Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Persiapan
Keesokan paginya, Shanaira sudah duduk di ruang meeting kecil di lantai marketing hotel Renault. Beberapa anggota timnya sudah hadir, membawa catatan dan laptop masing-masing. Dina duduk di samping Shanaira, sedangkan dua staf lainnya, Erik dan Naya, tampak sedang menyiapkan proyektor kecil untuk presentasi.
“Jadi,” Shanaira membuka diskusi dengan suara hangat namun tegas, “kita perlu menyusun konsep yang bisa menarik tamu hotel dan pengunjung luar untuk ikut merayakan Valentine di sini. Bukan cuma promosi kamar, tapi juga event yang berkesan.”
“Gimana kalau kita adakan paket dinner romantis di rooftop?” usul Erik cepat. “Hotel kita punya pemandangan malam yang bagus. Bisa kerja sama dengan restoran.”
“Setuju,” sahut Naya. “Dan kita bisa tambahkan kejutan kecil, seperti hadiah atau sesi foto couple.”
“Eh, mungkin juga bisa undang penyanyi lokal buat hiburan,” tambah Dina. “Nggak perlu yang mahal, asal suaranya enak.”
Shanaira mencatat semua ide dengan cepat. Wajahnya penuh semangat, sesekali ia tersenyum mendengar pendapat timnya yang begitu antusias.
“Kalau soal hadiah, kita bisa kerja sama dengan tenant-tenant butik di lobi hotel,” ujar Shanaira. “Jadi sekaligus promosi buat mereka juga.”
“Bagus tuh, kolaboratif,” kata Erik sambil mengangguk.
Diskusi terus berlanjut, ruangan dipenuhi ide-ide segar dan semangat kerja tim. Shanaira yang tadi pagi sempat merasa mual kembali terlihat fokus dan profesional, menyatu dengan perannya sebagai pemimpin proyek ini.
Setelah semua orang mulai meninggalkan ruangan, Shanaira sibuk membereskan laptop dan berkas presentasi. Ia sengaja menunda keluar, berharap tidak harus berpapasan langsung dengan Ethan. Namun takdir sepertinya belum puas menguji hatinya.
“Shanaira,” suara Ethan terdengar dari arah pintu. Ia berdiri di sana, bersandar ringan di kusen, tangan terlipat di dada. Ruangan sudah nyaris kosong, menyisakan hanya mereka berdua.
Shanaira menoleh pelan. “Ya, Pak?”
Ethan melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Kamu sudah berubah.”
Shanaira menatapnya, tenang meski detak jantungnya tak bisa dia kendalikan. “Orang berubah, Ethan. Hidup memaksa.”
Ethan menghela napas, lalu menatapnya dalam. “Aku nggak habis pikir... kamu benar-benar menikah dengan pria itu?”
Shanaira merapatkan laptopnya. “Kalau pun iya, apa itu masalah?”
“Aku cuma... aku cuma nggak habis pikir kamu bisa begitu cepat,” suara Ethan nyaris terdengar kecewa.
“Dia... dia bukan siapa-siapa. Cuma koki kecil.”
Shanaira tersenyum miring. “Dan kamu sudah menikah dengan Claira, adik tiriku. Bukankah itu lebih ‘tidak habis pikir’?”
Wajah Ethan mengeras.
“Kita sudah punya hidup masing-masing, Ethan,” lanjut Shanaira, suaranya datar. “Aku tidak mengganggu rumah tanggamu. Kamu juga tak perlu repot-repot mengurusku.”
Ethan melangkah lebih dekat. “Tapi kamu....”
“Sudah cukup,” Shanaira memotong. Ia mengambil tasnya dan berdiri. “Aku punya pekerjaan. Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan...”
Ethan hanya diam menatapnya. Tatapannya mengandung amarah, cemburu, dan sesuatu yang sulit dijelaskan. Tapi Shanaira tidak gentar. Ia membalikkan badan dan melangkah keluar ruangan, meninggalkan Ethan dalam diam dan luka yang entah sejak kapan ia tanam sendiri.
*****
Shanaira menghela napas panjang saat menutup pintu apartemen. Hari itu terasa begitu panjang dan melelahkan. Ia melepas sepatu dan mengganti bajunya, lalu melangkah ke dapur, tempat aroma sedap sudah menyambutnya.
Karenin tengah berdiri di depan kompor, mengenakan apron, sibuk menyendok sup ke mangkuk. Saat mendengar suara langkah Shanaira, ia menoleh dan tersenyum.
“Kamu kelihatan capek,” katanya lembut. “Duduk dulu. Aku baru saja selesai masak.”
Shanaira duduk di meja makan, menyandarkan kepala sejenak. “Hari ini... rumit.”
Karenin meletakkan semangkuk sup hangat di depannya, lalu duduk di seberangnya. “Masalah kerjaan?”
Shanaira mengangguk pelan. “Presentasi proyek Valentine. Dan... Ethan ada di sana.”
Ekspresi Karenin mengeras sesaat, tapi ia cepat menyembunyikannya. “Dia bilang sesuatu?”
Shanaira menyendok sup itu perlahan. “Dia menanyakan soal kita. Kaget, sepertinya. Dia masih belum tahu kamu suamiku.”
Karenin diam sejenak, lalu bertanya pelan, “Dan kamu bilang apa?”
