NovelToon NovelToon
Di Bawah Aturan Suami Baruku

Di Bawah Aturan Suami Baruku

Status: sedang berlangsung
Genre:Dokter / Selingkuh / Crazy Rich/Konglomerat / Konflik etika
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Ziafan01

Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RUANG OPERASI NOMOR 3

Ruang Operasi Nomor Tiga.

Lampu ruang operasi perlahan diredupkan.

Suara monitor jantung masih berdetak stabil, membentuk irama datar yang menandai satu hal: pasien selamat.

Shima Lyra Senja berdiri di sisi meja operasi dengan bahu sedikit menurun, bukan karena lelah, melainkan karena beban yang akhirnya dilepaskan. Operasi jantung terbuka selama hampir delapan jam itu selesai tanpa komplikasi. Tangan kanannya masih bergetar samar saat ia melepas sarung tangan, napasnya panjang, tertahan, lalu keluar perlahan.

“Tekanan stabil. Kita bisa tutup,” ucapnya tenang.

Suaranya tidak lantang, tapi cukup untuk membuat seluruh tim bergerak patuh. Tidak ada yang membantah. Tidak ada yang bertanya ulang. Di ruang operasi Rumah Sakit Vance Medical Center, nama Shima Lyra Senja bukan sekadar dokter bedah ia adalah standar.

“Good work, Doctor Shima,” ujar salah satu residen, nyaris berbisik, seolah takut mengganggu ketenangan yang mengelilinginya.

Shima hanya mengangguk kecil. Ia tidak pernah merayakan keberhasilan dengan euforia. Baginya, menyelamatkan nyawa bukan prestasi, melainkan kewajiban.

Di balik kaca tebal ruang observasi, seorang pria berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke saku jas hitamnya. Posturnya tegak, wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi. Tatapannya tajam, mengikuti setiap gerakan Shima sejak sayatan pertama hingga jahitan terakhir.

Arru Vance tidak berbicara.

Ia tidak pernah berbicara jika tidak perlu.

Sebagai pemilik rumah sakit sekaligus CEO Vance Corporation konglomerasi yang menaungi jaringan medis, farmasi, dan teknologi kesehatan terbesar di negara itu Arru sudah menyaksikan ratusan operasi. Namun, ada sesuatu dari dokter perempuan di ruang operasi itu yang membuatnya tidak mengalihkan pandangan sedetik pun.

Presisi. Kontrol. Keberanian yang sunyi.

“Operasi ke-173 yang dipimpinnya tahun ini,” lapor seorang direktur medis di sampingnya, gugup. “Tingkat keberhasilan seratus persen.”

Arru tidak menoleh.

“Dan suaminya?” tanyanya singkat.

“Dokter Arya Pradipta. Ahli bedah toraks. Saat ini bertugas di ruang ICU.”

Arru akhirnya melirik sekilas, cukup untuk memberi tekanan. “Mereka bekerja di tempat yang sama?”

“Ya, Tuan Vance.”

Tatapan Arru kembali ke balik kaca. Shima sedang berbicara singkat dengan tim anestesi, wajahnya pucat tapi fokusnya utuh. Tidak ada gestur ingin dipuji. Tidak ada senyum kemenangan.

Menarik, pikir Arru.

Di lorong luar ruang operasi, Laura sudah menunggu dengan dua botol air mineral. Perawat senior itu langsung menghampiri begitu pintu otomatis terbuka.

“Shima,” katanya lega, lalu tersenyum lebar. “Kau hampir membuat kami semua menahan napas.”

Shima menerima botol itu, membuka tutupnya dengan tangan yang masih sedikit kaku. “Pasiennya kuat.”

“Kau yang kuat,” Laura membalas cepat. Nada suaranya penuh keakraban, terlalu akrab untuk sekadar rekan kerja.

Laura bukan hanya perawat senior di Vance Medical Center. Ia sahabat Shima. Orang yang tahu bagaimana Shima dulu menangis diam-diam di ruang ganti, bagaimana ia bertahan di masa residensi, bagaimana ia membangun reputasi dengan kerja keras, bukan koneksi.

