Kiran begitu terluka ketika mendapati kekasihnya berdua dengan wanita lain di dalam kamar hotel. Impiannya untuk melanjutkan hubungannya ke arah yang lebih serius pun sirna.
Hatinya semakin hancur saat mendapati bahwa pada malam ia merasa hampa atas pengkhianatan kekasihnya, ia telah melalui malam penuh kesalahan yang sama sekali tidak disadarinya. Malam yang ia habiskan bersama atasannya.
Kesalahan itu kemudian menggiring Kiran untuk membuka setiap simpulan benang merah yang terjadi di dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uma hajid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepulangan Tuan Mahesa
Ari bergegas masuk ke kamarnya begitu keluar dari kamar Kiran. Mandi kemudian bersiap untuk pergi ke kantor. Sebelum berangkat, ia menitipkan pesan pada beberapa pelayan, terutama pada Tina agar mengawasi pelaksanaan pelayan yang diperintahnya tadi.
Selesai sarapan, Kiran berencana ingin merapikan bekas makanan mereka, tapi dua pelayan langsung masuk untuk membereskan meja.
"Nona, pesan Mas Ari, Nona disuruh ganti baju. Nona bisa pakai baju Nona Raisa dulu. Karena pakaian Nona belum datang. Beberapa dalaman yang baru dan belum pernah pakai juga ada milik Nona Raisa. Nona bisa memakainya." pelayan tersebut menunjuk lemari.
"Mas Ari juga pesan, agar meminta kunci rumah Nona. Kami disuruh membawa semua barang Nona dari sana."
"Kunci rumah saya ada di tas. Tasnya ketinggalan di kantor karena kemarin saya diculik."
"Semua barang-barang Nona di kantor sudah di bawa Mas Ari pulang kemarin." menunjuk sebuah paper bag di atas nakas.
Kiran langsung mengeceknya. Benar saja. Ada ponsel dan tas miliknya. Entah kapan dan siapa yang meletakkan di sana sama sekali tidak diketahui Kiran. Tidak mau ambil pusing, gadis itu mengambil kunci rumahnya dari dalam tas lalu memberikannya pada pelayan tadi.
"Bawakan saja bajuku ya, Mbak. Dan beberapa berkas yang ada di dalam lemari."
"Baik, Nona," ucap mereka kemudian keluar kamar.
"Ng... Mbak!" panggil Kiran lagi. Pelayan yang keluar dari pintu tadi berhenti melangkah lalu berbalik menatap Kiran.
"Ada apa, Nona?"
"Si Mbaknya ya, yang masukkan baju-baju saya. Maksudnya kan ada beberapa dalaman saya. Jadi saya pasti malu jika yang memasukkan baju saya adalah laki-laki."
"Baik, Nona."
"Cuci tangan dulu ya, Mbak. Sebelum masukkan pakaian saya ke dalam koper. Kopernya juga dikebut dulu." perintah Kiran ragu-ragu. Ia terdengar cerewet sekali, baginya. Namun bagi pelayan tadi tidak sama sekali.
"Baik, Nona. Akan saya pastikan semua bersih dan steril." ucapnya seperti tahu maksud Kiran.
"Baik. Terima kasih ya, Mbak."
"Sama-sama, Nona."
"O iya, satu lagi Nona. Pesan Mas Ari, Nona harus istirahat. Jadi Nona kunci saja kamar ini. Kami juga tidak akan mengganggu. Jam makan siang nanti kami akan kembali membawa makan siang sekaligus barang-barang Nona." tambah pelayan tadi di depan pintu kamar.
"Baiklah, terima kasih." kata Kiran sembari menutup pintu.
Kiran mendekati lemari, mengambil satu kaos, satu celana training beberapa dalaman baru serta satu buah handuk. Selanjutnya gadis itu masuk ke kamar mandi, membersihkan diri.
Seharian, kerja Kiran hanya makan, tidur, sholat. Dia sama sekali tidak boleh keluar kamar. Meski bosan, sejujurnya Kiran sedikit menyukainya. Dia bisa beristirahat dengan lebih optimal. Namun, aktifitas yang biasa ia lakukan lebih membuatnya bersemangat dan hidup.
