ruang tamu yang hangat, hanya ada enam orang, Lana, Leon, Arvino, Farah (kepala legal), Dika (kepala keamanan data), dan Aluna, yang baru beberapa bulan terakhir jadi asisten kepercayaan Lana.
“Ini bukan cuma skandal,” kata Farah setelah membaca dokumen itu dua kali. “Kalau dibuka ke publik tanpa kehati-hatian, bisa menimbulkan gugatan balik, bahkan pembunuhan karakter. Mereka bisa menuduh kita menyebar hoaks.”
Leon mengangguk. "Makanya kita perlu tiga hal, validasi, strategi hukum, dan… waktu."
Dika membuka laptopnya. "Saya akan mulai penelusuran digital. Cari kecocokan meta-data, jejak IP, dan kemungkinan saksi internal."
“Dan kamu?” tanya Lana pada Aluna.
Aluna tersenyum tipis. "Aku punya seseorang yang pernah bekerja di Titan sebelum merger. Dia sempat melihat proyek fiktif ini dari dekat. Dulu dia nggak berani ngomong. Tapi mungkin sekarang, dengan dukungan dari kita... dia mau buka suara."
Leon menyentuh pundaknya ringan. "Kalau kamu bisa membuat dia bicara, kamu nggak cuma membantu perusahaan ini. Kamu juga bantu banyak orang yang jadi korban secara diam-diam.”
Aluna mengangguk. “Aku akan coba.”
Bayangan Cinta
Larut malam, setelah semua orang pergi, Lana dan Leon masih duduk di dapur. Dua cangkir teh chamomile menghangat di antara mereka. Hujan turun pelan di luar jendela, dan dari kamar, suara napas Arya terdengar lembut lewat monitor bayi.
Leon menatap istrinya lama. “Kalau kamu lelah, kamu boleh berhenti, Lan. Aku bisa jalanin ini sendiri.”
Lana tertawa pelan. “Jangan sok dramatis, Leon. Kita sudah membangun ini semua bareng-bareng, kita lawan juga harus melawannya bareng juga”
Leon tersenyum, tapi matanya tetap serius. “Aku serius. Kadang aku takut kamu kena imbasnya. Titan bukan lawan biasa. Mereka mainnya licin, kotor. Aku nggak mau kehilangan kamu.”
Lana bangkit dan berdiri di belakang kursi Leon, memeluk lehernya dari belakang. “Kalau aku takut kehilanganmu, aku nggak akan nikahin kamu waktu itu. Tapi justru karena kita bersama, aku kuat.”
Leon memejamkan mata. Tangan Lana hangat di pipinya. Ia meraih tangan itu, menciumnya pelan.
“Kalau semua ini berantakan... Dan kalau kita dijatuhkan... aku hanya ingin kamu tahu satu hal.”
“Apa?”
“Aku nggak pernah menyesal memilihmu.”
Lana tersenyum, menunduk, mencium ubun-ubunnya. “Aku juga.”
Dan di tengah bayangan konspirasi yang menggantung di atas kepala mereka, cinta itu tetap menyala, bukan sebagai pelarian, tapi sebagai pondasi.
Anastasia
Beberapa hari kemudian, Lana menerima undangan untuk menghadiri business forum di Bali. Awalnya ia ragu, tapi setelah melihat daftar pembicara, hatinya membeku sejenak. Di panel utama, Anastasia Tan, CEO Aeternum.
“Aku harus pergi,” kata Lana pada Leon.
“Aku ikut,” jawabnya langsung.
Lana menggeleng. “Kamu harus tetap di Jakarta. Kalau mereka tahu kita bergerak dari dua sisi, mereka bisa curiga. Aku pergi sendiri, sebagai diriku. Bukan sebagai istri CEO. Tapi sebagai Lana.”
Leon menatapnya lama. “Kamu harus kuat?”
“Selalu.”
Di forum itu, Lana tampil anggun dan percaya diri. Gaun hitam sederhana, rambut disanggul separuh. Tapi ketika ia naik ke atas panggung untuk sesi tanya jawab, matanya bertemu dengan tatapan dingin Anastasia.
