Asila Ayu Tahara. Perempuan yang tiba-tiba dituduh membunuh keluarganya, kata penyidik ini adalah perbuatan dendam ia sendiri karna sering di kucilkan oleh keluarganya . Apa benar? Ikut Hara mencari tahu siapa sih yang bunuh keluarga nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jonjuwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta katanya pengorbanan
Flashback off
Malam itu Hara tidur ditempat Dewi yang tak jauh dari rumahnya. Fakta yang belum orang tau adalah Dewi yang membeli rumah dekat Hara hanya agar Hara punya tempat pelarian saat sang Ayah memarahinya. Dewi meminta Papa dan Mama nya untuk membeli rumah disana dengan alasan ingin dekat dengan Hara karna seringnya ia ditinggal bekerja oleh kedua orang tuanya, tanpa pikir kedua orang tuanya membelikan rumah yang minimalis sekiranya cukup untuk Hara dan Dewi saat disana.
Orang tua Dewi sudah tau mengenai kondisi Hara dan keluarganya, mereka ikut prihatin dengan Hara yang sedari kecil kurang diperhatikan namun dengan begitu mereka tidak menunjukkan bahwa mereka mengasihani Hara, sebab Dewi tau bahwa Hara tidak suka dikasihani oleh orang lain.
Pagi ini mereka akan pergi ke sekolah ada Dewi yang baru siap-siap memakai seragamnya, dan Hara tengah membantu Dewi menyiapkan buku untuk belajar hari ini.
“Kita ke rumah kamu dulu?” tanya Dewi yang tengah memakai dasi
“Iya”
Aslinya Dewi malas sekali jika harus bertemu mereka, kini bukan cuma Hara yang dikucilkan disana tapi terkadang Dewi juga sering mendapat perlakuan buruk disana. Meski begitu Dewi bukanlah orang yang diam saja, ia akan membalas nya lebih sadis.
Hara memakai seragam dan sepatu milik Dewi, ia tak mau repot harus pulang ke rumah untuk memakai seragam dan segala macamnya, ia memilih meminjam semua barang Dewi dan pulang hanya untuk mengambil tas dan bukunya.
Mereka menaiki mobil Dewi yang sudah siap di depan rumah itu, dan pergi ke rumah Hara untuk mengambil tas.
Mobil itu terparkir di sebrang rumahnya, menampilkan pemandangan yang lagi-lagi membuat dadanya sesak, sebenarnya sudah tak ingin menangis, namun usapan di bahu Hara membuatnya bulir itu jatuh setetes.
Dengan sigap ia menghapus air mata itu
“Sebentar ya, aku ambil tas dulu” menoleh ke arah Dewi yang juga memandangnya dengan sendu
Dewi mengangguk lembut, membiarkan Hara turun dari mobilnya untuk mengambil tas nya.
Dewi melihat betapa keluarga Hara yang acuh saat Hara melewati mereka, benar-benar tak di lihat sama sekali sungguh ia penasaran akan cerita awal mula mereka seperti itu. Sebab sampai saat ini Hara enggan menceritakan nya.
Kenapa orang tua Hara sangat tidak mengakui Hara, ia ingat bahkan hara diperlakukan tidak adil, Hara benar-benar hidup sendiri meskipun ia tumbuh di rumah yang besar itu.
Dewi masih menatap interaksi keluarga Hara sampai netra nya menangkap Hara yang tengah berjalan ke arah mobilnya.
“Yuk, berangkat.” ucap Hara sesaat setelah terduduk di samping Dewi
Dewi yang tersenyum itu langsung mengangguk antusias.
Perjalanan mereka tak butuh waktu lama, mereka turun dengan senang memasuki area sekolah dengan hati yang senang juga.
Mereka hari ini tak banyak belajar karna semua pelajaran sudah habis mereka hanya tinggal ujian terakhir, namun meski begitu Dewi dan Hara tak pernah absen untuk sekolah. Terkadang Dewi hanya membaca di perpustakaan sedangkan Hara ia akan terus menerus belajar untuk ikut tes ke universitas nanti.
Kini mereka ada di rooftop sekolah dengan Dewi yang berbaring sambil membaca, dan Hara yang tengah belajar dengan laptop Dewi dihadapannya.
“Menurut kamu cinta itu apa?”
Dewi bertanya tanpa menatap Hara, ia malah sibuk melihat novelnya.
“Cinta? Pengorbanan mungkin, terus rasa syukur, entah lah emang kenapa?”
