Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Suasana kantor Kala Kita pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya.
Biasanya, jam sembilan sudah terdengar suara mesin jahit, derap kaki model latihan catwalk, serta tawa Dewi dan Naya yang saling bercanda soal desain terbaru. Tapi hari ini? Semua berjalan pelan dan hati-hati.
Karena pagi itu… Indonesia heboh.
Salah satu program talkshow ternama pagi tadi menayangkan wawancara eksklusif dengan seseorang yang mengaku “korban manipulasi putri bangsawan yang kini jadi publik figur fashion ternama”.
Namanya: Gilang Raka.
Dan tak butuh waktu lama untuk publik tahu siapa yang ia bicarakan.
> “Saya dikeluarkan dari sekolah karena satu kesalahan kecil. Tapi dia, Dewi Ayu Ningrat, anak orang kaya, bisa bebas seenaknya. Dia pura-pura jadi korban, padahal kenyataannya—dia tahu cara bermain cantik.”
---
[Ruang Kerja Kala Kita – Lantai 2]
Dewi menatap layar laptop dengan wajah tanpa ekspresi. Video potongan wawancara itu terus berputar ulang di media sosial, lengkap dengan tagar:
#NingratLicik
#DewiBukanMalaikat
#KorbanAtauAktor
Naya berdiri di belakangnya, wajahnya geram. “Gila itu orang. Gila! Dia yang salah, dia yang sebarkan foto orang, sekarang malah pura-pura korban?!”
Dewi tak menjawab.
Tak ada air mata.
Tak ada teriakan.
Ia hanya diam. Matanya tajam. Bahunya tegak.
“Dew?” Naya menyentuh pundaknya. “Kamu oke?”
“Tidak,” jawab Dewi pelan. “Tapi aku tidak akan diam.”
---
[Ruang Kreatif – Sore Hari]
Seluruh tim Kala Kita dikumpulkan. Kamera live streaming dipasang. Ruang itu penuh, tapi hening. Hanya terdengar suara degup jantung masing-masing.
Lalu, Dewi masuk.
Berbalut blouse hitam polos dan kain tenun Kalimantan di pinggangnya, ia berjalan ke depan. Dewa berdiri di samping kamera, hanya menatap diam.
Dewi mengambil mikrofon.
“Hari ini saya ingin bicara. Bukan sebagai pendiri Kala Kita, bukan sebagai desainer. Tapi sebagai seorang perempuan. Seorang manusia.”
Semua mata tertuju padanya.
“Waktu saya remaja, saya pernah menjadi korban pelecehan dan intimidasi dari seseorang yang kini muncul di media. Ya, saya melaporkan dia. Ya, saya buat pernyataan untuk menyelamatkan diri saya sendiri. Dan tidak, saya tidak menyesal.”
Wajahnya tetap tenang.
“Kalau membela diri dianggap manipulatif, maka saya akan terus menjadi manipulator untuk menjaga martabat saya.”
“Karena perempuan sering kali dituntut kuat, tapi saat bicara kebenaran, malah dianggap berlebihan. Hari ini, saya katakan: saya tidak menyesal menjadi perempuan yang berani melawan.”
Tepuk tangan mulai terdengar.
“Dan untuk siapa pun yang merasa terancam dengan keberanian saya—saya tidak akan diam. Saya tidak akan tunduk. Karena saya hidup bukan untuk menyenangkan semua orang. Saya hidup untuk membuktikan bahwa luka bisa jadi karya.”
Ruangan meledak oleh tepuk tangan.
Dewa menatapnya, tak bisa menahan senyum tipis yang muncul. Untuk pertama kalinya, ia melihat Dewi tidak hanya sebagai pasangan atau rekan kerja—tapi sebagai sosok yang luar biasa tangguh.
---
[Setelah Konferensi Pers]
Di balik layar, Dewa mendekati Dewi yang baru saja turun dari panggung kecil itu. Ia menyodorkan sebotol air mineral.
“Air putih dari penonton fanatikmu,” katanya lembut.
Dewi menyambut dengan tawa kecil. “Terima kasih, tim suportif.”
Dewa menatapnya lekat. “Kamu luar biasa.”
“Enggak. Aku cuma lagi muak.”
“Dan itu yang membuatmu luar biasa.”
Dewi tersenyum, lalu pelan berkata, “Kamu masih yakin mau jalan sama orang penuh kontroversi seperti aku?”
Dewa menatap dalam, menjawab dengan pelan, “Kamu bukan kontroversi, Dewi. Kamu adalah kebenaran yang akhirnya berani bersuara.”
---
[Beberapa jam kemudian – Twitter & Instagram]
Tagar berubah arah.
> #KamiBersamaDewi
#LukaJadiKarya
#DewiBerani
Ribuan komentar membanjiri akun resmi Kala Kita. Dukungan dari sesama perempuan, para aktivis, hingga public figure berdatangan. Bahkan seorang editor majalah fashion ternama dunia menulis:
“Dewi Ayu Ningrat menunjukkan bahwa fashion bukan hanya soal tampilan. Tapi juga keberanian dan cerita di balik setiap jahitan.”
---
[Malam hari – Balkon rumah Naya]
Dewi duduk sendiri, memandangi langit malam. Tak ada cahaya bintang, tapi malam itu terasa penuh cahaya dari dalam dirinya sendiri.
Dewa datang dengan dua gelas teh panas.
“Mau denger hal aneh?” tanya Dewi sambil menyesap teh.
“Apa?”
“Aku pikir… aku nggak kuat hadapi ini. Tapi ternyata, luka itu… kalau disuarakan, jadi senjata juga.”
Dewa tersenyum. “Dan kamu baru saja membuktikannya.”
Dewi menoleh, menatap pria itu dalam-dalam. “Terima kasih. Karena tetap berdiri di sampingku.”
Dewa menggenggam tangannya. “Selama kamu ingin aku di sini, aku nggak akan ke mana-mana.”
Bersambung