sesekali kamu harus sadar kalau cowok cool, ganteng dan keren itu membosankan. lupakan kriteria "sempurnah" karena mereka tidak nyata.
hal - hal yang harus diketahui dari sosok pian :
1. mungkin, sedikit, agak, nggak akan pernah ganteng, cool, apalagi keren. bukan berarti dia jelek
2. nggak pintar bukan berarti dia bodoh
3. aneh dan gila itu setara
4. mengaku sebagai cucu, cucu, cucunya kahlil gibran
5. mengaku sebagai supir neil armstrong
6. mengaku sebagai muridnya imam hanafi
7. menyukai teh dengan 1/2 sendok gula. takut kemanisan, karena manisnya sudah ada di pika
8. menyukai cuaca panas, tidak suka kedinginan, karena takut khilaf akan memeluk pika
9. menyukai dunia teater dan panggung sandiwara. tapi serius dengan perasaannya terhadap pika
10. menyukai pika
ada 4 hal yang pika benci didunia ini :
1. tinggal di kota tertua
2. bertemu pian
3. mengenal sosok pian, dan....
4. kehilangan pian
kata orang cinta itu buta, dan aku udah jadi orang yang buta karena nggak pernah menghargai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fchrvlr0zak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PIAN MASIH MENGHILANG
Sudah tiga hari berlalu, dan Pian belum juga hadir ke sekolah.
Pika sudah tidak pernah lagi mendengar pusi-pusi alay atau syair andalan Kahlil Gibran yang biasaPian lontarkan. Harusnya Pika senang karena si pengganggu itu menghilang, tapi mengapa semakin hari, semakin terasa sepi.
Pika pura-pura berjalan melewati kelas Pian, sekadar ingin mencari tahu keberadaannya. Namun sayang kelas Pian kosong melompong, karena mungkin jadwal pelajaran mereka adalah olahraga. Jadi semuanya pada turun kelapangan.
Tapi secara nggak sengaja, Pika justru melihat Henrik-salah satu teman Pian yang paling nakal-berada di dalam kelas itu sendirian. Henrik memeriksa satu per satu tas teman-teman kelasnya.
Apa yang sedang dia lakukan? Pika tak tahu. Karena bukan Henrik yang Pika cari, bukan Henrik tujuan utama Pika melewati kelas ini. Jadi Pika berusaha mengabaikan cowok itu dan berlari menjauh menuju kelasnya sendiri.
"Sandiiiii Sarab!!! Sandi Gilo!!!" suara teriakan Widya menggelegar sampai di seantero kelas.
"Kembaliin botol minumanku!"
Widya dan Sandi saling kejar-kejaran mengelilingi meja kelas seperti film India. Untung cuaca nggak hujan.
Ah, jadi ingat Pian!
"Minta dikit airnya buat cebok," jawab Sandi asal semakin bikin Widya kesal.
"Iiiss, nggak mau. gah! Awas kamu pakai air minumku buat cebok, benar-benar aku tendang selangkanganmu Sandi!!!!"
"Eh, Rab. Bukannya kau ada pelajaran olahraga? Ngapain masih di sini? Pergi sana, jangan suka gangguin si Widya!" tegur Tika galak, seperti biasa.
"Kalau kau suka Widya, jujr aja langsung ke orangnya. Kayak Pian yang terlalu jujur ungkapin perasaannya ke Pika sampai akhirnya ditolak mentah-mentah deh sama si Pika di depan semua orang. Hahaha, puas banget aku liat Pian dibikin malu di depa kawan-kawannya."
Cibirian Tika kembali mengingatkan Pika pada kejadian waktu itu.
"Idih, anmit-amit ya Allah." Wajah Widya berubah geli, mengetuk kepala dan meja berulang kali.
"Eeh Wid, nggak usah sok amit-amit segala. Ane tembak ente sekarang juga, bisa mnati ente Wid." Widya menatap Sandi kesal. "Mau kamu tembak sekalian aku pake basoka, sorry yaa... nggak akan terpengaruh. Pergi sana jauh-jauh!"
"Ntar kalau ane pergi jauh, ente kangen lagi sama ane kayak Pika yang lagi kangen Pian." Sandi mengerling genit pada Pika, bermaksud menggoda.
