Judul buku "Menikahi Calon Suami Kakakku".
Nesya dipaksa menjadi pengantin pengganti bagi sang kakak yang diam-diam telah mengandung benih dari pria lain. Demi menjaga nama baik keluarganya, Nesya bersedia mengalah.
Namun ternyata kehamilan sang kakak, Narra, ada campur tangan dari calon suaminya sendiri, Evan, berdasarkan dendam pribadi terhadap Narra.
Selain berhasil merancang kehamilan Narra dengan pria lain, Evan kini mengatur rencana untuk merusak hidup Nesya setelah resmi menikahinya.
Kesalahan apa yang pernah Narra lakukan kepada Evan?
Bagaimanakah nasib Nesya nantinya?
Baca terus sampai habis ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Beby_Rexy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Nesya sudah berada di bagian sisi luar rumah besar tersebut, sebuah balkon yang memiliki atap dengan pagar kayu berukiran unik di sekelilingnya.
“Apa aku membuatmu menunggu?”
Kehadiran Rosaline membuat Nesya berdiri dari duduknya, sebelumnya dia memang tiba lebih dulu padahal Rosaline telah meninggalkan ruang makan tadi lebih cepat dari Nesya. Mungkin sebelum menemui Nesya, Rosaline pergi ke tempat lain dulu di rumah itu.
“Tidak perlu menyambutku seperti itu, apakah itu merupakan kebiasaan dari keluargamu?” Pertanyaan Rosaline itu seolah ingin mengungkit status keluarga Nesya, dan itu cukup membuat Nesya terusik. Rosaline langsung duduk di hadapan Nesya setelah itu.
“Ya, kami memang sangat menghargai orang lain apalagi jika orang tersebut adalah orang tua. Bahkan kami harus mencium tangan mereka sebagai bentuk penghormatan dan juga kasih sayang,” jawab Nesya yang tiba-tiba menjadi perasa.
Rosaline terkekeh, wajahnya yang seperti itu cukup membuat Nesya terpana, “Ternyata jika tertawa, ibunya Evan sangat cantik,” puji Nesya di dalam hati, dia pun kembali duduk ke tempat semula.
Dua orang pelayan datang tak lama setelahnya, membawa satu buah teko teh chamomile lalu menuangkannya ke dalam gelas keramik berukuran kecil untuk Nesya dan Rosaline.
“Terima kasih,” ucap Nesya kepada pelayan tersebut setelah mereka selesai menuangkan tehnya, sedangkan Rosaline tampak langsung saja menikmati minumannya.
“Maaf, apa yang ingin Anda bicarakan dengan ku?” Tanya Nesya ingin langsung saja pada intinya, dia tak ingin membuang waktu, jika tujuan Rosaline memanggilnya hanya untuk mengintimiasi dirinya maka sebaiknya tak perlu berlama-lama.
“Minumlah dulu, teh itu tidak beracun. Evan juga pasti akan bersabar menunggumu, dia sedang berada diruang kerja ayahnya dan itu pasti akan lama. Jika tidak mengobrol denganku maka kamu yang akan merasa bosan.” Rosaline berujar sambil kembali menyeruput teh mahal yang harga satu box-nya mencapai ratusan ribu tersebut. Setidaknya, mahal bagi level Nesya.
Ucapan Rosaline ada benarnya juga, melirik ke gelas minumannya itu Nesya pun meraihnya perlahan. Aroma dari teh tersebut sangatlah nyaman untuk dihidu, begitu Nesya mulai menyeruputnya ternyata rasa yang sangat nikmat itu malah membuat lidahnya tidak terbiasa. Selama hidupnya, Nesya hanya pernah minum teh berwarna merah yang biasa dia beli di warung tetangga rumah ibunya. Meski begitu, Nesya tetap menyukai teh chamomile tersebut karena aromanya sangatlah menenangkan, pantas saja Rosaline menyukainya.
“Ah selera orang kaya memang berbeda dengan orang sepertiku.” Nesya terus saja merasa insecure.
“Nesya, sebenarnya aku tidak ada hal yang terlalu penting untuk di bicarakan denganmu,” ucap Rosaline membuat Nesya mengalihkan tatapan kepadanya.