“Revanza Cipta baru-baru ini kalah tender dari perusahaan kami,” kata Anastasia, setengah tersenyum. “Apakah Ibu Lana merasa... disalip oleh pemain muda?”
Lana tersenyum lembut. "Bukan siapa yang paling muda atau paling cepat. Tapi siapa yang paling bisa dipercaya dalam jangka panjang."
"Termasuk bila menyangkut masa lalu yang kelam?" Anastasia menyipitkan mata.
Lana tidak mundur. "Masa lalu bukan untuk dilupakan. Tapi dipelajari. Dan diperbaiki."
Forum itu menjadi viral. Banyak media menyebut Lana sebagai "wajah baru keadilan korporat." Tapi di balik semua itu, ia tahu, perang nilai ini baru saja dimulai.
Satu Nama Terakhir
Dika akhirnya menemukan satu hal yang mengubah segalanya. Di dalam metadata dokumen REVENANT, terselip satu nama pengirim asli, Vincent Setiawan mantan direktur keuangan Titan Global.
Leon mengenal nama itu. Vincent adalah teman lama ayahnya. Dulu sempat menghilang setelah audit besar-besaran. Kini muncul kembali... dengan sebuah pesan.
Sore itu, Leon mendapat email dari alamat tak dikenal,
"Kalau kau baca ini, berarti waktunya sudah dekat. Aku ingin bicara. Bawa hanya dirimu sendiri. Taman kota di Cikini. Rabu, pukul 10 malam."
Leon memperlihatkan pesan itu pada Lana. “Aku harus datang.”
Lana menggenggam tangannya. "Aku percaya padamu. Tapi hati-hati. Jangan anggap enteng."
Leon mencium keningnya. "Aku akan selalu pulang."
Di Taman
Taman itu sepi. Hanya suara jangkrik dan lampu taman temaram yang menyala.
Leon duduk di bangku kayu, matanya waspada. Beberapa menit kemudian, seorang pria tua dengan topi lusuh duduk di sampingnya. Wajahnya tirus. Matanya cekung. Tapi tajam.
"Leon Hartono," katanya pelan. "Kamu mirip ayahmu."
Leon menegang. "Vincent?"
Pria itu mengangguk. "Aku yang kirim dokumen itu. Dan masih banyak lagi. Tapi aku tak bisa serahkan langsung. Mereka mengawasi. Aku hanya punya satu pesan, jangan percaya semuanya bersih di sekitarmu. Termasuk... di internal mu sendiri."
Leon mengepalkan tangan. “Maksudmu?”
Vincent menoleh padanya. "Kau punya orang dekat... yang bukan seperti yang kau kira. Aeternum sudah menyusup lebih dalam dari yang kamu tahu."
Sebelum Leon sempat bertanya lebih jauh, Vincent bangkit. "Ini bukan waktunya bagiku untuk bersih-bersih. Tapi waktunya kamu bertanya: siapa sebenarnya yang kamu percaya?"
Dan ia berjalan menjauh, meninggalkan Leon dengan badai di dalam kepala.
Kembali ke Rumah
Malam itu, Lana terbangun karena suara pintu depan. Leon masuk, wajahnya dingin dan lelah.
“Apa yang terjadi?” tanya Lana pelan.
Leon menatapnya. "Kita harus siap. Musuh kita bukan cuma Titan atau Aeternum. Tapi seseorang… yang mungkin selama ini sudah dekat. Terlalu dekat dengan kita."
Lana memucat. "Siapa?"
Leon menggeleng. "Aku belum tahu. Tapi kita akan temukan dia. Bersama."
Lana mendekapnya erat. "Apa pun yang terjadi, kamu nggak sendiri."
Leon memeluknya erat, seolah ingin memastikan kenyataan itu. "Terima kasih... Karna udah tetap di sini."
"iya Leon",jawab Lana menyandar di dada bidang Leon.
Dan malam itu, meski angin kecurigaan mulai berembus di antara mereka, cinta yang mereka bangun bertahun-tahun tetap berdiri kokoh. Karena dalam dunia yang penuh bayangan, hanya kejujuran dan cinta yang bisa jadi cahaya.