Banxue tidak pernah meminta kekuatan—apalagi anugerah terkutuk berupa Tubuh Surgawi—kekuatan kuno yang diburu oleh sekte-sekte suci dan klan iblis sekaligus. Ketika masa lalunya dihancurkan oleh pengkhianatan dan masa depannya terancam oleh rahasia, ia memilih jalan sunyi dan pedang.
Dalam pelarian, dikelilingi oleh teman-teman yang tak sepenuhnya bisa ia percaya, Banxue memasuki Sekte Pedang Azura… hanya untuk menyadari bahwa kepercayaan, sekali retak, bisa berubah menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang manapun.
Di tengah ujian mematikan, perasaan yang tak diucap, dan badai takdir yang semakin mendekat, Banxue harus memilih: berjuang sendirian—atau membiarkan seseorang cukup dekat untuk mengkhianatinya lagi?
Di dunia di mana kekuatan menentukan nilai diri, sejauh apa ia akan melangkah untuk merebut takdirnya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasib Dan Takdir
Setelah pertunjukan bayangan selesai dan sorak sorai mulai mereda, lentera sudah mulai habis diterbangkan. Namun, sebelum malam benar-benar berakhir, Banxue dan Jingyan berjalan melewati jalan kecil di sisi festival—lebih sepi, diterangi lentera-lentera kecil yang tergantung di tali rapuh di antara tiang kayu.
Wayne mengikuti mereka dengan langkah tenang. Dari kejauhan, ia masih bisa melihat siluet keduanya. Banxue tampak lebih... ringan. Lebih hidup. Namun di dadanya, ada beban yang tak bisa ia tolak.
“Lihat itu,” suara Jingyan memotong keheningan. Di sisi kanan jalan, sebuah kedai tua berdiri dengan papan sederhana bertuliskan huruf tinta hitam:
“Perhitungan Nasib & Takdir – oleh Nona Yue.”
Kedainya sempit, dihiasi jimat-jimat tua dan kertas merah dengan simbol kuno. Aroma dupa dan kayu terbakar samar menyambut dari dalam.
“Kedai peramal?” Banxue menyipitkan mata.
“Kalau langit tak bisa kau percaya, mungkin perempuan tua di sini bisa,” canda Jingyan.
Sebelum Banxue sempat menolak, Jingyan sudah menarik lengannya masuk. Wayne mempercepat langkah, mengikuti mereka diam-diam dan berdiri di sisi luar, namun cukup dekat untuk mendengar.
Di dalam, ruangan hanya diterangi oleh lentera kecil. Di balik tirai tipis, duduk seorang wanita tua dengan rambut putih menyanggul rapi, wajahnya penuh kerut namun mata hitamnya tajam.
“Selamat malam, dua jiwa yang terikat.” Suaranya dalam dan bergema. “Tak semua pasangan datang ke mari... tapi kalian datang bukan karena ingin tahu nasib, melainkan karena... takdir kalian saling memburu.”
Banxue menegang sedikit. Jingyan mengangkat alis. “Kau bisa tahu itu hanya dari melihat kami masuk?”
“Tak perlu melihat. Langit sudah berbisik sejak kalian melangkah ke desa ini.”
Peramal itu lalu mengangkat segumpal abu dari mangkuk dupa dan melemparkannya ke dalam nampan air. Asap tipis mengepul.
Ia menutup mata sejenak, lalu membuka kembali—sorotnya tajam ke arah Banxue dan Jingyan bergantian.
“Takdir kalian saling terikat. Seperti dua benang dalam satu simpul. Namun simpul itu... terlalu kencang.”
Banxue menelan ludah. “Apa maksudmu?”
Peramal itu tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke nampan airnya—di sana, dua bayangan samar tampak saling mendekat, lalu satu di antaranya menghilang seperti ditelan kabut.
“Salah satu dari kalian,” katanya perlahan, “mungkin tak akan bertahan sampai akhir takdir yang kau kira.”
Keheningan mendadak membungkus ruangan.
Banxue membuka mulut, tapi tak ada suara yang keluar. Jingyan hanya menatap si peramal tanpa senyum, tatapannya berubah serius.
“Apakah itu pasti?” tanya Banxue akhirnya.
“Takdir adalah jalur, bukan kunci. Tapi… kadang-kadang, harga dari benang yang terlalu erat… adalah putusnya salah satu.”
Jingyan menarik napas. “Kalau begitu, aku akan menempuh jalur yang tak dituliskan langit.”
Wanita tua itu menyipitkan mata. “Kau ingin menantang takdir?”
