Shanaya Sanjaya percaya bahwa cinta adalah tentang kesetiaan dan pengorbanan. Ia rela menjadi istri rahasia, menelan hinaan, dan berdiri di balik layar demi Reno Alhadi, pria yang dicintainya sepenuh hati.
Tapi ketika janji-janji manis tersisa tujuh kartu dan pengkhianatan terus mengiris, Shanaya sadar, mencintai tak harus kehilangan harga diri. Ia memilih pergi.
Namun hidup justru mempertemukannya dengan Sadewa Mahardika, pria dingin dan penuh teka-teki yang kini menjadi atasannya.
Akankah luka lama membatasi langkahnya, atau justru membawanya pada cinta yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Shanaya memandangi dua benda di atas mejanya. Sebuah kartu lusuh berwarna putih gading, kartu janji yang dulu diberikan Reno tepat di malam pernikahan mereka. Dan satu lagi, dokumen perceraian yang baru saja ia cetak pagi ini, masih hangat dari printer, kertasnya bahkan belum sepenuhnya lurus.
Pelan, jemarinya menyentuh kartu itu. Tinta di permukaannya mulai pudar, tapi ia masih bisa mengingat satu kalimat singkat yang diucapkan Reno bertahun-tahun lalu “Aku janji, akan selalu memperbaiki semuanya.” Kalimat yang dulu membuat dadanya hangat, kini terasa hampa.
Dulu, Reno memberinya satu kotak kecil berisi seratus kartu serupa. Katanya, setiap kali mereka bertengkar, Shanaya boleh menyerahkan satu kartu. Itu sinyal baginya untuk berhenti marah, untuk kembali mengingat cinta mereka.
“Ini seratus kesempatan, Shanaya. Aku janji, aku nggak akan menyia-nyiakannya,” kata Reno waktu itu. Tangannya gemetar, suaranya berat, tapi matanya sungguh-sungguh.
Seratus kesempatan untuk bertahan.
Tapi waktu menguji segalanya. Janji manis tak lagi cukup. Satu per satu kartu itu terkikis oleh luka, oleh amarah yang tak pernah benar-benar reda. Dan kini, hanya tersisa tujuh.
Shanaya menggenggamnya erat. “Tinggal tujuh,” bisiknya, suaranya pelan tapi tajam. “Cepatlah habiskan, supaya aku bisa benar-benar pergi.”
Tak ada air mata. Ia sudah terlalu sering menangis. Bahkan rasanya, matanya lupa bagaimana caranya menangis. Luka itu masih ada, tapi ia memilih untuk tak lagi tenggelam. Ia memilih bangkit. Walau tertatih.
Ia berdiri dari kursinya. Kursi yang sudah tujuh tahun ini menjadi bagian dari hidupnya, kursi kepala sekretaris Reno Alhadi. Sebuah jabatan yang di luar terdengar bergengsi, tapi baginya? Hanya topeng. Simbol pengorbanan yang dibungkus rapi oleh formalitas.
Ia bukan istri yang akui di depan publik. Ia hanya “sekretaris 24 jam.” Kalimat ejekan yang dulu menyakitkan dan hanya bisa ditelan bulat-bulat.
Tapi hari ini, semua itu tak lagi penting. Hari ini bukan tentang jabatan. Bukan tentang harga diri yang diinjak. Hari ini tentang awal sekaligus akhir.
Dengan langkah mantap, Shanaya membawa map berisi dokumen menuju ruangan Reno. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi ia tetap tenang. Langkahnya tidak bergetar. Ini bukan lagi soal emosi. Ini keputusan.
Pintu terbuka. Dan di sana, tepat seperti yang ia duga, Reno duduk santai di sofa, dengan Malika Qorita bersandar manja di pangkuannya. Malika, sekretaris baru yang juga calon menantu pilihan ibu Reno. Wanita muda, ambisius, dan tak tahu malu.
Reno dan Malika menoleh bersamaan. Wajah mereka berubah kaku. Tapi Shanaya tak terganggu. Pemandangan seperti ini sudah jadi hal biasa.
Dulu ia mempermasalahkan kedekatan sang suami dan sekertaris itu, sayangnya, tidak menghasilkan apa-apa hanya ada kata 'cemburu' yang tersemat di kepala Shanaya.
“Maaf, Pak Reno. Ada dokumen yang perlu ditandatangani,” ucapnya datar. Tak ada tekanan, tak ada getaran.
Reno tampak panik. “Shanaya, ini bukan seperti yang kamu pikirkan.”
Malika cepat-cepat menimpali, suaranya dibuat manja, “Tadi aku jatuh… terus ya, nggak sengaja duduk di sini.”
Shanaya tersenyum tipis. “Tenang saja. Saya paham kok… soal beginian.” Lalu menoleh pada Reno. “Jadi, bisa ditandatangani sekarang?”
Malika melirik tajam. Biasanya Shanaya akan bereaksi. Cemburu. Nangis. Teriak. Tapi kali ini? Dingin. Tak tergoyahkan. Malika mulai gelisah.