“Kamu bakal berkorban buat orang yang kamu cintai?” tanya Dewi yang kali ini terbangun memfokuskan dirinya pada Hara
Hara mengangguk
“Kalo aku sama Ayah kamu lagi sama-sama kesulitan, kamu bakal nolongin siapa dulu?”
“Kamu.”
“Kenapa? Apa karna Ayah kamu jahat jadi kamu juga jahat ke dia?”
Hara menggeleng
“Terus kenapa?”
“Karna itu kamu.”
“Ganti, ganti. Gini deh posisinya genting nih, ada yang mau bunuh aku sama Ayah kamu, Kamu pilih selamatin siapa?”
“Kamu.”
“Ayah kamu mau mati loh, kamu tetep selamatin aku?”
Hara terdiam menatap ke layar laptop yang masih menyala itu.
“Bagi aku, aku akan mendahulukan orang yang cinta aku. Dan aku yakin kamu punya rasa cinta buat aku, karna terbukti dari pengorbanan kamu”
“Sedangkan Ayah. Aku akan nyelamatin beliau tergantung hati dan pikiran ku saat itu.” lanjut Hara
“Maksudnya?”
“Kalo aku dihadapkan dengan situasi kaya gitu, aku yakin otakku akan bekerja dengan cepat untuk menentukan pilihan, dengan gitu semua bayang baik dan buruk nya resiko udah ada di otakku. Dan diantara baik dan buruk itu pasti akan berat sebelah yang menjadi penentu pilihan mana yang aku pilih selamatkan atau biarkan saja, karna pasti beberapa memori yang aku simpen soal beliau akan menjadi penentu, entah aku akan mengingat yang lebih baiknya atau aku akan lebih mengingat yang buruknya.”
“Tapi kalo kamu, aku gak akan menyuruh otakku bekerja. Tanpa pikiran dan hati, tubuhku akan bekerja dengan sendirinya untuk selametin kamu.” lanjutnya
Dewi tersenyum senang, meski sedikit bingung dengan penjelasan Hara namun ia paham kemana arah obrolan itu.
Sepulang sekolah Dewi mengajak Hara pergi ke cafe yang sering dikunjungi oleh orang tuanya, kali ini ini mereka berangkat menaiki busway karna Hara mengajak agar Dewi mencoba naik kendaraan umum.
Sepanjang jalan Hara mendengarkan musik menggunakan earphone nya, sedangkan Dewi terduduk di bangku paling depan dan tengah mengobrol dengan supir busway. Hara sedikit melirik ke arah Dewi melihat temannya itu yang selalu akrab dengan siapapun yang ditemuinya.
Bus itu berhenti sejenak di depan halte yang dilewati menaikkan beberapa penumpang juga, kebetulan Hara sudah memejamkan matanya menikmati musik yang mengalun sambil merasakan mobil itu kembali berjalan.
Hingga tiba-tiba tepukan agak kasar itu menepuk bahunya keras, membuat ia membuka matanya.
Pandangannya tertuju pada ibu hamil di hadapannya.
“Kenapa?” tanya Hara
“Loh, malah nanya kenapa. Anak gak ada sopan santunnya. Lo gak liat nih gue lagi hamil, bangun lo, jangan malah pura-pura tidur biar gak usah ngasih bangku. Tuh liat announcement nya kalo ibu hamil harus di prioritaskan!.” sentak ibu hamil di depannya itu
Hara terkejut karna tiba-tiba saja dimarahi seperti itu, padahal jika ia dibangunkan untuk memberi kursi kepada ibu hamil ia akan memberikannya tapi tak perlu memarahinya seperti ini.
Hara gelagapan ingin melawannya, namun Dewi muncul di belakang ibu hamil itu sambil berpegangan pada bangku-bangku terdekat agar tak terjatuh.
“Duduk di depan aja tuh.” ucap Dewi ketus yang baru sampai sambil menunjuk dengan dagu nya
“Nah gitu, dia mah malah pura-pura tidur gak mau ngasih kursi dasar anak nakal.” ibu itu berjalan pelan menuju kursi kosong bekas Dewi
Dewi menatap tajam kepada ibu hamil tersebut, lalu beralih menatap Hara yang masih gelagapan hendak bicara
“A-aku gak ber-” ucapan Hara terputus
“Iya, iya. It’s okay Hara aku tau kok” Dewi berkata sambil mengusap pundak Hara
Hala menghembuskannya nafasnya dan kembali bersandar di bangku itu, Dewi kembali menatap ibu hamil itu dengan tajam.
