Ongoing
Feng Niu dan Ji Chen menikah dalam pernikahan tanpa cinta. Di balik kemewahan dan senyum palsu, mereka menghadapi konflik, pengkhianatan, dan luka yang tak terucapkan. Kehadiran anak mereka, Xiao Fan, semakin memperumit hubungan yang penuh ketegangan.
Saat Feng Niu tergoda oleh pria lain dan Ji Chen diam-diam menanggung sakit hatinya, dunia mereka mulai runtuh oleh perselingkuhan, kebohongan, dan skandal yang mengancam reputasi keluarga. Namun waktu memberi kesempatan kedua: sebuah kesadaran, perubahan, dan perlahan muncul cinta yang hangat di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3
Pagi datang tanpa perubahan apa pun. Tidak ada suara langkah kaki yang tergesa. Tidak ada ucapan selamat pagi.
Tidak ada rasa canggung yang biasanya muncul di hari pertama pasangan baru bangun bersama. Karena mereka tidak bangun bersama. Feng Niu terjaga lebih dulu.
Cahaya matahari menyusup lewat tirai tipis kamar utama, jatuh di atas ranjang besar yang terlalu rapi tidak ada kerutan, tidak ada tanda dua orang pernah tidur di sana. Seolah malam sebelumnya tidak pernah terjadi.
Ia duduk perlahan. Kepalanya sedikit pening, bukan karena mabuk, tapi karena kesadaran penuh bahwa mulai hari ini, hidupnya benar-benar berubah.
Menikah. Kata itu terasa asing. Ia mengusap wajahnya, bangkit dari ranjang, lalu berjalan ke kamar mandi. Cermin besar memantulkan bayangannya rambut sedikit berantakan, wajah polos tanpa riasan. Cantik. Dan… kosong.
Feng Niu menatap pantulan itu lama. “Apa yang kau lakukan pada hidupmu?” gumamnya lirih. Tidak ada jawaban.
Di ruang makan, Ji Chen sudah duduk rapi. Kemeja putih. Jam tangan sederhana. Ekspresi tenang yang sama seperti kemarin dan kemarin-kemarin sebelumnya.
Di hadapannya tersaji sarapan ala Barat dan Cina: bubur hangat, roti panggang, telur, teh. Semua tersusun rapi, nyaris terlalu sempurna. Ia membaca dokumen di tablet, sesekali menyesap teh.
Ketika Feng Niu masuk, langkahnya berhenti sebentar. Ji Chen mengangkat kepala. “Pagi,” katanya. Nada suaranya netral. Tidak dingin, tidak hangat. Sekadar… ada.
Feng Niu mengangguk singkat. “Pagi.” Ia duduk berseberangan, melirik meja makan sebentar. “Kau tidak perlu repot-repot seperti ini,” katanya sambil mengambil secangkir kopi. “Aku tidak terbiasa sarapan.”
Ji Chen mengangguk. “Baik. Lain kali aku tidak akan menyiapkannya.” Jawaban itu membuat Feng Niu menoleh cepat. Ia mengerutkan kening. “Kau selalu seperti ini?”
“Seperti apa?”
“Mengalah terus.”
Ji Chen menatapnya beberapa detik, lalu kembali ke tabletnya. “Aku hanya memilih yang perlu.” Feng Niu mendengus pelan. Ia tidak suka jawaban seperti itu. Terlalu tenang. Terlalu dewasa. Seolah Ji Chen selalu berada satu langkah di depan, dan itu membuatnya merasa… kalah. “Setelah ini aku ada janji,” katanya tiba-tiba. “Aku tidak akan langsung pulang.”
“Dengan siapa?” tanya Ji Chen tanpa menoleh. Pertanyaan itu datar, tanpa nada cemburu atau menuntut. Feng Niu tersenyum sinis. “Itu bukan urusanmu, kan?”
Ji Chen mengangguk kecil. “Benar.” Lagi-lagi jawaban yang sama. Feng Niu berdiri, mengambil tasnya. Ia menunggu entah kenapa menunggu Ji Chen mengatakan sesuatu. Menegur. Melarang. Bertanya lebih jauh.
Namun Ji Chen hanya berdiri dan berkata, “Mobil sudah menunggu.” Itu saja. Feng Niu pergi dengan perasaan kesal yang tidak ia pahami sendiri.
