Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.
Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.
"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.
Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.
Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Nenek Sihir vs Nenek Lampir
"Minggir. Saya mau lewat. Badan saya bau asap, bau keringat, dan mood saya sedang hancur lebur. Jadi kalau Ibu tidak mau saya muntah di sepatu mahal Ibu itu, tolong geser sedikit."
Kiana berdiri di ambang pintu masuk utama rumah megah Gavin, matanya menatap tajam sosok wanita tua yang berdiri angkuh tepat di tengah lorong. Wanita itu—Bu Laras—mengenakan kebaya modern berbahan sutra yang harganya mungkin setara dengan renovasi satu gudang Elva Express, lengkap dengan sanggul yang tidak bergeser satu milimeter pun meski angin malam bertiup kencang.
Di belakang Kiana, Gavin baru saja menutup pintu, wajahnya sama lelahnya. Jas mahalnya sudah dia sampirkan di bahu, kemeja putihnya kotor oleh debu hitam sisa kebakaran di Tanjung Priok tadi.
"Ibu ngapain di sini malam-malam?" suara Gavin terdengar berat, menahan kesal. "Ini sudah jam tiga pagi. Siapa yang bukain pintu?"
Bu Laras tidak menjawab Gavin. Matanya yang tajam, dilapisi eyeliner tebal, memindai Kiana dari ujung rambut yang berantakan sampai ujung kaki yang penuh noda abu. Tatapannya penuh jijik, seolah Kiana adalah kecoa yang baru saja merayap keluar dari saluran pembuangan.
"Lihat dirimu," cibir Bu Laras, suaranya melengking namun dingin. "Berantakan. Bau hangus. Seperti preman pasar. Ini yang kamu bilang istri layak untuk Gavin? Ini ibu sambung yang pantas untuk Alea?"
Kiana mendengus kasar. Dia terlalu lelah untuk bersikap sopan. Energinya sudah habis terkuras untuk menangisi gudang yang terbakar dan menahan amarah pada mantan suaminya. Dia tidak punya sisa kesabaran untuk meladeni mantan mertua Gavin—ralat, neneknya Alea dari pihak ibu—yang hobi mencari kesalahan ini.
"Ibu tua yang terhormat," Kiana melangkah maju, "kalau Ibu datang cuma mau mengomentari fashion saya pasca-bencana, silakan buat janji temu sama sekretaris saya minggu depan. Sekarang, minggir."
Kiana hendak menerobos lewat sisi kanan, tapi...
TAK!
Tongkat kayu berukir kepala naga yang dipegang Bu Laras terhentak keras ke lantai marmer, menghalangi langkah Kiana. Ujung tongkat itu nyaris mengenai jari kaki Kiana.
"Jangan kurang ajar kamu," desis Bu Laras. "Saya datang ke sini bukan untuk basa-basi. Saya dengar laporan dari asisten rumah tangga kalian. Katanya kamu menyiksa mental cucu saya? Kamu bentak-bentak Alea sampai dia ketakutan?"
Kiana memutar bola matanya, hampir copot rasanya. "Siapa yang lapor? Siapa asisten yang Ibu bayar buat jadi mata-mata di rumah ini? Suruh dia keluar sekarang biar saya pecat detik ini juga."
"Jangan mengalihkan topik!" bentak Bu Laras. Dia menunjuk wajah Kiana dengan telunjuknya yang dihiasi cincin berlian besar. "Saya tahu wanita karir ambisius macam kamu tidak punya naluri keibuan. Kamu menikahi Gavin cuma karena hartanya, kan? Cuma karena status CEO Ardiman Logistics? Lalu Alea kamu anggap apa? Beban?"
"Bu, cukup!" Gavin melangkah maju, memosisikan dirinya di antara Kiana dan ibunya mendiang Sarah itu. "Jangan bikin keributan di rumah saya. Kiana baru saja kehilangan gudang utamanya karena kebakaran. Kami capek. Kami butuh istirahat. Kalau Ibu mau marah-marah, simpan untuk besok."
"Kebakaran?" Bu Laras tertawa sinis, tawa yang kering dan tidak sampai ke mata. "Itu karma. Tuhan menghukum wanita sombong ini karena tidak becus mengurus rumah tangga. Baru nikah sebentar saja sudah kena musibah. Itu tanda kalau dia bawa sial buat keluarga ini, Gavin! Beda sama Sarah dulu. Sarah itu penyejuk, pembawa rezeki—"
"Sarah sudah meninggal, Bu," potong Gavin tegas, matanya menatap lurus ke manik mata wanita tua itu. "Berhenti membandingkan Kiana dengan Sarah."
Wajah Bu Laras memerah padam. Dia menghentakkan kakinya, lalu pandangannya beralih ke dinding ruang tamu yang luas. Tiba-tiba, matanya membelalak lebar. Mulutnya ternganga.
"Mana?" suaranya bergetar.