Nesya pun hanya terdiam menunjukkan wajah bingungnya, jika tidak ada hal yang ingin di bicarakan lalu kenapa memanggilnya?
Namun sesaat kemudian Rosaline melanjutkan perkataannya. “Hanya saja aku merasa harus menyampaikan bahwa aku tahu tentang kamu dan Narra adalah gadis yang berbeda, kamu adalah adiknya Narra yang menggantikan dirinya menikah dengan putraku.”
Terkejut, Nesya memekik di dalam hati sampai napasnya tertahan sejenak. Kedua tangannya saling meremas di atas paha, bingung harus menjawab apa seolah tertangkap basah.
Rosaline pun kembali melanjutkan. “Tenang saja aku tak akan mengusirmu apalagi menyuruhmu untuk meninggalkan putraku, dia juga sudah menikahi dirimu dengan baik. Aku sudah tua dan tak punya siapa-siapa lagi selain Evan setelah kepergian kakaknya, sehingga mau tak mau aku akan menerimamu. Asalkan dengan satu syarat, jangan pernah berkhiatan dari putraku seperti halnya Narra. Karena jika itu terjadi, maka bukan hanya Evan yang akan turun tangan namun aku juga.”
Entah Nesya harus senang atau kah tidak, mendengar Rosaline mengungkapkan bahwa dia menerima Nesya, setidaknya Nesya bisa sedikit tenang sebab akan berkurang satu orang yang mengintimidasi dirinya di keluarga itu.
Sayangnya apa yang Rosaline ungkapkan justru membuat seseorang menjadi kesal, Kiki ternyata berada tak jauh dari tempat Nesya dan Rosaline duduk sehingga bisa mendengar semuanya. Dia bergerak merogoh kantong seragam pelayannya, lalu mulai mengetik pesan singkat untuk di kirim pada seseorang disana.
Setelah selesai mengetikkan pesan singkat di ponselnya tersebut, Kiki pun kembali mengarahkan pandangannya pada Nesya lalu Rosaline dan dia terkejut karena di saat yang bersamaan rupanya Nesya juga tengah menatap dirinya.
“Baiklah, aku rasa pembicaraan kita cukup sampai disini saja.”
Nesya menoleh ke arah Rosaline yang sudah berdiri dari duduknya, ketika wanita itu akan mulai melangkah, dia sempat mengatakan sesuatu yang membuat hati Nesya terenyuh.
“Mulai sekarang panggil aku ibu, seperti Evan.”
***
Nesya berjalan seorang diri di sebuah lorong yang panjang di lantai dua tersebut, dia adalah seorang gadis yang suka menjelajah sehingga tak merasa takut tersesat. Bicara tentang tersesat, membuat Nesya teringat pada Evan yang mengatakan pada dirinya agar tidak tersesat, Nesya menggigit bibirnya, mengingat wajah tampan Evan rasanya tak akan ada satu pun wanita yang tak terpikat olehnya.
“Cih, aku sih tidak akan.”
Nesya pun memutar ingatan pahitnya saat Evan sudah dua kali menggagahi dirinya, hal tersebut membuatnya memalingkan wajah menatap ke luar dari lorong panjang yang berada di sisi kiri rumah tersebut.
Meski malam hari, area disana dapat terlihat dengan cukup jelas karena banyak sekali di pasang lampu-lampu dari berbagai jenis. Keindahan lingkungannya dan juga taman-taman kecil yang di penuhi oleh bunga, Nesya jadi betah berlama-lama memandangnya.
Saat sedang menikmati pemandangan itu, Nesya seperti melihat keberadaan seseorang di ujung lorong tersebut, ketika menoleh dan melihat siapa, ternyata adalah Kiki. Saat tatapan keduanya bertemu, Kiki malah dengan cepat memilih berbelok ke satu ruangan. Padahal jelas-jelas Nesya melihat kalau pelayan tersebut sedang berjalan ke arahnya kemudian malah dengan cepat menghentikan langkah ketika menyadari keberadaan Nesya.
“Kiki? Sedang apa dia? Aku tidak tahu kalau dia juga ikut ke rumah ini? Apakah tadinya dia menaiki mobil yang berbeda dengan kami?” Sambil bergumam, Nesya melanjutkan langkahnya menuju ke ujung lorong dan melewati ruangan yang tadi Kiki masuki.
