Shanca Evalyne Armandez tak pernah meminta hidup seperti ini. Sejak kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan misterius, ia menjadi tawanan dalam rumah sendiri. Dihabisi oleh kakak tirinya, dipukuli oleh ibu tiri yang kejam, dan dijual seperti barang kepada pria-pria kaya yang haus kekuasaan. “Kau akan menyenangkan mereka, atau kau tidak akan makan minggu ini,” begitu ancaman yang biasa ia dengar. Namun satu malam mengubah segalanya. Saat ia dipaksa menjebak seorang pengusaha besar—yang ternyata adalah pemimpin mafia internasional—rencana keluarganya berantakan. Obat yang ditaruh diam-diam di minumannya tak bekerja seperti yang diharapkan. Pria itu, Dario De Velluci, tak bisa disentuh begitu saja. Tapi justru Shanca yang disentuh—dengan cara yang tak pernah ia duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBM
Di dapur mansion Alaska — sore hari menjelang malam.
Wangi bawang putih tumis berpadu dengan aroma keju yang meleleh sempurna memenuhi seluruh dapur. Sancha berdiri dengan penuh semangat, mengenakan apron berenda yang sedikit kedodoran karena perutnya yang makin membesar.
Tangannya cekatan meski gerakannya lebih pelan dari biasanya. Ia membuat lasagna daging favoritnya, lengkap dengan saus tomat segar buatan sendiri. Di atas kompor, sup tulang bening mendidih perlahan, menghangatkan udara yang sebelumnya dingin.
Sancha mencicipi masakannya, lalu tersenyum kecil.
“Tidak buruk untuk wanita hamil yang hanya mengandalkan naluri dan mood swing…” gumamnya sambil menutup panci.
Ia kemudian merapikan dapur, meletakkan hasil masakannya di penghangat khusus, dan kembali ke kamarnya. Dalam langkah ringan dan sedikit bergoyang, ia bersenandung kecil, sebuah lagu yang biasa ia nyanyikan untuk bayi dalam perutnya.
Sesampainya di kamar, Sancha membersihkan diri. Rambutnya diikat rapi, wajahnya diberi sedikit bedak dan lip tint tipis. Ia mengenakan gaun rumah yang nyaman, lembut dan longgar, dengan warna netral yang membuatnya terlihat bersih dan sederhana.
Ia duduk di tepi ranjang, memandangi langit senja dari balik jendela besar kamarnya. Perlahan, senyum kecut muncul di wajahnya.
Tangannya memegang perutnya yang membulat…
“Nak, kita tidak tahu seperti apa dunia ini setelah kau lahir… Tapi bunda akan berusaha…”
“Kita harus bisa… bunda harus bisa menaklukkan hati pria itu. Entah kenapa, kau harus mengenal ayahmu…”
Matanya menatap bayangan dirinya di jendela.
“Sejahat-jahatnya dia… aku percaya, pasti ada celah. Sekecil apapun… akan bunda cari.”
Sancha berdiri dan berjalan pelan ke arah meja kecil di dekat jendela. Di sana ia menyusun dua piring makan, garpu, dan lilin kecil.
“Ini bukan makan malam romantis… tapi mungkin cukup untuk membuatnya diam setidaknya sepuluh menit.”
Jam di dinding berdentang pelan. Sancha menarik napas dalam-dalam, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, menunggu Alaska datang…
Sementara itu di ruangan lain, Alaska menatap pantulan dirinya di cermin, mengenakan kemeja hitam tanpa dasi. Tatapannya tajam, namun ada sedikit keraguan dalam sorot matanya.
“Untuk apa aku datang?” batinnya.
Namun langkahnya terus membawanya menuju dapur.
Sebuah meja makan kecil tertata rapi. Dua piring makanan masih mengepulkan uap hangat. Di tengahnya, lilin kecil menyala, memberi kehangatan tipis di antara dua orang yang dulu hanya saling menyakiti. Waktu terasa melambat malam itu.