“Pak Reno, kita ada rapat di hotel. Tandatangani saja dulu, Ayah dan Ibu juga menunggu,” ucap Malika, mencoba mengendalikan suasana.
Tapi Shanaya tak menggubris. Pandangannya hanya tertuju pada Reno. Bukan karena cinta. Tapi karena hari ini, ia harus membuat sejarah baru untuk awal kebebasannya.
“Ini dokumen apa?” tanya Reno curiga.
“Kerja sama dengan PT Glow Up. Kita sudah bahas dua minggu lalu,” jawab Shanaya cepat.
Ia tidak bohong. Tapi ia juga tak bilang bahwa terselip dua lembar dokumen penting, pengunduran diri dan perceraian.
Reno mengangguk. “Baiklah. Aku tandatangani.” Ia langsung mengambil pena dan menandatangani halaman demi halaman.
“Pak Reno, nggak mau periksa dulu?” Shanaya menahan napas.
“Enggak. Aku percaya. Aku buru-buru,” sahut Reno tanpa beban.
Malika mendengus. “Bu Shanaya sengaja ya? Ngulur waktu?”
Shanaya mengangkat bahu. “Nggak. Aku cuma nggak mau nanti ada yang menyesal.”
Saat Reno sibuk menandatangani, Malika mendekat. Bisikannya tajam, nyaris menusuk.
“Memangnya kenapa kalau kamu istrinya? Sekarang aku yang dia peluk tiap malam. Tadi malam, kami di hotel. Nggak ada klien.”
Dulu, Shanaya akan meledak. Tapi sekarang? Ia hanya menggenggam ujung blazernya erat. Ia menunggu.
Sambil tersenyum kecil, ia menjawab pelan, “Oh, kamu bangga jadi perempuan murah?”
Malika mendelik. “Apa maksud kamu?!”
“Jangan terlalu bangga kalau cuma dijadikan teman tidur,” lanjut Shanaya, suaranya dingin. “Nanti kalau udah bosan, kamu cuma akan jadi sampah.”
Malika terdiam, terpancing emosi. Tapi Shanaya tak memberi celah.
“Aku mungkin cuma teman tidurnya sekarang,” sahut Malika akhirnya. “Tapi sebentar lagi, aku yang akan menggantikan kamu.”
Shanaya mengangguk pelan. “Kamu tahu, aku baru sadar, ternyata ada juga ya perempuan yang rela jual harga diri demi posisi.”
Reno menyela, “Shanaya, sudah aku tandatangani semua. Ada lagi?”
Shanaya memeriksa halaman terakhir. Tanda tangan Reno jelas terlihat. Ia menarik napas panjang.
“Tidak ada lagi. Terima kasih, Pak Reno,” ucapnya pelan, lalu membalikkan badan.
Tapi Malika belum selesai. Ia berdiri di hadapan Shanaya, menghadangnya.
“Bu Shanaya, saya tahu hari ini peringatan pernikahan Ibu dan Pak Reno. Tapi, mohon tidak mengganggu urusan kantor hanya karena sedang sensitif.”
Shanaya menatapnya sebentar. Ia hampir lupa… atau tepatnya memilih untuk lupa. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka. Ironis.
“Benar juga. Aku hampir lupa. Mungkin karena terlalu sibuk mengurus pekerjaan. Lagipula, hari ini juga tak terlalu penting,” jawabnya santai.
Reno mendongak, tajam menatapnya. “Shanaya, kamu sengaja berkata begitu?”
Shanaya menatapnya balik, tenang. "Tidak, Pak Reno. Aku sungguh lupa."
Rahang Reno menegang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Ini nggak masuk akal. Shanaya yang biasanya detail banget, hafal semua tanggal penting sekarang bilang lupa hari pernikahan mereka? Mustahil. Reno tahu betul, perempuan itu mencintainya. Dalam. Terlalu dalam.
Atau... ini gara-gara Malika?
Reno melirik ke arah wanita di sebelahnya. Dalam hati, dia memang pernah berpikir Shanaya butuh sedikit “kompetisi”. Seseorang yang bisa bikin dia takut kehilangan. Biar balik lagi. Biar lebih butuh. Lebih bergantung. Karena, sejujurnya, Reno yakin Shanaya nggak akan pernah benar-benar pergi.
Ia menghela napas, lalu berkata dengan suara yang dibuat seramah mungkin. "Shanaya, aku tahu kamu iri pada Malika. Dia sekarang sering menemani aku bertemu klien, tapi kamu juga tahu alasannya. Aku hanya ingin dia cepat belajar, jadi sekretaris yang bisa diandalkan. Jangan terlalu baper, ya."
Shanaya terkekeh pelan, tawanya singkat tapi penuh makna. Ia menatap Reno dalam-dalam. "Iri? Tidak, Pak Reno. Saya hanya prihatin... karena Anda mulai menukar kualitas dengan kenyamanan sesaat."
knp update nya Arsen buk bgt y🫢🫢🫢
Sadewa JD anak tiri 🤔
itu jodohmu, Shanaya🤭