Aidol atau idol. Adalah istilah yang lumrah di zaman ini karena kehadirannya yang telah masif.
Chandra Kirana adalah salah satunya. Ia yang mulai dari nol, tak pernah berpikir untuk menjadi seorang idol.
Namun, ia "terperosok" ke dalam dunia itu. Dunia yang tak pernah ia tahu sebelumnya.
Mulai saat itu, dunianya pun berubah.
(Update setiap hari selasa, kamis, Sabtu dan minggu.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baginda Bram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Sepanjang sisa jam sekolah, aku tak mangap sedikit pun. Tak melunturkan air mata juga. Aku juga mempertanyakan mengapa.
Tapi aku baru paham alasannya ketika terlentang di kamar. Saat tengah memandang kosong langit-langitnya.
Seharusnya, sebagai perempuan yang ditolak, aku menangis sejadi-jadinya. Namun, kalau yang terjadi seperti tadi, jangankan menangis, menetes setitik pun tidak.
Malahan amarah yang semakin meluap. Aku kesal. Teramat sangat kesal. Ingin sekali kupukul wajah tirus itu sekuat tenaga hingga jatuh terjengkang.
Aku mengumpati diriku sendiri. Merasa dibodohi oleh sikap optimisku, merasa buta dengan realita.
Jelas-jelas ia seorang pangeran. Mustahil ia mau dengan rakyat jelata sepertiku. Bahkan melihatku sebagai wanita pun enggan.
Apa aku memang seburik itu ya?
Yah, enggak salah sih.
Aku geram ketika memori itu terulang kembali. Rasanya ingin kulampiaskan rasa yang mencekikku ini.
Bagaimana aku bisa lepas dari perasaan menyebalkan ini?
Aku bangun dari tempat tidur. Mendadak berjalan cepat ke ruang keluarga. Kulihat mama sedang menyetrika pakaian sembari menonton televisi. Aku ke teras. Mataku kelayapan mencari sesuatu yang entah apa itu.
Kembali ke tempat sebelumnya. Membuka laci-laci lemari seakan mencari sesuatu. Ke dapur membuka penggorengan yang tertutup, ikan mujair kering melototi. Kubuka kulkas, hanya ada telur dan sedikit makanan sisa kemarin.
Aku kembali lagi ke tempat yang sama. Mama keheranan menatapku.
"Rana, Kamu cari apa?"
"Enggak tau, Ma."
Aku tidak mengerti harus menjawab apa. Aku saja tidak mengerti apa yang sedang kulakukan. Mataku menemukan remot yang tergeletak di atas sofa. Pertanda mama tidak peduli apa yang ia tonton.
Mama hanya menyalakan televisi agar bisa menemani kegiatannya saja. Tak benar-benar ditonton, hanya iring-iringan saja.
Mungkin aku bisa menemukan sesuatu yang bisa melunturkan rasa ini.
Kuambil alih kuasa televisi. Kukendalikan salurannya. Kugonta-ganti beberapa kali. Hingga akhirnya jariku terhenti. Mataku tertuju ke layar yang mendadak berwarna-warni.
Aku terkesima dengan apa yang aku saksikan. Sebuah panggung yang terisi oleh sekumpulan gadis yang bergerak dengan piawai. Kostum warna-warni yang mereka kenakan menambah keindahan sosok mereka.
Yang lebih menakjubkan lagi, wajah mereka yang sedang menari, seolah berubah-ubah kecantikannya setiap berganti sudut. Membuatku yang seorang wanita pun iri sekaligus heran melihatnya.
Seakan mereka makhluk yang berbeda dimensi denganku. Gerakan yang mereka buat pun serasi dengan irama dan sedap dipandang. Tak hanya itu, lagu yang mereka sajikan, mengalun dengan gabungan melodi yang menggetarkan jiwa.
Apa-apaan kumpulan estetika penuh keindahaan ini?
Seperti sedang diajak ke sebuah padang bunga yang di dalamnya terdapat berbagai macam bunga beragam warna. Sangat menenangkan hati.
Kebahagiaan yang tumpah ruah ini, tak henti-hentinya membuatku terpukau.
Walau penampilan telah berakhir, aku masih tetap bertahan. Mereka bilang kalau grup mereka bernama "Flow". Aku yang diburu rasa penasaran, segera menyauk ponsel.
Internet sengaja kubuka. Kuketik F-l-o-w, Namun, tidak ada mereka. Hanya ada situs asing yang memusingkan.
Sedikit ada saran dari google, "girls group". Kuterima sarannya, kutemukan apa yang kucari. Sebuah situs yang ramai dengan foto dan tulisan.
Tidak salah lagi, itu website khusus milik mereka. Di website itu banyak sekali pilihan yang membingungkan. Mataku tertuju pada "anggota". Tanganku bergerak cepat. Muncul banyak wajah yang cantik jelita.
"Wah, cantik-cantik banget," gumamku.
Andai aku seperti mereka ...
Aku yakin semuanya akan berubah jika aku cantik. Aku yakin jika cantik, dunia akan berputar di sekelilingku. Andai aku cantik, aku tidak akan berada di kondisi mengenaskan seperti ini.
Mendadak air mataku meleleh. Menetes melalui sudut mata. Segera kuusap dengan ujung jemariku.
Mataku kembali ke layar ponsel, menemukan tulisan di atas. Tulisan simpel yang menarik perhatian.
Pendaftaran anggota baru telah dibuka.
Iseng, kutekan tulisan itu. Muncul berbagai syarat dan ketentuan. Kubaca dengan seksama. Kucermati kalimat itu perlahan.
Apa aku bisa menjadi seperti mereka?