“Kau sudah dengar?” Laura menurunkan suaranya. “Pemilik rumah sakit datang langsung.”

Shima berhenti minum.

“Arru Vance?” tanyanya, datar.

Laura mengangguk antusias. “Dia mengamati operasi dari awal.”

Shima menoleh sekilas ke kaca ruang observasi. Pria itu sudah tidak ada di sana. Yang tersisa hanya pantulan dirinya sendiri rambut ditutup penutup bedah, wajah lelah, mata yang terlalu jujur untuk dunia yang kejam.

“Dan?” ucapnya ringan.

Laura mengangkat bahu. “Tidak semua hari kau diobservasi miliarder dingin yang jarang muncul di publik.”

Shima tersenyum tipis. “Aku dokter, Laura. Bukan atraksi.”

Sebelum Laura sempat membalas, langkah kaki lain mendekat. Seorang pria mengenakan jas dokter putih yang sama, namun dengan aura berbeda lebih percaya diri, lebih santai.

“Operasinya sukses,” katanya sambil menepuk bahu Shima pelan. “Seperti biasa.”

Dokter Arya Pradipta suaminya.

Shima mengangguk. “Pasien kritis, tapi stabil.”

Arya tersenyum, senyum yang rapi, terlatih. “Kau selalu bisa diandalkan.”

Kalimat itu terdengar seperti pujian. Namun entah kenapa, Shima merasakan jarak yang dingin di antaranya. Ia tidak menanggapi, hanya melepas masker dan berjalan menuju ruang ganti.

Di ujung lorong, dari balik sudut yang tidak terlihat, Arru Vance berhenti melangkah.

Ia melihat pemandangan itu dengan jelas: dokter terbaik rumah sakitnya, berdiri di antara suami dan sahabatnya. Tampak sempurna terlalu sempurna.

Dan Arru Vance tidak pernah mempercayai sesuatu yang terlihat utuh tanpa retakan.

Ia melangkah pergi dengan satu

keputusan sunyi terbentuk di benaknya.

Perempuan itu akan menjadi bagian dari hidupnya. Entah sebagai aset atau sebagai kesalahan terbesarnya.

Langkah sepatu kulit terdengar mantap di lorong utama lantai eksekutif.

Arru Vance berjalan tanpa tergesa, didampingi seorang pria berusia awal lima puluhan dengan jas dokter rapi dan ekspresi yang terlalu terlatih untuk terlihat santai. Rambutnya mulai memutih di pelipis, matanya tajam mata seseorang yang terbiasa mengambil keputusan atas hidup dan mati.

“Operasi hari ini berjalan lancar,” ujar pria itu sambil melirik tablet di tangannya. “Dokter Shima memimpin dengan sangat baik.”

Dr. Leonhard Whitmore.

Direktur medis Vance Medical Center.

Orang kepercayaan Arru Vance.

Dan satu-satunya yang memegang kendali penuh rumah sakit saat Arru tenggelam dalam urusan korporasi.

Arru hanya mengangguk.

Mereka berhenti tepat di persimpangan lorong menuju ruang ganti dokter. Di sana, Shima, Arya, dan Laura baru saja keluar. Begitu menyadari siapa yang berdiri di hadapan mereka, ketiganya refleks berhenti.

“Selamat sore, Tuan Vance,” ucap Dr. Arya lebih dulu, suaranya formal, punggungnya sedikit membungkuk.

Laura dan Shima ikut menunduk sopan.

“Selamat sore.”

Arru menatap mereka satu per satu.

Tatapan itu tidak lama. Tidak meneliti secara terang-terangan. Tapi cukup untuk membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat.

“Operasi yang baik,” ucap Arru singkat.

Hanya itu.

Tidak ada pujian berlebihan. Tidak ada senyum. Tidak ada basa-basi.

Shima mengangguk. “Terima kasih, Tuan Vance.”

