Sania pernah dihancurkan sampai titik terendah hidupnya oleh Irfan dan kekasihnya, Nadine. Bahkan ia harus merangkak dari kelamnya perceraian menuju titik cahaya selama 10 tahun lamanya. Sania tidak pernah berniat mengusik kehidupan mantan suaminya tersebut sampai suatu saat dia mendapat surat dari pengadilan yang menyatakan bahwa hak asuh putri semata wayangnya akan dialihkan ke pihak ayah.
Sania yang sudah tenang dengan kehidupannya kini, merasa geram dan berniat mengacaukan kehidupan keluarga mantan suaminya. Selama ini dia sudah cukup sabar dengan beberapa tindakan merugikan yang tidak bisa Sania tuntut karena Sania tidak punya uang. Kini, Sania sudah berbeda, dia sudah memiliki segalanya bahkan membeli hidup mantan suaminya sekalipun ia mampu.
Dibantu oleh kenalan, Sania menyusun rencana untuk mengacaukan balik rumah tangga suaminya, setidaknya Nadine bisa merasakan bagaimana rasanya hidup penuh teror.
Ketika pelaku berlagak jadi korban, cerita kehidupan ini semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Nadine sore itu memutuskan masuk ke ruangan Irfan. Menunggu Irfan disana. Entah untuk apa. Yang pasti, Irfan telah menyelesaikan semua yang ia minta dan ayahnya telah menerbitkan iklan buatan Irfan. Tidak ada urusan lain sehingga Nadine benar-benar tidak punya alasan lagi bertemu dengan Irfan setelahnya.
Ruangan yang dulunya ruang arsip ini kini ditempati Irfan karena perang diantara mereka selagi Irfan menyelesaikan tanggung jawab yang belum selesai.
Nadine melihat sekeliling, tidak ada yang istimewa, bahkan laptop pun tidak ada. Irfan benar-benar menjadikan ruangan ini adalah penjara yang dingin.
Mata Nadine tertuju ke meja kemudian. Ia duduk dan meraih apapun di meja untuk alibi. Nadine mengambil kertas dan membacanya. Bibirnya mendengus usai membaca keseluruhan surat.
"Jadi kau berniat datang dengan mantan istrimu, ya, Fan?"
Nadine melempar surat itu ke meja lagi sebelum keluar dengan aura kemarahan yang makin meluap-luap. Kali ini, Nadine benar-benar tidak bisa lagi menolerir Irfan. Laki-laki itu harus ditegasi biar tidak semakin menjadi-jadi.
Acara perpisahan siswa diadakan dengan konsep outdoor, di halaman sekolah Sabtu malam. Semua wali siswa tampak antusias menghadiri hari penting anak-anak mereka.
Sania juga demikian, ia melepas Mutiara untuk berbaur dengan teman-temannya. Kebahagiaan terpancar dari wajahnya malam ini terlepas nanti akan ada Irfan di sisinya. Kendati risih, Sania akan menahannya untuk sementara. Semua demi Mutiara.
"Bu Sania ...."
Sania menoleh, wali kelas Mutiara sepertinya ingin mengajaknya berbicara, jadi ia segera mengikuti wali kelas yang tersenyum padanya.
Ketika itu, Irfan tiba dengan setelan yang ia beli kemarin. Begitu percaya diri karena ia akhirnya bisa duduk bersama Sania sebagai orang tua Mutiara.
Namun, baru saja Irfan akan melangkah, sebuah Limousin berhenti. Irfan mau tak mau menoleh.
Nadine muncul dari sana mengenakan gaun lelang dari Savero yang memang sejak awal akan dia pakai untuk acara perpisahan sekolah Mutiara. Nadine yang memang sudah merencanakan banyak hal terkait Mutiara, begitu percaya diri sampai saat dimana ia harus menahan amarah karena semua rencana indahnya hancur berantakan.
"Maaf aku terlambat, Sayang." Nadine mengait lengan Irfan begitu manja, tersenyum manis, dan mengeluarkan undangan untuk disodorkan pada panitia. "Kau juga melupakan undangan ini, kan?"
Irfan benar-benar kaget sampai ia kaku dibuatnya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain membawa Nadine ke dalam lokasi acara. Ia ingat peringatan Sania waktu itu, bahwa dia tidak boleh membuat Mutiara malu. Tentu akan ia lakukan apapun demi mendapatkan respect yang bagus dari Sania.