Sancha duduk lebih dulu. Gaun rumahnya sederhana tapi bersih, wajahnya sedikit pucat, namun matanya tak lagi menunduk. Ia menunggu.
Langkah berat terdengar dari koridor. Alaska muncul, mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. Rambutnya sedikit acak. Tatapannya masih dingin, namun tidak separah biasanya.
Tanpa bicara sepatah kata pun, Alaska menarik kursi dan duduk. Ia menatap makanan di hadapannya sebentar, lalu menatap Sancha.
“Kau masak sendiri?” tanya Alaska datar.
Sancha tersenyum kecil.
“Kau pikir siapa lagi yang bisa masak sebaik ini di rumahmu,Walaupun aku baru menyentuh dapur mu hari ini…”
Alaska tidak menjawab. Ia mulai makan dengan tenang. Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang menggantung.
Tiba-tiba, Alaska meletakkan garpunya pelan. Ia menatap Sancha lurus, matanya tajam namun bukan penuh amarah.
“Setelah anak itu lahir… apa rencanamu?” tanyanya.
Sancha meneguk air putihnya perlahan. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia menyembunyikannya.
Ia membalas tatapan Alaska dengan penuh percaya diri, namun suaranya lirih:
“Aku akan merawat anak ini…”
Alaska mengangkat alis.
Sancha melanjutkan, menarik napas dalam-dalam, dan kali ini ia mengulurkan tangannya, menyentuh punggung tangan Alaska di atas meja.
“…dengan papa-nya.”
Alaska menatap tangan itu. Tidak langsung menariknya. Tidak juga menyambutnya. Hanya menatap — seperti sedang menganalisis apakah ini sebuah jebakan lagi atau ketulusan murni dari seorang wanita yang ia akui sulit ia pahami.
“Apa kau yakin?” ucap Alaska tajam. “Kau sangat yakin dengan jawaban mu untuk hidup di dunia Ku? Dunia yang kotor? Dunia yang… berlumur darah?”
Sancha tidak menarik tangannya.
“Aku tidak pernah yakin akan masa depan, Alaska. Tapi aku tahu satu hal…”
Tatapannya sendu, tapi tegas.
“Setiap anak berhak mengenal ayahnya. Dan mungkin, ayahnya pun berhak punya alasan untuk berubah.”
Alaska terdiam. Dadanya terasa berat, seperti ada sesuatu yang mengguncang dari dalam. Ia menarik tangannya perlahan, tapi tidak kasar.
“Jangan terlalu percaya padaku, Sancha. Aku bisa menghancurkan lebih cepat dari yang kau pikir.”
Sancha menunduk sejenak, lalu mendongak dengan senyum lelah.
“Aku sudah hancur berkali-kali, tapi anak ini tetap bertahan dalam tubuhku.”
“Jadi, kalau kau mau menghancurkan… pastikan itu yang terakhir.”
⸻
Alaska berdiri tiba-tiba, mendorong kursinya sedikit ke belakang. Sancha kaget, mengira Alaska marah.
Tapi pria itu hanya berkata lirih:
“Makanannya enak. Aku akan tidur lebih awal malam ini.”
Lalu ia pergi, meninggalkan Sancha sendiri di meja makan, dengan tangan yang masih terasa hangat di punggung tangannya sendiri.
Sancha tersenyum kecil, walau matanya berkaca.
Mansion Alaska – Ruang makan (masih malam)
Sancha duduk sendirian. Di hadapannya, sisa makan malam masih belum dibereskan. Tatapannya kosong menatap lilin yang mulai mengecil. Hatinya seperti terombang-ambing. Entah kenapa ia merasa… kosong setelah Alaska pergi begitu saja.
Hening. Terlalu hening.
Tiba-tiba—
Suara sepatu hak dan suara langkah mantap terdengar dari arah lorong utama.
Sancha langsung menoleh.
Tak lama kemudian, muncullah sosok yang begitu familiar baginya.
“Sancha?”