Arru menahan pandangannya sepersekian detik lebih lama pada Shima cukup singkat untuk luput dari perhatian orang lain, cukup lama untuk disadari olehnya sendiri.

Lalu ia beralih.

Arya berdiri dengan senyum profesional yang terlalu cepat muncul. Matanya menyimpan sesuatu ambisi, mungkin. Atau perhitungan. Laura di sisi lain tampak tenang, namun Arru menangkap kilatan yang berbeda di balik tatapan perawat senior itu. Terlalu waspada. Terlalu penuh rasa ingin tahu.

Menarik.

Arru kembali mengangguk kecil, lebih sebagai penutup daripada salam.

“Dr. Whitmore,” katanya datar. “Ruang saya.”

“Ya, Tuan.”

Arru melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Suara langkahnya menjauh, mantap, tidak terburu-buru, seolah dunia selalu menyesuaikan diri dengan ritmenya.

Pintu lift privat menutup perlahan.

Di lorong yang ditinggalkan, Shima, Arya, dan Laura masih berdiri dengan kepala sedikit menunduk, hingga suara mesin lift benar-benar hilang.

Laura menghembuskan napas lebih dulu. “Auranya… tetap saja menekan.”

Arya terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana. “Dia memang seperti itu. Tidak heran jadi miliarder.”

Shima tidak menanggapi. Pandangannya masih tertuju ke arah lift yang sudah tertutup. Ada sesuatu di balik anggukan singkat Arru Vance tadi. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, tapi cukup untuk membuat dadanya terasa sempit.

Di lantai atas, Arru memasuki ruang kerjanya. Dinding kaca menampilkan kota yang bergerak di bawahnya sibuk, kecil, patuh.

“Pendapat Anda?” tanya Dr. Whitmore hati-hati.

Arru berdiri di depan jendela, tangan kembali masuk ke saku celana.

“Dokter terbaik sering kali berdiri di lingkungan terburuk,” katanya singkat.

Dr. Whitmore terdiam.

Arru menambahkan, tanpa emosi, “Perhatikan mereka.”

“Siapa, Tuan?”

Arru menoleh sedikit.

“Semua yang berdiri di sekeliling Dr. Shima Lyra Senja.”

Dan untuk pertama kalinya hari itu, Dr. Whitmore menyadari:

perempuan itu baru saja masuk radar Arru Vance.

1
Wita S
kereennnn
Sweet Girl
Siram bensin terus aja...
Sweet Girl
Buat memelihara bangkai di rumah, Laura... mending dibuang aja.
Sweet Girl
Dan bakal kehilangan Dana segar Luuu pada...
Sweet Girl
Asyeeek... beli yang kau mau, Shima...
bikin mereka yg menyakiti melongo.
Sweet Girl
Tunggu tanggal mainnya duo penghianat.
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
Sweet Girl
Nah Lu... kapok Lu... sekalian aja seluruh Penghuni rumah sakit denger...
Sweet Girl
Kelihatan sekali yaaaa klo kalian itu bersalah.
Sweet Girl
Ada Gondoruwo🤪
Sweet Girl
Kamu pikir, setelah kau rampas semua nya, Shima bakal gulung tikar...
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
Sweet Girl
Masuklah sang Penguasa 🤣
Sweet Girl
Dan pilihan mu akan menghancurkan mu... ojok seneng disek...
Sweet Girl
Kamu yang berubah nya ugal ugalan Brooo
Sweet Girl
Ndak bahaya ta... pulang sendiri dengan nyetir mobil sendiri?
Sweet Girl
Kok ngulang Tor...???
Sweet Girl
Wes ora perlu ngomong, Ndak onok paedaheee.
Sweet Girl
Naaah gitu dong... semangat membongkar perselingkuhan Suami dan sahabat mu.
Sweet Girl
Musuh dalam selimut, iya.
Sweet Girl
Gayamu Ra... Ra... sok bener.
Sweet Girl
Kamu jangan kebanyakan mikir tho Syma...
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!