“Tidak,” jawab Jingyan sambil berdiri. “Aku ingin menulisnya ulang.”
Ia lalu menoleh ke Banxue. “Ayo pergi.”
Banxue masih menatap air di nampan itu. Salah satu bayangan masih samar. Yang lain sudah sirna.
Saat mereka berjalan keluar, Wayne bergeser ke samping jalan, menyembunyikan keberadaannya, tapi matanya tidak lepas dari punggung dua orang itu. Kata-kata si peramal berputar di benaknya seperti racun pelan.
"Salah satu dari kalian... mungkin tidak selamat."
Wayne mengepalkan jemari. Ia tahu apa pun yang terjadi nanti, ia takkan membiarkan Banxue sendirian menanggung takdir yang menakutkan itu.
Angin malam menyusuri lorong-lorong kecil saat mereka kembali ke penginapan. Suara langkah kaki memantul lembut di antara dinding batu dan lentera yang tinggal beberapa helai lagi bergantung di udara. Banxue berjalan di sisi Jingyan, namun pikirannya belum benar-benar kembali dari dalam nampan air itu.
Ia menarik napas, seolah berharap udara malam bisa menggantikan beban yang menekan dadanya. Jingyan tak berkata apa-apa. Hanya tatapan matanya yang tajam namun tenang menyapu sekeliling, sesekali menoleh ke arahnya—memastikan Banxue masih bersamanya, walau pikirannya mungkin tidak.
Begitu mereka memasuki halaman penginapan, Wayne menyusul dari belakang, seolah baru saja keluar dari gang lain.
“Kalian cepat juga kembali,” katanya, suaranya ringan, tapi mata tak menyembunyikan kekhawatiran. “Festival belum sepenuhnya selesai.”
“Udara mulai dingin,” sahut Jingyan singkat. “Dan beberapa hal lebih baik dibicarakan di bawah atap.”
Banxue hanya mengangguk kecil, lalu langsung menuju ke kamar. Langkahnya tak tergesa, tapi ada ketenangan aneh di dalamnya—tenang, seperti seseorang yang terlalu lelah untuk merasa.
Di Kamar Banxue
Ruangannya sunyi. Satu lentera kecil menyala di sudut meja, memantulkan cahaya oranye di dinding kayu. Banxue duduk di sisi ranjang, membuka kain pembungkus rambutnya perlahan. Ia melihat bayangan dirinya di permukaan jendela kaca—dan untuk sesaat, ia merasa sedang menatap orang lain.
Kata-kata Nona Yue masih menempel seperti bisikan samar.
“Tak semua pasangan datang ke mari...”
“Salah satu dari kalian... mungkin tak akan bertahan...”
Ia mengusap wajahnya. Ada bekas air di sudut matanya, entah dari embun malam atau perasaan yang tidak ia sadari tumbuh saat peramal bicara.
Sementara Itu, di Ruang Tengah
Fengyu sedang menyiapkan air hangat di ceret, sementara Linrue memandangi pintu dengan alis terlipat.
“Mereka lama juga di luar,” gumamnya. “Apa mungkin melihat pertunjukan tambahan?”
“Tidak mungkin. Banxue bukan tipe yang tertarik hal begitu,” jawab Fengyu sambil menuang air. “Kalau pun iya... pasti karena dibujuk Jingyan.”
Linrue mendengus. “Jingyan lagi, Jingyan lagi. Sejak dia datang, Banxue berubah.”
“Memangnya buruk?” suara Wayne terdengar dari balik pintu yang baru terbuka. Ia masuk, lalu menutup pintu dengan lembut. “Kadang seseorang memang perlu orang asing... untuk merasa sedikit lebih dekat dengan dirinya sendiri.”
Linrue tidak menjawab. Matanya menatap Wayne sejenak, lalu berpaling.
Fengyu menarik napas, lalu menyodorkan satu cangkir pada Wayne. “Kau tahu apa yang terjadi?”
Wayne menatap cangkir itu, lalu menerimanya.
“Tidak semua yang bisa kulihat harus kuceritakan,” katanya pelan. “Tapi mulai malam ini... aku rasa, sesuatu di dalam Banxue sudah bergerak. Entah menuju cahaya... atau ke tempat yang lebih dalam dari kegelapan yang pernah ia kenal.”
Suasana jadi hening.
Lentera di atas meja bergetar pelan tertiup angin yang merayap dari celah jendela. Dan di balik dinding kamarnya, Banxue menatap langit-langit, seolah bertanya... kalau simpul ini memang tak bisa longgar, haruskah ia menjadi benang yang putus?