Suara lembut itu milik Nadya, dengan mantel panjang berwarna camel yang elegan, rambut diikat setengah ke belakang. Di belakangnya, Tio, dengan gaya santai khasnya, mengenakan coat gelap dan celana panjang berpotongan rapi.
Sancha berdiri dengan cepat.
“Tuan Tio dan Nyonya Nadya…!” serunya sedikit terkejut, tapi senyumnya perlahan mengembang. Wajahnya seketika hangat.
“Kami langsung ke sini begitu dengar Alaska ada di mansion ini,” ujar Nadya, menghampiri dan memeluk Sancha dengan penuh kehangatan.
“Kau kelihatan… sedikit lebih cerah,” celetuk Tio sembari menarik kursi dan duduk tanpa izin seperti biasa. “Atau jangan-jangan itu efek lampu ruang makan ini?”
Sancha tertawa kecil.
“Mungkin karena kalian datang,” ujarnya sambil menghapus sisa air mata yang masih membekas. “Aku… benar-benar senang kalian datang.”
Nadya menatap wajah Sancha dengan lembut.
“Kau hamil lima bulan, kan? Astaga, pantas saja wajahmu bersinar… walau tampak menyimpan lelah yang luar biasa.”
Tio mencondongkan tubuh ke meja, menyapukan pandangan ke piring-piring.
“Hmm… kamu masak?” tanyanya, sambil mencomot sisa potongan daging dari piring Alaska.
“Hei!” Sancha menahan tawa. “ Tadi Itu milik Alaska…”
Tio malah mengangkat bahu, lalu menyuap potongan daging itu tanpa ragu.
“Yah, dia kan nggak akan balik lagi malam ini. Lagian, dia harus bersyukur punya calon istri yang masaknya enak.”
Sancha sedikit membelalakkan mata.
“Calon istri?”
Nadya hanya tersenyum dan menggenggam tangan Sancha dari samping.
“Alaska jarang membuka pintu hatinya. Tapi sejak kamu di sini, ada banyak hal yang mulai berubah dari dirinya. Bahkan kalau itu dia sembunyikan di balik dinginnya sikap. Kami tahu.”
“Dan kami berdua, akan ada di pihakmu.”
Sancha terdiam. Hatinya seperti baru dipeluk.
“Terima kasih… sungguh… kalian seperti cahaya kecil di tempat gelap ini,” lirihnya.
“Itulah kenapa kami datang malam ini,” ujar Nadya, “karena kami tahu… kamu butuh teman. Dan kami juga ingin kamu tahu: kamu tidak sendiri.”
Nadya, Tio, dan Sancha tertawa kecil bersama di meja makan.
Tiga orang yang berbeda dunia—namun saat itu, mereka tampak seperti keluarga kecil yang mencoba menemukan arti rumah.
Mansion Alaska – Lorong Tangga Menuju Ruang Makan, Tengah Malam
langkah sendal rumah Alaska terdengar jelas menuruni tangga megah yang dihiasi lampu gantung kristal. Ia mengenakan kaus hitam tipis dan celana panjang, rambutnya sedikit acak karena belum sempat merapikan. Wajahnya datar, namun matanya memancarkan ketegasan penuh selidik.
Dari bawah, suara tawa terdengar samar—tawa Tio dan Nadya, diselingi suara Sancha yang pelan namun hangat.
Alaska berhenti di anak tangga terakhir. Matanya menatap lurus ke arah meja makan, tempat ketiganya duduk bersama. Nadya tertawa kecil, sementara Tio dengan santainya menyandarkan punggung ke kursi, mengunyah dengan santai makanan dari piring Sancha.
“Luar biasa…” gumam Alaska dingin, nyaris tak terdengar. Ia melangkah masuk ke ruang makan.
Suasana langsung berubah.
Tio dan Nadya menoleh bersamaan.
“Wah, pria malam itu datang juga,” celetuk Tio dengan nada santai, seolah tidak menyadari ketegangan di udara.