Tiba-tiba dadaku bergemuruh. Perasaan yang sempat lenyap, hadir kembali. Muncul dalam benakku sebuah ide gila.
"Ma!" Pekikku kencang sambil menoleh.
Mamaku sedikit kaget mendengar panggilanku yang tiba-tiba.
"Aku boleh ikut audisi ini 'kan, Ma?"
"Audisi? Audisi apa?"
"Ini, Ma." Kataku sambil mendekatkan ponsel ke wajah mama.
"Audisi apa itu? Artis?"
"Kayanya iya."
"Kayanya? Kok kamu kaya enggak yakin gitu?"
"Habis, aku juga baru tau."
Mama menatapi layar ponselku lebih intens sembari sesekali menyentuhkan jarinya.
"Ya udah, berangkat gih."
"Tapi, aku khawatir dengan papa."
"Soal papa, serahkan saja sama mama. Lakukan hal yang mau kamu lakukan, Ran. Selama itu positif, mama akan dukung kamu."
"Makasih ya, Ma."
...----------------...
Dalam kamar aku membaca ulang semua persyaratan dengan seksama.
Minimal wanita berusia 13 maksimal 20 tahun.
Tentu aku termasuk.
Tidak sedang terikat kontrak dengan rumah produksi, agensi, duta merk iklan ataupun televisi.
Mana mungkin?
Bersedia mengikuti seluruh kegiatan.
Tentu saja, aku bersedia.
Pengalaman tidak diutamakan.
Dari semua persyaratan, ini yang sulit untuk dipahami.
Seharusnya, kalau lebih berpengalaman, lebih mudah diterima dong? Setahuku, di manapun tempat kerjanya, pengalaman bisa meningkatkan value, lantas mengapa bisa pengalaman tidak diutamakan?
Tapi sisi baiknya, dengan adanya syarat seperti ini, orang sepertiku yang tidak ada pengalaman apapun merasa mendapat keadilan.
Yap, benar. Mungkin agar persaingan adil seadil-adilnya.
Aku membuka situs itu kembali. Kembali mengklik banner "pendaftaran anggota baru". Aku memastikannya kembali, kutekan di bagian "daftar sekarang".
Muncul formulir pendaftaran kosong. Kuisi secepat kilat. Tanganku terhenti di bagian yang mengharuskan mengunggah foto.
Duh, ini bagian yang sangat penting.
Aku yang selalu tidak percaya diri dengan wajah, harus berswafoto agar dinilai oleh orang lain, rasanya menggelikan.
Wajah yang dibilang burik oleh orang yang kusuka ini rasanya tak mungkin lolos audisi deh.
Apa enggak jadi aja ya?
Tanganku berhenti total. Kulempar ponsel ke atas tempat tidur. Aku terlentang menatapi lampu yang berpijar. Berdecak kesal.
Kenapa aku mendadak ragu begini sih? Ingat kekesalanmu, Rana! Abaikan mindermu! Ini semua demi tujuanmu!
Coba bayangkan, kalau kau menjadi anggota dari Flow, coba bayangkan kau menjadi cantik lalu mengenakan kostum yang indah. Setiap pria akan bertekuk lutut dihadapanmu, termasuk Farrel.
Ketika cowok berengsek itu menyesali hari ketika ia menolakmu, ia akan meminta maaf lalu memohon padamu. Nah, di situlah saatnya kau tertawa.
Saat itulah, kau akan balik menghinanya. Tentunya dengan hinaan dan cacian yang lebih daripada yang ia lakukan.
Iya benar! Kau harus membalasnya, Rana! Harus!
Aku mengangguk-angguk sendiri. Tekadku menjadi bulat penuh. Semua keraguan yang menghantui, segera kuusir.
Kuraih ponsel kembali. Bangkit. Melangkah ke kaca yang menempel di lemari. Sontak "Just try it" terbaca tanpa sengaja.
Aku menyeringai sambil membuka lemari. Memilih baju yang cocok.
Aku baru ingat. Aku tidak punya satupun baju yang modis ataupun feminim. Aku hanya punya baju kaos dan celana panjang. Hanya butuh waktu sebentar untukku menyerah.
Pakai apa aja deh.
Jariku membuka aplikasi kamera. Mengaktifkan pengaturan memotret dengan timer. Kurasa 15 detik, sudah cukup.
Kusandarkan ponsel ke meja belajar. Aku berlari hingga ke ujung dinding. Tak lama, suara cekrek terdengar.
Aku berlari kecil, melihat foto. Merasa ada yang kurang. Kuulangi proses seperti tadi tapi dengan pose yang berbeda.
Masih belum cukup. Kuulang lagi. Masih sama. Aku tidak tahu di mana salahnya. Kuputuskan untuk mengabaikan perasaan itu.
Yang mana aja deh!
Aku meminta tolong pada Mama untuk menulis surat pernyataan orang tua sebagai syarat pendaftaran. Yang mana hal itu perlu dilakukan jika belum memiliki KTP.
Tak butuh waktu lama untuk melengkapi formulir itu. Pada hari itu juga sudah bisa terkirim.
Sebenarnya aku tidak yakin jika berhasil lolos. Dilihat dari kulit saja, anggota mereka yang kulihat rata-rata berkulit cerah dan mulus.
Sementara kulitku adalah hasil rutin mandi cahaya matahari. Sebagaimana wajarnya anak ekskul olahraga yang memang rata-rata matang kulitnya.
Lihat sendiri 'kan? Bagaimana cantiknya mereka semua? Baru beberapa menit berlalu sejak formulir kukirim, aku sudah merasa pesimis.