Sontak saja muncul semburat di kedua pipi cewek itu. "Ih, apaan sih. Siapa juga yang kangen sama Pian." Pika buang muka, pura-pura tidak peduli meskipun sampai saat ini dia sangat penasaran di mana Pian berada.
"Rab, memangnya airnya buat apa sih?" tanya Nilam kemudian memerhatikan botol minuman Widya yang berada di tangan kanan Sandi.
"Buat nyiram kuburannya si Kapi," jawab Sandi. Semua terpekik kaget.
"Ha? Kuburan? Kapi? Kuburan siapa tuh?"
"Itu... Kapi, Katak Pika." Kini giliran Pika yang kaget. "Katak gue? Maksudnya apa sih."
"Iya, kataknya udah dikubur di belakang kelas kalian."
"Eh, San. Jangan macam-macam kau sama aku ya!" Tika geram, menarik kera baju Sandi. Sedangkan yang lain sibuk bersorak. "Hajar aja, Ndut. Hajar!"
"Sum-pah, ane kagak bohong. Serius, demi Allah!" Sandi membentuk jarinya menjadi peace. "Katak yang dikubur sama si Pian itu katak uji coba waktu praktik IPA,"
"Ha? Katak yang ada di dalam toples itu?" Pika bersuara. Tika melepaskan kera baju Sandi dan menatap cewek itu.
"Kau tahu Pik?, Pika mengangguk. "Iya, waktu itu si Pian pernah bikin rusuh di perpus pake bawa katak segala. Tapi ngapain kataknya dikubur?"
"Biar nggak dosa kata Pian." Sandi menjawab. Nilam masih bingung. "Ha? Maskudnya gimana sih?"
"Jadi, waktu ambil nilai praktik membedah katak, si Pian merasa berdosa karena udah bunuh katak itu. Terus dia jadi nggak dapat nilai gara-gara kataknya dia kafanin pake kain putih, terus dikubur di belakang kelas kalian. Dia malah nyuruh ane, Henrik sama Tristan buat bacain doa untuk si katak biar tenang di surga."
"Hahahahah!" Tika tertawa ngakak. "Gilo bana si Pian tuh." (arti: Gila sekali Pian itu.) "Ngapain sih dia harus kayak gitu?" tanya Tika kembali.
"Pian bilang. Selama ini dia udah banyak dosa sama Tuhan karena kelakuan nakalnya. Jadi dia nggak mau nambah dosa lagi karena udah bunuh katak. Ya, kayak nggak tahu Pian aja." Sandi melanjutkan.
"Tapi, gue nggak liat Pian lagi. Memangnya dia kemana?" akhirnya pertanyaan yang selalu membuat pikiran Pika tidak tenang, yang selalu mengambang di dalam kepala Pika, terlontar begitu saja.
"Jadi kamu nggak tahu Pik?" Nilam menatap Pika lekat-lekat. Pika menggeleng. "Pian kan lagi tanding teater di Palembang, makanya selama beberapa hari ini dia nggak masuk sekolah." Dan jawaban yang Nilam berikan, akhirnya menjawab semua kegundahan di hati Pika.
Kenapa Pika harus merasa selega ini setelah tahu keberadaan Pian yang sebenarnya? Pasti ada sesuatu yang salah!
"Oh iya, lupa. Si Pian ada kasih ini sama ane, ane lupa kasih ke ente akibat terlalu fokus ngurusin si Kapi." Sandi mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya dan diberikan kepada Pika. Hanya selembar kertas yang dilipat dua. Karena rasa ingin tahunya yang sudah begitu mencuat, Pika membuka kertas tersebut. Lagi-lagi tulisan tangan ceker ayam ala Pian.
Jangan takut...
Walau kita dipisahkan oleh jembatan Ampera dan jembatan Sungai Siak. Kita masih beratapkan langit yang sama, masih berada di dalam planet yang sama.
Sekeras apapun kamu mengusir aku di dalam pikiranmu. Aku tetap jadi anak nakal yang terus mengusik pikiranmu agar kamu bisa rindu aku. Karena aku selalu rindukan kamu.
Beloved Pian.
"Cieee dapat surat dari Pian nih, yee. Ehem, ehem." teman-teman menggoda Pika.