“Aku bilang... kita sudah punya kehidupan masing-masing. Dia dengan istrinya, aku dengan suamiku.”
Karenin menatapnya lekat. “Apa kamu baik-baik saja?”
Shanaira menatap supnya, lalu beralih menatap Karenin. “Entah kenapa, setelah bicara begitu, aku merasa lebih baik.”
Karenin tersenyum lembut. “Bagus. Karena kamu nggak sendiri sekarang. Aku di sini.”
Shanaira mengangguk pelan, hatinya terasa hangat. Mungkin, untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai… ia merasa sedikit aman.
*****
Suasana kantor marketing Hotel Renault terasa lebih sibuk dari biasanya. Sehari sebelum Hari Valentine, seluruh anggota tim dikerahkan untuk memfinalisasi persiapan proyek besar yang telah mereka rancang selama berminggu-minggu. Di salah satu sudut ruang kerja terbuka yang penuh poster cinta, bunga imitasi, dan tumpukan brosur promosi, Shanaira duduk bersama tim kecilnya, matanya fokus pada lembar presentasi yang baru saja dicetak.
"Banner untuk pintu masuk sudah siap?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.
Dina, salah satu rekan kerjanya, mengangguk cepat sambil menunjuk ke ponsel di tangannya. "Sudah. Vendor kirim fotonya tadi pagi. Mereka akan pasang malam ini setelah hotel sepi."
"Bagus. Terus, video teaser untuk media sosial? Posting terakhir jam berapa?"
"Jam lima sore, pas peak hour. Tim konten sudah siap," jawab pria berkacamata bernama Reno.
Shanaira mengangguk puas. Meskipun ia baru beberapa minggu kembali bekerja, peran sebagai koordinator tim promosi seolah sudah menyatu dalam dirinya. Ia memimpin dengan tenang dan teliti, walau sesekali harus menahan mual atau kelelahan akibat kehamilannya. Tak ada satu pun dari anggota timnya yang tahu kondisinya—semua ia jalani dengan diam-diam.
"Oke, sekarang rundown acara besok. Kita punya tiga sesi utama: pembukaan, event games untuk pasangan, dan candle light dinner," ucap Shanaira sambil membentangkan papan konsep.
Dina langsung menyambung, "MC sudah konfirmasi, lalu untuk games kita masih butuh satu volunteer lagi yang bantu koordinasi hadiah."
"Aku bisa handle itu," ujar Reno, antusias. "Aku juga udah follow-up sponsor, mereka kirim tambahan voucher malam ini."
"Terima kasih, Reno. Itu bantu banget."
Shanaira lalu menarik napas dalam, matanya menyapu seluruh wajah rekan-rekannya satu per satu. Mereka sudah bekerja keras dan dia bangga akan hal itu.
"Sha, kamu nggak papa?" bisik Dina, melihat wajah Shanaira yang sedikit pucat.
Shanaira tersadar dan tersenyum kecil. "Nggak apa-apa. Mual sedikit aja. Tapi aku baik."
Setelah memastikan semua logistik telah dicek dua kali, mereka beralih ke sesi simulasi acara. Beberapa staf mulai mencoba jalur masuk, menempatkan tanda-tanda arah ke ballroom hotel, sementara tim konten mengambil footage tambahan. Shanaira berdiri di tengah ballroom yang luas, memandangi lampu gantung besar di langit-langit dan meja-meja yang masih ditutup kain putih.
Dalam pikirannya, ia membayangkan semua itu berubah menjadi tempat penuh lilin romantis, denting musik lembut, dan tawa pasangan yang saling mencinta. Dia tak tahu akan seperti apa hari esok baginya, tapi setidaknya ia ingin memastikan semua tamu yang hadir bisa merasakan cinta yang mungkin belum bisa ia nikmati.
Shanaira kembali ke ruangannya dan memeriksa satu per satu laporan, memastikan tak ada yang luput. Sekitar pukul tujuh malam, seluruh timnya sudah mulai berkemas. Besok mereka akan datang lebih pagi untuk menyiapkan dekorasi dan menyambut tamu pertama.
"Besok kita pakai dresscode pastel, ya. Jangan lupa!" seru Dina sambil mengangkat tasnya.
Semua tertawa kecil dan saling menyemangati. Saat akhirnya Shanaira berjalan keluar dari gedung hotel, udara malam menyambutnya dengan semilir angin. Di depan lobi, Karenin sudah menunggu di dalam mobilnya, wajahnya tenang seperti biasa. Saat Shanaira masuk ke dalam mobil, ia menarik napas panjang.
"Besok... akan jadi hari yang panjang."
Karenin menoleh dan menatapnya lekat-lekat. "Kalau kamu mau aku tidak akan ke rosto besok. Aku akan menemanimu."
Shanaira menatapnya balik, hatinya berdesir pelan.
"Tidak perlu. Besok restoran kamu pasti sibuk. Aku bisa sendiri." Meski merasa senang dengan perkataan Karenin, Shanaira tetap menolak.
Dia tidak ingin karena dirinya Karenin tidak memperhatikan pekerjaannya sendiri.
shanaria biar ketemu bapak dari adek bayi yang ada diperutnya 😌
baca pelan2 ya sambil rebahan 🤭
salam kenal dari 'aku akan mencintaimu suamiku,' jangan lupa mampir 🤗
jangan lupa mampir jg di Menaklukan hati mertua mksh