"Harusnya dulu aku sadar diri, bahwa aku sama sekali nggak pantas untuk kamu. Dengan begitu, mungkin aku nggak akan terluka seperti sekarang ini" ~Anindhiya Salsabila
Tindakan bodoh yang Anin lakukan satu tahun yang lalu adalah menerima lamaran dari cowok populer di sekolahnya begitu saja. Padahal mereka sama sekali tidak pernah dekat, dan mungkin bisa dikatakan tidak saling mengenal.
Anin bahkan tidak memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya. Hingga cowok dingin itu sama sekali tidak pernah mengajak Anin berbicara setelah meminta Anin untuk menjadi istrinya. Mereka hanya seperti orang asing yang tinggal di atap yang sama.
--------------------------------------------------------------------------
Bagaimana mungkin aku hidup satu atap dengan seorang pria yang bahkan tidak pernah mengajakku berbicara? Bagaimana mungkin aku hidup dengan seorang suami yang bahkan tidak pernah menganggapku ada?
Ya, aku adalah seorang gadis yang tidak dicintai oleh suamiku. Seorang gadis yang masih berusia sembilan belas tahun. Aku bahkan tidak tau, kenapa dulu dia melamarku, menjadikan aku istrinya, kemudian mengabaikanku begitu saja.
Terkadang aku lelah, aku ingin menyerah. Tapi entah kenapa seuatu hal memaksaku untuk bertahan. Aku bahkan tidak tau, sampai kapan semua ini akan menimpaku. Aku tidak tau, sampai kapan ini semua akan berakhir.
~ Anindhiya Salsabila~
Mau tau gimana kisah Anindhiya? Yuk cuss baca.
Jangan lupa like, komen dan vote ya. Jangan lupa follow ig Author juga @Afrialusiana
Makasih :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afria Lusiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 31
Meisya baru saja kembali dari kantin bersama seorang sahabatnya, sebut saja namanya Naura.
Raut wajah Meisya pagi ini terlihat begitu bersemangat sembari memperhatikan Stevan yang duduk di kursi nomor dua di samping kirinya.
"Sebentar lagi lo bakalan jadi milik gue Stev. Kita bakalan jadi pasangan serasi. Bisa belajar bareng, ngurusin pasien bareng, operasi bareng, koas bareng, pokoknya semua bareng bareng. Karena lo cocoknya cuma sama gue, bukan sama si gembel itu. Gue pastiin, kalo gue bakal musnahin dia secepatnya!" Gumam Meisya penuh khayalan dengan bibir tak berhenti tersenyum.
Detik berikutnya, Meisya mendudukkan tubuhnya di kursi biasa. Namun, kening Meisya tertaut bingung, saat lagi dan lagi dia mendapati secarik kertas kecil di atas meja.
Kertas yang berisikan ancaman untuk tidak menyakiti Anin. Sudah satu bulan berturut turut Meisya mendapati kertas ancaman tersebut yang sampai sekarang belum diketahui siapa pengirimnya.
"Kayanya lo mau main-main sama gue. Lo fikir ini cuma ancaman? sekali lagi lo sentuh Anin, lo bakalan habis di tangan gue!!!! Silahkan lo cobain kalo nggak percaya!!"
Meisya meremas kuat kertas tersebut kesal. Tatapannya terlihat penuh amarah.
"S i a l a n!" Umpat Meisya melotot tajam ke depan.
"Gue bakal cari tau siapa lo. Kita liat aja siapa yang bakalan ngemis minta maaf duluan karena udah berani ngelawan gue!" Gumam Meisya tersenyum sinis percaya diri.
***
Waktu terus berjalan begitu cepat. Sudah satu minggu berlalu sejak Anin meminta Stevan untuk jalan-jalan.
Selama satu minggu ini juga sikap Anin berubah, Anin selalu bangun pagi, menyiapkan sarapan, dan mengajak Stevan berbicara meskipun terkadang masih tak di hiraukan.
Anin tidak lagi diam seperti biasa. Sebelum mereka benar benar berpisah, Anin hanya ingin merasakan bagaimana kehangatan sebuah keluarga, bagaimana rasanya hidup menjadi istri yang dianggap.
Benar, meskipun bibirnya berkata pada Meisya untuk tidak akan meninggalkan Stevan, tapi sepertinya Anin sendiri memang memilih untuk mengakhiri semuanya.
Sekali lagi, ini bukan karena ancaman Meisya, tapi karena sikap Stevan sendiri yang membuat Anin sudah tidak tahan.
"Stev, coba deh kamu cobain yang ini." Anin menunjuk ayam tepung yang tadi pagi ia masak di atas meja. "Itu masakan aku lo" Kata kata yang sama selalu Anin ucapkan setiap pagi selama seminggu belakangan ini.
Sementara Stevan hanya diam, bingung melihat tingkah Anin yang tidak seperti biasanya. Gadis yang biasanya hanya iya iya saja dan pendiam itu sekarang justru semakin cerewet. Tapi siapa yang tau, dibalik semua itu, seorang Anin sedang menahan tangis.
Stevan tak mengubris ucapan Anin. Tangannya kini meraih ayam tepung yang tadinya di tunjuk oleh Anin. Kemudian memakannya.
"Gimana? enak nggak?" Tanya Anin.
"Lo sekarang kenapa makin cerewet aja sih?" Kesal Stevan melotot ke arah Anin tajam.
"Hm. cuma beberapa hari lagi kok" Sahut Anin dengan suara berat, tapi siapa sangka Stevan masih bisa mendengarnya.
"Maksud lo?" Tanya Stevan.
"Enggak nggak papa kok Stev. Maaf kalo kamu merasa keganggu"
Selesai sarapan, Anin dan Stevan keluar dari rumah untuk berangkat ke kampus. Di sepanjang jalan, mata Anin tak teralih sedikitpun dari Stevan. Anin tak segan-segan memperhatikan Stevan yang sedang fokus akan kemudianya meskipun hanya keheningan yang tercipta di dalam sana.
Hingga mobil yang dikendarai oleh Stevan kini sudah berhenti di tempat biasa. Di depan Fakultas Ilmu Keperatawan.
Keheningan masih menyelimuti suasana di dalam mobil. Anin menggigit bibir bawahnya, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi ia tahan.
"Tunggu apa lagi? udah nyampe, apa lo mau ikut gue?" Tanya Stevan membuka suara.
"Hm. I-iya"
"Stev. Aa-aaku" Ucap Anin gugup.
"Apa?" Tanya Stevan mengalihkan pandangan ke samping. Menatap Anin bingung.
"Aku boleh cium tangan kamu nggak?"
"Hah?"
"I-iya aku pamit" Anin meraih tangan Stevan lalu menciumnya secepat kilat. Detik yang sama, gadis itu buru buru keluar dari mobil Stevan karena merasa takut.
Stevan semakin dibuat bingung dengan tingkah Anin yang tidak seperti biasanya. Dia memperhatikan tangannya, tanpa sadar, seulas senyuman terlukis begitu saja dari raut wajah Stevan, sebelum Stevan melanjukan mobilnya menuju Fakultas Kedokteran.
...Jangan lupa like, Makasih :)...
tinggalin saja laki kek gt, harga diri lah.. terlalu lemah
boleh tanya kah mbak gimana buat novel biar cepet dan konsisiten