Malam kembali datang. Jam menunjukkan hampir pukul sebelas ketika Feng Niu akhirnya pulang. Rumah besar itu sunyi, terlalu sunyi untuk seseorang yang baru menikah. Lampu ruang keluarga menyala. Dari kejauhan, ia melihat Ji Chen duduk di sofa, membaca laporan keuangan.
Ia tidak menoleh saat Feng Niu masuk. “Aku pulang,” kata Feng Niu, suaranya terdengar lebih keras dari yang ia maksud. Ji Chen menoleh. “Kau sudah makan?”
Pertanyaan itu membuat Feng Niu berhenti melangkah. “Apa?” Ia menatap Ji Chen. “Kau tidak marah?”
“Untuk apa?”
“Kau suamiku,” Feng Niu membalas cepat. “Seharusnya kau—”
“Seharusnya aku apa?” potong Ji Chen pelan. Nada suaranya tetap tenang, tapi ada sesuatu di sana. Keteguhan. Batas. Feng Niu terdiam. Ji Chen berdiri, meletakkan dokumen di meja. “Kau sudah dewasa. Aku tidak akan mengatur ke mana kau pergi.”
“Kau suami yang aneh,” Feng Niu berkata dingin. Ji Chen menatapnya lama. “Aku tahu.” Keheningan kembali jatuh di antara mereka.
Feng Niu melangkah menuju kamar utama, tapi berhenti di depan pintu. “Kau tidak akan masuk?” tanyanya tanpa menoleh. Ji Chen berdiri beberapa langkah di belakangnya. “Jika kau tidak keberatan.”
Feng Niu tertawa kecil. “Kau takut?” Ji Chen tidak langsung menjawab. “Aku menghormatimu,” katanya akhirnya.
Jawaban itu membuat Feng Niu berbalik. “Jangan berpura-pura mulia,” katanya tajam. “Kita menikah karena orang tua. Jangan bertingkah seolah kau pria sempurna.”
Ji Chen mendekat satu langkah. Jarak mereka kini sangat dekat. Feng Niu bisa mencium aroma sabun dari tubuhnya bersih, sederhana. Tidak menyengat. Tidak berusaha menarik perhatian.
“Aku tidak berpura-pura,” ucap Ji Chen pelan. “Aku hanya tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak kau inginkan.” Untuk pertama kalinya, Feng Niu tidak bisa langsung membalas.
Ada sesuatu di nada itu. Bukan kelemahan. Bukan kepura-puraan. Melainkan kendali. Ia menyingkir, membuka pintu kamar. “Tidurlah di sini kalau kau mau. Aku tidak peduli.”
Ji Chen masuk setelahnya. Lampu kamar menyala redup. Mereka berdiri berhadapan, canggung seperti dua orang asing yang terjebak dalam ruangan yang sama.
Feng Niu melepas sepatunya, duduk di tepi ranjang. Ji Chen berdiri di sisi lain, lalu duduk perlahan. Tidak ada sentuhan. Tidak ada kata-kata. Hanya jarak yang terasa terlalu nyata.
Feng Niu berbaring membelakangi Ji Chen. Beberapa menit berlalu. “Aku tidak mencintaimu,” Feng Niu berkata tiba-tiba, suaranya lebih pelan dari sebelumnya. Ji Chen menatap punggungnya. “Aku tahu.”
“Dan aku tidak akan menjadi istri yang baik.” Ji Chen menghela napas pelan. “Aku tidak meminta itu sekarang.”
“Lalu apa yang kau mau?” Feng Niu bertanya, nadanya sedikit bergetar entah karena lelah atau emosi. Ji Chen terdiam cukup lama. “Aku hanya ingin kau tidak membenciku.” Kalimat itu sederhana. Tapi cukup untuk membuat Feng Niu menutup mata lebih erat. Ia tidak menjawab. Malam itu, mereka tidur di ranjang yang sama tanpa sentuhan, tanpa pelukan, tanpa mimpi indah. Di antara mereka, terbentang jarak yang lebih dingin dari seprai putih. Dan tanpa mereka sadari, jarak itu akan semakin melebar… hingga suatu hari, seorang anak kecil akan tumbuh di tengahnya belajar diam, belajar takut, belajar menangis tanpa suara.