"Maaf, kami orang tua Mutiara ... dimana tempat duduk kami?" Nadine begitu percaya diri bertanya pada petugas yang mengatur jalannya acara malam ini.
Kehadiran Nadine yang mencolok—dimana dresscode malam ini adalah simple dress berwarna hitam, membuat semua orang melihat ke arah Nadine tanpa malu-malu. Tak sedikit yang melongo dan menahan tawa.
Gaun peach yang penuh dengan Cartier itu memang gaun yang indah tapi sama sekali tidak cocok untuk acara ini. Namun, tak ada yang berani menggunjing berlebihan karena mereka tahu dia adalah Putri Brooch.
"Silakan duduk disana!" perintah panitia seraya menunjuk kursi di barisan ke empat dari belakang. Petugas itu langsung bisa mengenali dengan mudah orang tua seperti apa mereka berdua ini.
Nadine hendak protes ketika Irfan menariknya untuk segera duduk. Menurutnya, tidak selayaknya orang tua wali duduk di barisan tamu undangan.
"Hei apa kau gila?" Nadine membentak Irfan meski ditahan-tahan. "Bagaimana aku akan duduk kalau kursinya seperti ini? Gaun ku akan rusak!"
Irfan berdecak, memejamkan mata sebentar lalu menoleh ke arah Nadine. "Apa aku memintamu datang?"
Nadine mendengus karena beberapa orang tampak melirik ke arah mereka. Ia tak mungkin menjatuhkan harga dirinya disini, jadi ia segera duduk meski dengan gerakan yang begitu kasar. Mukanya disetel semanis mungkin meski susah sekali.
Irfan duduk di sebelahnya, membuang napas keras-keras lalu memijat kening yang terasa sakit.
"Kenapa? Kau kesal karena gagal bersanding dengan mantan istrimu itu?" Nadine berkata di sudut bibirnya untuk mengejek Irfan yang saat ini sepertinya tidak bisa berbuat apa-apa. Nadine tahu, Mutiara bagi Irfan adalah segalanya. Pasti Irfan sebisa mungkin tidak akan membuat keributan yang akan membuat Mutiara malu.
Sania pun melihat kehadiran Nadine. Ia hanya mengerutkan kening tanpa merespons banyak. Justru ia lega karena tidak ada yang akan membuatnya risih dan tidak nyaman. Ia bisa fokus pada acara Mutiara saja.
Wali kelas yang sudah diberitahu Mutiara soal keadaan orang tuanya memaklumi keadaan ini, jadi ia segera meminta Sania menempati tempat duduk khusus orang tua siswa.
Bukan hanya Mutiara saja, tapi banyak orang tua yang bercerai dan pasti pasangan yang sekarang juga ingin ikut hadir, jadi pihak sekolah menyediakan kursi khusus untuk pasangan jenis ini.
Nadine pun duduk disana. Nantinya, Irfan akan duduk bersama Sania di kursi wali siswa sampai acara inti berakhir. Setelah itu ada acara after party yang lebih santai dan ramah, disana mereka bisa berinteraksi lebih santai.
Namun, hingga acara berjalan setengah, Irfan tidak kunjung menuju kursi sebelah Sania. Hingga saat ketika orang tua maju ke depan mendampingi putri mereka menerima penghargaan, Sania terpaksa mendekati Irfan dan mengajaknya ke depan. Mutiara memenangkan medali emas Olimpiade dan akan terbang ke Amerika minggu depan. Sania dan Irfan akan mendampingi Mutiara menerima medali.
"Tolong kerja samanya." Sania berdiri di sebelah Nadine, memakai simple dress hitam, yang benar-benar elegan dan tampak mahal. Sebenarnya, Sania agak keberatan sebab Irfan tidak punya andil apa-apa untuk semua prestasi Mutiara, tetapi formalitas mengharuskan dirinya patuh.
Nadine menatap Sania dari atas ke bawah. Kemudian dia tahu bahwa gaun ini yang dibelikan oleh Irfan kemarin. Gigi Nadine saling beradu menahan amarah. Harusnya Irfan memberikan gaun itu untuknya, bukan untuk Sania. Gaun itu membuat Sania jadi terlihat lebih segar.