Sesuai dengan janjinya, tepat pukul dua belas kamarnya diketuk dari luar. Beberapa pelayan membawakan makan siang serta beberapa koper miliknya. Mereka mengerjakannya dengan sangat baik.
Sore harinya tampak sebuah mobil meluncur masuk dalam pekarangan rumah keluarga Makarim. Tina yang selalu memantau tamu yang datang langsung memberi instruksi pada salah satu pelayan untuk memberitahu Nyonya mereka. Tuan Besar sudah pulang.
"Selamat datang, Tuan." ucap Tina sambil menganggukkan kepala.
"Nyonya di mana, Tina?" tanya Tuan Mahesa ketika masuk ke dalam rumah.
"Aku di sini, Cinta...." Mama Ariana segera menghampiri Tuan Mahesa, mencium takzim tangannya lalu mencium kedua pipi suaminya yang sudah pergi selama dua minggu itu.
"Iss, Papa lah..., kok gak bilang-bilang sih, kalau mau pulang sore. Katanya pulang malam. Mama jadinya kan gak bisa dandan." ucapnya cemberut. Wanita paruh baya itu bersikap layaknya pasangan muda-mudi saja. Pemandangan yang sudah biasa bagi Tina. Nyonya nya memang sedikit lebay.
Pria paruh baya itu tersenyum melihat perangai istrinya itu. "Mama selalu cantik kok bagi Papa."
Mama Ariana tersenyum manis mendengar pujian suaminya. Ia meraih tas suaminya kemudian membimbingnya ke kamar.
Begitu sampai di kamar, Ariana langsung memeluk suaminya itu dengan erat. "Mama kangen, Pa."
"Papa juga kangen."
"Papa minum dulu, ya. Baru mandi." kata Mama Ariana melepaskan pelukannya kemudian meletakkan barang-barang suaminya.
Ariana memberi perintah pada salah seorang pelayan untuk membuatkan minuman. Setelah itu, ia mendekati suaminya yang kini sedang berada di atas sofa. Memberi pijatan ringan pada pelipisnya.
"Papa capek banget ya?" tanyanya sambil memberikan pijatan yang kini merambat ke atas kepala. Suaminya paling senang pijatan pada bagian situ. Apalagi jika rambutnya dijambak dengan lembut.
"Hemm," Tuan Mahesa memejamkan mata dengan rileks. Menikmati sentuhan yang diberikan istrinya itu.
Sebuah ketukan terdengar. Mama Ariana mempersilakan masuk. Seorang pelayan datang membawa nampan berisi minuman madu hangat plus jeruk beserta beberapa camilan atas perintah Ariana. Meletakkannya di atas meja lalu segera keluar.
Mama Ariana bergerak mendekati meja, lalu duduk di atas sofa, di samping suaminya. Kemudian memberikan minuman itu pada suaminya.
"Gimana expand nya, Pa?" tanyanya setelah Tuan Mahesa memberikan gelas kosong kepada Ariana.
"Alhamdulillah bisa, Ma. Tapi ada beberapa hal yang harus Papa bicarakan dengan Radit terkait hal ini."
"Alhamdulillah, Pa." menyodorkan piring camilan. Papa Mahesa mengambilnya.
Kemudian terdengar obrolan ringan mereka. Papa Mahesa dan Mama Ariana memang senang ngobrol, menceritakan kegiatan satu sama lain jika sudah jumpa.
"Papa mau mandi sekarang?" tanya Mama Ariana sembari meletakkan piring camilan yang kosong. Tuan Mahesa mengiyakan.
Papa Mahesa masuk ke kamar mandi. Mama Ariana langsung menyiapkan pakaian yang akan dipakai suaminya setelah mandi. Kemudian ia mengganti bajunya dengan teddies.
Tuan Mahesa menghidupkan shower. Membasahi badannya dengan guyuran air hangat. Kemudian meraih sabun dan menyapukan ke seluruh tubuhnya. Sebuah tangan yang lembut meraih jemarinya, menempatkan tangannya pada posisi samping lalu menggantikan tangannya yang kesulitan tadi menyapukan pada bagian punggung.
Tuan Mahesa mendesah pelan saat tangan lembut itu kini beralih menyapu bagian dada dan daerah sensitifnya dengan gerakan-gerakan yang membangkitkan gairah.