Alaska tak menjawab. Ia hanya berjalan pelan, berhenti tepat di belakang kursi Sancha. Matanya menusuk, namun suaranya tetap tenang:
“Siapa yang izinkan kalian masuk ke rumahku tanpa pemberitahuan?”
Nadya berdiri dengan anggun, tetap tersenyum walau menatap dingin Alaska.
“Kami bukan orang asing, Alaska. Dan rumah ini bukan penjara. Kami hanya ingin memastikan Sancha baik-baik saja…”
Sancha langsung menunduk. Ia merasa ada yang menekan dadanya.
“Baik-baik saja?” ulang Alaska, nadanya naik satu oktaf. “Dia sedang mengandung anakku dan baru saja membuat masalah besar beberapa waktu lalu—dan kalian malah datang seolah kalian tamu undangan perjamuan.”
Tio berdiri. Nada bicaranya tetap santai, tapi matanya menajam.
“Kami datang karena kami peduli. Dan karena kami tahu kamu kadang buta pada perasaan orang lain. Dia tidak meminta apa-apa, Las. Bahkan… tetap bertahan meski kamu menyulitkannya setiap hari.”
Keheningan panjang.
Alaska mengalihkan pandangan ke Sancha yang menunduk semakin dalam.
Matanya melunak sejenak. Tapi kemudian kembali keras.
“Kalau kalian sudah selesai… silakan pulang. Ini sudah malam.”
Nadya membuka mulut, namun Tio lebih dulu menjawab:
“Kami akan menginap.”
“Tidak.”
“Kami. Akan. Menginap,” ulang Tio, kali ini dengan nada yang dalam dan penuh penekanan. “Kalau kamu masih menganggap kami keluarga.”
Alaska menatap Tio lama.
Suasana seperti ledakan yang belum meledak. Tapi akhirnya—
“Terserah.” Alaska berbalik. “Jangan ganggu dia terlalu banyak.” Lalu pergi meninggalkan ruangan tanpa melihat siapa pun lagi.
⸻
Transisi ke malam hari
Nadya dan Sancha berbincang di kamar tamu, dan Tio duduk di balkon mansion, menatap langit dengan ekspresi berat.
Tio meminta Amar memanggilkan Alaska di ruang kerjanya.Dan Alaska datang dengan pakaian santai untuk tidur.
“kau selalu mementingkan pekerjaan dibanding keluarga Alaska…!”
“karena aku tidak mau hidup susah melanda kehinangan jiwa seorang Alaska…”
“itu karena kau trauma akan wanita atau orang tua wanita yang menolak kau demi pria kaya itu….come on Alaska…”
“stop bisa tidak Tio…?itu sudah berlalu,dan aku yang lebih kaya di banding mereka semua,mereka adalah sebuah semut kecil yang bisa aku injak kapan saja….”
“aku,mama dan eyang kau nikahi Sancha…”
“jangan harap…”
“maka jangan harap kau bisa mendapatkan pewaris keluarga mahendra…”
“kau mengancam ku…?”
“tentu…kalau kau tidak mau orang-orang tau dia istri mu,maka kau cukup mengikat nya,apa kau pikir hidup tanpa status bisa membuat seorang wanita tenang…?itu sama saja dia tidak ada harga dirinya,kau tau itu…!”
“kau sudah sama seperti mama,nadya pun juga,kalian terlalu ikut campur dalam permasalahan ku…!”
“karena kau barisan dari keluarga Mahendra,jadi secepatnya kau ikat dia,karena kau tidak tau 2-3 musuh mu mengetahui kelemahan mu adalah Sancha..”
“aku sudah tau itu,maka dari itu aku mengurung nya didalam mansion ini…”
“kau bahkan tidak pernah membawanya ke mansion utama.”
“dan itu tidak perlu tio…!”
“terserah kau,yang penting kau ingat aku yakin Sancha bukan lah wanita lemah yang kita kira,mungkin saat ini dia lemah karena ada janin yang ia kandung…”
“akan aku pikirkan lagi untuk menikahi wanita itu…!”ujur Alaska keluar dari balkon.