Mereka sampai disana dan sengaja memilih bangku di luar agar lebih adem pikirnya, mereka memesan beberapa makanan.
Semua makanan sudah tersaji dengan sempurna tak lupa Dewi memotretnya sebentar lalu mencicipi semua makanan yang datang, Dewi melanjutkan bacaannya sedangkan Hara kembali belajar.
“Eh, Dewi!” suara berat laki-laki yang tak asing di telinganya itu membuatnya mendongak
Ada Hakim dan dua temannya datang ke cafe tersebut, kenapa sangat kebetulan
‘Oh, ini dekat kantor polisi’ batinnya
“Lagi apa?” tanya Hakim sambil mengintip laptop dihadapan Hara
Ada Dewi dan dua teman dari Hakim yang rupanya dengan sangat mudah akrab itu tengah tertawa bersama, sedangkan Hakim malah menarik salah satu kursi untuk duduk di sebelah Hara
“Ini lagi belajar buat tes ke universitas nanti.”
“Oh, jauh banget maen nya kesini”
“Dewi yang ngajak, katanya dia pengen makan disini.”
Hakim mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menggerutu karna Hara masih sama aja masih dingin dan ketus.
“Saya baru paham deh omongan kamu waktu itu”
Hara menghentikan pergerakannya yang tengah menulis itu
“Yang mana?”
Hara berkata demikian dan kembali melanjutkan mencatat.
Baru saja Hakim menganga akan mengatakan apa yang baru saja ia ketahui, namun Dewi lebih dulu berbicara
“Hara, aku mau kesana dulu ya sama Kak Kala dan Kak Alves”
“Kemana?” Hara menatap Dewi
“Itu kesana, kata Kak Kala disana ada spot foto bagus katanya sih baru”
“Dewi..”
Hara menyebutkan nama Dewi dengan begitu lembut dengan nada yang sedikit merajuk membuat Dewi beranjak dari kursinya menghampiri Hara untuk mengelus rambut Hara
“Sebentar kok, nanti balik lagi kalo udah foto. Kan disini ada Kak Hakim juga gapapa ya?”
Merasakan usapan hangat itu membuat Hara mengangguk sambil tersenyum. Sedangkan yang lain hanya saling pandang penuh pertanyaan.
Dewi, Kala dan Alves pergi bersama meninggalkan Hara yang memulai tugasnya dan Hakim yang masih penuh pertanyaan.
“Kalian berdua, norm-” omongan Hakim belum selesai
“Normal.” jawab Hara
“Saya belum ngomong loh”
“Aku tau ya pikiran Kak Hakim.”
“Kami berdua normal, no lesbi, Puas?” lanjut Hara yang kini menoleh ke sampingnya
“Yaa, gak ada yang bilang begitu loh”
“Tapi muka Kak Hakim bilang begitu.”
“Kamu nih, bisa gak sih ngomong nya jangan ketus gitu.”
“Cantik tapi ketus tuh percuma” ucapan hakim selanjutnya benar-benar kecil bahkan mungkin Hara tak mendengarnya
“Kak? Kasus Agri waktu itu udah ketemu pelakunya?”
Hakim menoleh ke arah Hara lalu mengambil potongan sosis yang Hara potong dan melahapnya, Hara yang sedikit terkejut itu mengikuti garpu yang melayang ke arah mulut Hakim
“Udah, tetangga nya sendiri. Motifnya kesal karna Agri tiap malam berisik” mulutnya mengunyah tapi ia tetap melanjutkan bicaranya
Hara menyuap sosis menggunakan sendok yang ada
“Kamu waktu itu kan bilang kalo kamu nganter Dewi kesana, itu mau apa?”
Hara berhenti mengunyah sambil mengingat kejadian saat itu.
“Aku anter dia tanpa tau apapun, dia minta ketemu Agri terus aku anter dan aku nunggu di luar aja”
“Setelah itu Dewi keluar, pas kita mau pulang udah keluar dari halaman rumah Agri sih. Terus tiba-tiba Agri manggil Dewi pas kita nengok tuh dia pegangin leher yang penuh darah terus ambruk gitu aja makanya kita samperin”
Hakim mengangguk memang sudah tak menaruh curiga sama sekali.
“Terus aku inget Kakak kasih aku nomer makanya aku telpon”
Sejujurnya bagi Hara ini juga mencurigakan namun ia tak mau menaruh curiga begitu saja.
Hakim pun sama, ia merasa curiga karna kasus ini benar-benar kurang masuk akal.