Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 27
Begitu Jessi mendengar suara Jeremy memanggil, ia terkejut, buru-buru berdiri sambil terisak, lalu berusaha menenangkan diri. “Jeremy, aku di sini,” jawabnya pelan.
Jessi berdiri di tempat, hatinya terasa penuh beban. Beberapa hari terakhir ini ia sudah terlalu lelah, disalahkan terus-menerus, dan jauh di lubuk hatinya, ia berharap Jeremy setidaknya akan merangkulnya, menenangkannya, mengucapkan satu-dua kalimat yang bisa menghibur.
Tapi saat Jeremy sudah mendekatinya, wajahnya langsung masam, nadanya keras tanpa sungkan.
“Apa kamu bertengkar lagi dengan Ibuku? Aku cuma pergi rapat sebentar, pulang-pulang kalian sudah ribut. Jessi, bisakah kamu sedikit tenang? Jangan menambah masalahku!”
Jessi tertegun, seolah seluruh harapannya runtuh seketika. Dadanya sesak, matanya berkaca-kaca, ia menatap Jeremy tak percaya.
“Jeremy, kata-katamu barusan… apa maksudmu aku ini hanya pembawa masalah? Siapa yang merawat ibumu saat sakit? Siapa yang meminjamkan uang untuk operasi ibumu?”
Jeremy menatapnya dengan kesal, suaranya meninggi.
“Iya, kamu, kamu semua kamu! Memangnya kenapa? Kamu kan istriku, menantu ibuku, sudah seharusnya kamu melakukan itu!”
Jessi tertawa getir, air mata yang sejak tadi ditahannya kembali jatuh. “Jadi maksudmu semua ini salahku sendiri? Aku kelelahan, aku berkorban, karena aku menikah denganmu, jadi itu memang salahku?”
“Aku tidak bilang begitu,” balas Jeremy, bahunya terangkat acuh tak acuh. “Kalau kamu mau menganggapnya begitu, terserah!”
Perih menusuk dada Jessi, rasa kecewa, marah, lelah, semuanya bercampur menjadi satu. Orang yang dulu ia cintai, yang pernah begitu ia percaya, kenapa berubah seperti ini?
Ia sudah berjuang keras merawat ibu mertua, menahan malu meminjam uang pada Irish, bahkan menahan rasa tidak enak kepada orangtuanya sendiri, semua demi membantu suaminya yang ia cintai. Sebagai istri, ia rela mengorbankan air mata dan harga dirinya demi keluarganya.
Tapi sekarang, pengorbanannya dianggap angin lalu. Jeremy tak pernah bersyukur, malah menyalahkannya tanpa rasa empati.
Jessi menunduk, suara lirihnya bergetar. “Baiklah, kalau kamu menganggap aku hanya pembuat masalah, mulai sekarang kamu urus ibumu sendiri!”
Begitu selesai berbicara, Jessi berbalik pergi.
Melihat istrinya benar-benar pergi, Jeremy panik, tangannya terulur dan langsung meraih bahu Jessi sambil berteriak, “Jessi! Kamu jangan macam-macam lagi!”
Jessi menoleh, menatap Jeremy seperti menatap orang asing. “Kamu berteriak padaku?” bisiknya getir. “Dulu kamu bahkan tidak tega meninggikan suara sedikit pun padaku.”
Tatapan penuh luka itu akhirnya membuat Jeremy sedikit goyah. Ia teringat masa-masa dulu di kampus, bagaimana ia mencintai Jessi setulus hati, selalu takut membuatnya terluka.
Tapi sejak kapan, pikirnya, rasa itu memudar?
Dengan nada menurun, Jeremy mencoba meredakan amarah. “Aku tidak bermaksud meneriakimu… cuma kamu terlalu keras kepala.”
Tapi Jessi sudah memutuskan, ia menepis tangan Jeremy dengan dingin. Matanya menatap penuh luka dan tekad.
“Kita butuh waktu untuk sendiri,” katanya pelan.
Entah sejak kapan, Jessi merasa kehilangan dirinya. Setiap hari hanya bergelut dengan suami, anak, dan mertua, ia bahkan tak sempat sekadar membaca buku atau menikmati dunianya sendiri. Pengorbanannya tak pernah dihargai, hanya dijawab kemarahan atau dianggap kewajiban semata.
Ia merasa iba pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia berubah menjadi wanita yang begitu menyedihkan?
Dengan tawa getir, Jessi berbalik dan melangkah pergi.
“Jessi, jangan buat keributan lagi!” teriak Jeremy, mencoba meraih tangannya. Namun tanpa sengaja, tarikan Jeremy terlalu kuat.
Jessi terjatuh keras di lantai, terdengar suara bruk yang membuat orang-orang di sekitar menoleh. Meski memakai pakaian tebal di musim dingin, lutut dan tangannya tetap terbentur lantai.
Sakitnya menusuk, air matanya tumpah lagi. Ini suaminya, cinta pertamanya, orang yang dulu begitu ia puja, kini tega menjatuhkannya seperti ini.
Dulu, hanya dengan melihat Jessi mengerutkan alis, Jeremy akan segera khawatir dan memeluknya. Tapi sekarang?
Jessi menggigit bibirnya, menahan perih, air mata deras membasahi pipinya.
Di tengah kebingungannya, ia melihat sepasang sepatu kulit mahal berhenti di depannya.
Jessi menengadah, napasnya tercekat. Sosok pria berjas putih berdiri di sana, tampak gagah, wajahnya teduh meski dingin, dengan kacamata emas menambah wibawa.
Itu Leo.
Ia menatapnya, tak percaya, hampir seperti mimpi. Leo masih sama seperti dulu, tampan, tenang, dan cuek.
Leo meraih tangannya tanpa ragu, tangan dingin seperti pisau operasi, lalu menarik Jessi berdiri dengan hati-hati. Setelahnya, ia langsung melepas genggamannya, tetap tanpa banyak ekspresi.
Jessi menatap Leo dengan campuran malu dan syukur, menunduk dengan air mata di pipinya. Tidak pernah terpikirkan, di saat dirinya terpuruk, pria itu muncul.
Untungnya, sepertinya Leo tidak mengenalinya lagi. Jessi menarik napas lega, lalu berkata dengan suara sengau, “Terima kasih.”
Joseph menatapnya tenang. “Sama-sama.”
Ia sebenarnya baru saja menyelesaikan operasi panjang, ingin menenangkan diri di taman rumah sakit, tapi malah melihat keributan Jessi dan Jeremy.
Sebelumnya, Leo sempat mendengar Jeremy merayu wanita di toilet rumah sakit, sekarang malah memperlakukan istrinya begini. Benar-benar pria yang menyedihkan, pikirnya, sembari menatap Jeremy dengan senyum dingin di sudut bibirnya.
gemessaa lihatnya