Pika hanya bisa mesem-mesem dengan semburat yang mendadak muncul di kedua pipinya.
Disimpannya kertas itu di dalam saku seragam sekolahnya sambil menghela napas kuat-kuat.
Merasa lega luar biasa.
Ah! Jadi ini alasannya, mengapa Pian menghilang selama tiga hari. Ternyata đia pergi ke Palembang.
Hatiku sedikit tenang, setidakrnya Pian menghilang bukan karena marah denganku. Pika mematut dalam hati.
"Hoi, San. Di kelas kau ada ribut-ribut." Mendadak Dayat muncul dengan napas terengah-engah.
"Memangnya ada apa di kelas ane, Yat?" wajah Sandi berubah panik.
"Ada yang maling uang SPP Riana. Yok, liat." Mereka semua berhamburan keluar dari dalam kelas mengikuti ajakan Dayat. Dan benar saja, semua guru serta murid-murid sudah berkumpul di kelas 11 IPA 3.
Di depan papan tulis, Riana tampak menangis sambil dibujuk oleh Bu Anita.
"Heh, Sandi. Sini kau! Kau belum diperiksa." Teriak Pak Wandi saat memanggil Sandi.
"Kenapa ni, Pak?" gurat wajah Sandi berubah bingung.
"Uang SPP Riana hilang, pasti ada yang mengambil." Pak Wandi menggeledah seluruh tas dan saku celana Sandi.
"Bukan Ane Pak, sumpah. Kalau ane jadi maling, si Umi udah ngejar ane pake sapu lidi." Mata Sandi berkaca-kaca, bibirnya cemberut. Gurat wajahnya antara takut dan ingin menangis. Tapi gurat wajah itu justru tampak begitu lucu.
Semua terkekeh geli melihatnya, tapi tidak dengan Pika. Mata Pika terus terpaku pada Henrik yang sedang duduk di kursi dengan santai. Dan Pika curiga, kalau Henrik pasti pelakunya.
Pika mengangkat tangan. "Pak, tadi waktu kelas ini sedang pelajaran olahraga. Saya nggak sengaja lihat Henrik periksa tas anak-anak di dalam kelas."
Semua langsung memerhatikan Henrik. Sedangkan Henrik, ia bangkit dari kursi. Menunjuk Pika dengan mata melotot tajam. "Kau nuduh aku?"m
Pika diam. Henrik langsung digeledah habis-habisan. Pak Wandi menemukan uang SPP Riana di dalam boxer Henrik!
"Ini apa? Berani kau maling uang SPP Riana, Henrik!" Pak Wandi menoyor kepala Henrik secara kasar. Kemudian menarik tangan cowok itu dan memaksanya keluar dari dalam kelas.
Saat Henrik berjalan tepat di sebelah Pika. Ia sengaja menyenggol bahu Pika dan menyipit tajam seolah Pika adalah musuh besarnya. "Bangsat kau cewek murahan!"
Kalimat kasar Henrik bagaikan petir yang menyambar Pika dengan ganas. Pika meneguk ludah ngeri, merasa ketakutan di saat yang bersamaan. Debaran jantung mulai tak selaras dengan pikirannya.
Dari jauh, Sandi menatap Pika sambil geleng-geleng kepala dan menepuk jidatnya sendiri. "Pika, Pika. Huhfff."
Pika tidak mengerti apa maksud dari gesture Sandi
serta teman-temannya. Karena semuanya menatap Pika dengan cemas.
Untuk yang pertama kalinya, dan kalau boleh jujur, di dalam lubuk hati Pika yang paling dalam; Pika sangat ketakutan.
Untuk yang pertama kalinya dalam sejarah, selama Pika sekolah di sini, setelah mengutarakan semua rasa kebenciannya terhadap Pian; Pika menyebut nama Pian berulang kali di dalam hati dan berdoa agar Pian ada di sini, berdiri di samping Pika, melontarkan kata-kata puitis yang akan membuat semua orang tertawa dan membuat Pika kesal.
Dan untuk pertama kalinya juga Pika merasa kalau peran Pian sangat begitu penting untuk dirinya, bahwa sosok Pian seolah mampu melindunginya.
"Pian, lo ada di mana sekarang? Gue ketakutan. Cepat kembali.."
Salam, Mak Pian<3