Nesya sempat menengok kearah ruangan tersebut, ternyata di dalam ruangan itu terdapat lorong panjang juga dan beberapa pintu di sisi kanannya. Nesya meneruskan langkah kakinya, namun dia seperti mendengar sesuatu di dalam sana, seperti suara seorang pria yang membentak lalu ada suara seorang wanita yang berteriak.
“Ada apa disana?” Bisik Nesya pada diri sendiri, karena penasaran, dia pun membawa kakinya memasuki ruangan tersebut.
Sialnya, pada saat dia baru saja masuk ke dalam lorong itu sepertinya ada suara langkah kaki yang mendekat, panik Nesya pun membawa tubuhnya bersembunyi di balik tembok yang terdapat sebuah lemari jam berukuran lebih tinggi dari tubuhnya, Nesya diam di sebelah lemari tersebut. Sesaat kemudian, suara langkah kaki itu semakin dekat lalu Nesya melihat Kiki melewati tempatnya bersembunyi sambil meringis memegangi pipi kirinya lalu keluar dari sana.
Belum sempat bertanya-tanya, Nesya malah mendengar suara tertawa dari dua orang pria, mengira itu adalah Evan, dia pun memutuskan untuk mengikuti suara tersebut karena ingin mengajak Evan pulang saja dan bertemu dengan ibunya di villa.
Dari samar-samar suara obrolan itu terdengar semakin jelas di telinga Nesya, semakin di dengar semakin dia tahu bahwa tidak ada suara yang mirip dengan Evan disana.
“Kamu tak perlu meminta uang terus padaku, Arjun. Kasus kematian itu sudah tidak perlu di khawatirkan lagi, aku tahu kamu berencana untuk memerasku, namun harus kamu tahu juga bahwa aku sudah memberimu lebih dari seharusnya,” ucap seseorang di dalam sebuah ruangan yang pintunya terbuka.
Kening Nesya mengernyit lalu ia berhenti melangkah tepat di samping pintu ruangan yang pertama, sepertinya ada dua orang pria di dalam sana saling berbicara sahut menyahut membicarakan perihal kematian seseorang yang tak Nesya mengerti siapa. Hingga saat nama Evan di sebut membuat Nesya membesarkan kedua matanya.
“Apa kah aku harus menghabisi Evan juga, Paman Baskara?” Tanya lelaki bernama Arjun.
Baskara menjawab dengan cepat. “Tidak, tidak itu terlalu cepat. Evan berbeda dari Erwin dan ini sedikit rumit, Arjun.”
Arjun mulai terkekeh dan berkata dengan santai. “Paman sangat menganggap remeh aku, satu kali tembakan di dada Evan sudah bisa membuatnya mati. Atau Paman ingin menjadikan kematiannya jauh lebih dramatis lagi daripada Erwin?”
“Baskara? Arjun?” Nesya memekik di dalam hati sambil memegangi dadanya.
“Apa yang sedang mereka bicarakan? Apakah kematian Kak Erwin adalah perbuatan mereka?”
Tubuh Nesya mendadak berkeringat dingin sekaligus merinding saat mendengar hal yang tak pernah terbayangkan satu kalipun baginya. Napasnya sampai terengah-engah lalu teringat pada sang kakak.
“Kak Narra tidak bersalah, aku harus mengatakan ini pada Evan, dan aku bisa terbebas.” Entah senang atau kah sedih, Nesya tetap memutuskan untuk melaporkan itu kepada Evan karena menurut yang dia dengar dari Farrel, bahwa Evan sedang mencari tahu siapa dalang dari pembunuhan Erwin dan mengira kalau Narra mengetahuinya.
Saat memutuskan untuk keluar dari sana, Nesya kembali mendengar suara langkah kaki, suara itu berasal dari luar sehingga membuatnya harus kembali bersembunyi di tempat tadi.
“Jika aku tertangkap basah disini, bisa-bisa mereka juga akan menghabisi aku.” Nesya benar-benar ketakutan saat itu, bahunya ia sandarkan kuat-kuat ke tembok sampai kedua matanya pun terpejam erat. Ketika suara langkah kaki itu semakin mendekat, tiba-tiba saja tangan Nesya di tarik hingga tubuhnya terseret keluar dari persembunyiannya.