Ia membalikkan badan. Menemukan Mama Ariana tampil dengan gaun super sexy and hotnya yang berwarna hitam, menatapnya dengan senyuman menggoda. Pria itu menahan nafas melihat buliran air membuat lekukan itu semakin kentara.
Mandi sore itu menjadi panas dengan gairah yang mereka ciptakan di dalam kamar mandi. Hasrat yang sudah ditahan Tuan Mahesa selama dua minggu terpuaskan sudah.
❇❇❇❇
Mama Ariana membantu Papa Mahesa mengenakan bajunya. Wajah puas terpancar dari keduanya.
"Pa, Mama mau ngomong deh. Tapi janji dulu Papa jangan marah."
"Mau ngomong apa?" tanya pria itu penasaran.
"Janji dulu jangan marah."
"Iya, Ma. Insya Allah Papa gak marah."
"Ahad ini Ari nikah, Pa."
Mata Tuan Mahesa membeliak dengan sempurna. "Mama jangan bercanda, Ma."
"Mama serius, Pa." tersenyum kecut.
"Ma, pernikahan bukan permainan. Mau nikah dengan siapa dia? Kenapa Mama gak tanya Papa dulu. Pernikahan itu gak semudah itu, Ma...."
"Tapi janji gak marah tadi." ucap Mama Ariana sembari menutupkan telunjuknya ke bibir Tuan Mahesa sehingga menghentikan ucapan pria itu.
Tuan Mahesa beranjak mendekati sofa lalu duduk di sana. Wajahnya yang tadinya sumringah berubah kelam. Putra keduanya itu memang kerap kali semaunya. Istrinya terlalu memanjakannya.
"Namanya Kiran. Dia sekretaris Ari di kantor. Dia yang membantu Ari selama ini. Anaknya cantik dan pintar, Pa. Papa kalau lihat dia pasti kaget."
Tuan Mahesa menaikkan sebelah alisnya. "Kaget kenapa?"
"Dia mirip teman lama kita."
"Siapa?"
"Rina dan Kamil!"
Tuan Mahesa memandang istrinya tak percaya. "Kiran itu anak mereka?"
"Mama gak tau sih, pastinya. Karena Mama juga belum tanya lebih jelas sama Kiran."
Mama Ariana tidak akan mungkin menceritakan bahwa memang pertemuannya dan Kiran teramat singkat. Ditambah lagi harus pakai drama dulu biar gadis itu setuju. Jika suaminya tahu, bisa marah besar pastinya.
"Kalaupun bukan anak mereka, Papa bolehin kan, Ari menikahi Kiran?"
"Kalo Papa gak ngasih?"
"Mama marah sama Papa."
"Mama terlalu memanjakan Ari."
"Dia sudah dewasa, Pa. Usianya sudah dua puluh tujuh tahun. Dia sudah pantas untuk menikah."
"Bukan berarti harus tergesa-gesa kan, Ma?!"
"Iss, Papa. Mama tu pengen cepet gendong cucu." mencebikkan bibirnya.
"Papa gak peka banget, sih!" mata Mama Ariana mulai berkaca-kaca.
Tuan Mahesa langsung meraih tubuh istrinya itu dalam pelukannya. Sifatnya selalu saja sama. Tak pernah berubah. Ariananya yang manja.
"Ya udah, Papa gak marah. Papa akan merestuinya." Mama Ariana tersenyum bahagia.
"Nanti malam suruh gadis itu datang, atau jika perlu kita ke rumahnya saja. Papa ingin bertemu kedua orang tuanya."
"Kita gak perlu ke rumahnya, Pa. Dia anak yatim piatu. Dan....," Mama Ariana menghentikan ucapannya. Kemudian melanjutkannya ragu-ragu sembari memperhatikan raut wajah suaminya itu dengan seksama.
"Gadis itu ada di rumah kita. Di kamar Raisa." sambung Mama lagi. Mata Tuan Mahesa membulat dengan sempurna.
"MAMA...!" ucapnya penuh penekanan. Matanya menatap tajam sang istri. Mama Ariana tersenyum kecut sembari memutar bola matanya.