Ah, sialan!
"Apa kalian tidak dengar?" Sania sekali lagi berkata di depan muka Nadine karena tidak ada respon berarti. Bahkan Nadine mencengkeram lengan Irfan kuat-kuat. "Kalau kau keberatan, sebaiknya aku tidak memaksa."
Sania berdiri tegak dan melangkah ke depan.
"Sania, tunggu sebentar." Irfan berdiri susah payah. Tampak ia melepaskan diri dari Nadine yang sudah siap menyemburkan api amarah dari mulutnya.
Sania menoleh sedikit, menahan malu sebab banyak wali siswa dan undangan memperhatikan ke arah mereka.
Irfan menyejajari Sania, "ayo ... jangan biarkan Mutiara menunggu kita."
Sania sedikit menjaga jarak, agar Irfan tidak mengamit lengannya.
Mutiara memakai jubah hitam selutut, menutupi dress yang ia pakai. Ia tersenyum ke arah sang ibu, mengabaikan Irfan yang tampak bangga padanya.
"Momy ...."
Mutiara memeluk ibunya, mencium kedua pipinya.
"Selamat Sayangnya Momy ...." bisik Sania pelan, hampir ia menangis karena Mutiara benar-benar mengagumkan malam ini. "You're so gorgeous ..."
Mutiara memegang tangan ibunya, lalu agak enggan memeluk Irfan. Mutiara bisa dikatakan tidak memeluk Irfan, tapi hanya mengambangkan tangan di sekitar tubuh Irfan.
"Malam, Pak." Mutiara sedikit tersenyum lalu kembali ke posisinya. Ia kemudian menerima medali, berfoto bersama dan diberi tepuk tangan juga ucapan yang mampu membengkakkan hati.
Nadine mengawasi mereka dengan napas yang terus menderu. Ia merasa panas. Tersisih dan diabaikan. Mereka benar-benar menghayati layaknya keluarga yang harmonis. Ya ampun, ini menyakitkan sekali.
Nadine berdiri spontan. Melangkah lebar menuju ke panggung.
"Bu, mohon maaf! Anda tidak boleh naik, anda bukan wali siswa!" Petugas menghentikan langkah Nadine dengan penjagaan ketat. Malam ini, walikota hadir, menteri pendidikan juga hadir, staf kepresidenan juga berada disana. Acara ini tidak boleh kacau hanya karena tindakan semborono seseorang.
"Saya ibu Mutiara juga!" bentak Nadine penuh emosi yang memburu.
"Tunggu di bawah saja, Bu!Anda bisa berfoto di bawah, setelah mereka turun!"
"Kenapa? Kenapa nggak boleh kesana? Aku juga membesarkan Mutiara!"
"Ya ampun, Ibu ... tolong pahami rules acaranya, kami tahu anda juga berjasa tapi tolong hormati acara kami."
Astaga, petugas merasa wanita ini tidak tahu diri dan tidak memahami konsep acara.
"Tolong bawa ibu ini ke booth foto, dia ganggu banget!"
Nadine dicekal begitu erat, ditarik hingga dia nyaris jatuh. Nadine menjerit keras, tapi tidak sampai membuat acara ini kacau. Orang-orang hanya melirik sekilas, lalu fokus lagi ke panggung dimana Sania sebagai wakil wali siswa memberikan ucapan perpisahan dan terimakasih pada sekolah.
Nadine mendengus marah melihat Sania dan Irfan berdiri berdampingan.
"Huh, mereka benar-benar sialan!" Nadine menghentakkan kaki kuat-kuat hingga heelnya menancap ke tanah yang memang cukup subur dan lembab. Nadine berdiri di rerumputan yang basah karena disiram juga karena embun malam.
Ia yang emosi dan tidak sadar ujung heelsnya menancap itu hendak menghentakkan kaki lagi. Akan tetapi ia langsung tersungkur dan mencium tanah tanpa basa basi.
"Arrghhh!"
tp gk apa2 sih kl mau cerai juga, Nadine pasti nyesek🤣
Sifat dasar Nadine suka menghancurkan. Bukan hanya benda, pernikahan orang lainpun dihancurkan.
Dan sekarang rumahtangganya mengalami prahara akibat ulahnya yang memuakkan.