Bu Laras berjalan cepat, nyaris berlari, menuju dinding di dekat tangga. Tangannya meraba permukaan wallpaper yang kosong.
"Mana foto-foto Sarah?!" teriak Bu Laras histeris. Dia berbalik menatap Gavin dan Kiana dengan nyalang. "Di sini harusnya ada foto pernikahan Sarah dan Gavin yang besar! Di lorong sana harusnya ada foto Sarah waktu hamil Alea! Ke mana semuanya?! Kenapa dinding ini kosong?!"
Kiana menghela napas panjang, memijat pelipisnya yang berdenyut. "Saya yang turunkan. Semuanya saya simpan rapi di lenari, di dalam kotak khusus anti lembab. Nggak ada yang dibakar, nggak ada yang dibuang."
"Lancang!" Bu Laras menjerit, suaranya menggema di seluruh lantai satu yang sunyi. "Siapa yang kasih kamu izin?! Itu kenangan anak saya! Itu bukti kalau Sarah pernah ada di rumah ini! Kamu mau menghapus jejak Sarah, hah?! Kamu mau bikin Alea lupa sama ibu kandungnya sendiri?!"
"Nggak ada yang mau menghapus jejak siapa pun," jawab Kiana datar, berusaha menahan emosinya yang mulai mendidih. "Tapi ini rumah saya sekarang. Saya istrinya Gavin sekarang. Apa pantas foto mantan istri—meskipun sudah meninggal—terpampang segede gaban di ruang tamu tempat saya menerima tamu? Ibu mau saya merasa seperti hantu di rumah sendiri?"
"Kamu memang hantu! Kamu parasit!" Bu Laras mengacungkan tongkatnya ke arah Kiana. "Rumah ini didesain oleh Sarah! Setiap sudut rumah ini ada napas Sarah! Kamu tidak punya hak mengubah tata letak satu vas bunga pun!"
"Ini rumah Gavin," balas Kiana dingin. "Dan sebagai nyonya rumah yang sah secara hukum negara dan agama, saya punya hak mutlak mau pasang foto siapa. Mau saya pasang poster boyband korea atau foto kucing saya pun, itu hak saya."
"Gavin!" Bu Laras menoleh pada menantunya, menuntut pembelaan. "Kamu diam saja melihat ibumu dihina begini? Istri barumu ini sudah membuang kenangan Sarah! Kamu sudah lupa sama janji kamu ke Sarah dulu?!"
Gavin mengusap wajahnya kasar. Debu hitam di tangannya membuat wajahnya makin cemong, tapi dia tidak peduli. "Bu, Kiana benar. Kami perlu melangkah maju. Alea juga perlu melihat ke depan, bukan terus-terusan disuguhi masa lalu yang bikin dia sedih. Foto Sarah tetap ada di kamar Alea. Itu cukup."
"Cukup kamu bilang?" Bu Laras memegangi dadanya, wajahnya mendadak pucat—atau setidaknya dia berusaha terlihat pucat. Dia terhuyung mundur, lalu menjatuhkan diri ke sofa beludru di dekatnya dengan gerakan dramatis.
"Aduh... dadaku..." Bu Laras mendesah, napasnya dibuat tersengal-sengal. "Jantungku... ya Tuhan, sakit sekali... kalian... kalian anak durhaka... mau bunuh orang tua..."
Kiana melipat kedua tangannya di depan dada, menatap akting itu dengan wajah datar tanpa ekspresi. "Perlu saya panggilkan ambulans? Atau langsung mobil jenazah? Biar sekalian booking katering pelayat."
Mata Bu Laras langsung melotot sehat walafiat. "Mulutmu! Dasar wanita ular!"
"Nah kan, sembuh," sindir Kiana. "Gavin, suruh sopirmu antar beliau pulang. Aku mau mandi."
Kiana berbalik, hendak melangkah menuju tangga. Tapi suara Bu Laras kembali terdengar, kali ini lebih rendah dan penuh ancaman.
"Saya tidak akan pulang."
Kiana berhenti, lalu menoleh pelan. "Apa?"
Bu Laras memperbaiki posisi duduknya, menegakkan punggungnya kembali seperti ratu yang sedang memberi titah. "Jantung saya lemah. Dokter bilang saya tidak boleh stres atau perjalanan jauh malam-malam. Kalau terjadi apa-apa di jalan, kamu mau tanggung jawab?"
"Rumah Ibu cuma beda dua blok dari sini," sela Kiana skeptis. "Jalan kaki juga nyampe."
"Saya mau menginap di sini," potong Bu Laras keras kepala. "Selama satu minggu."
"Apa?!" Kiana dan Gavin berteriak bersamaan.
"Nggak bisa!" tolak Kiana mentah-mentah. "Saya lagi banyak masalah kantor. Saya butuh ketenangan. Adanya Ibu di sini cuma nambah darah tinggi saya."
"Justru itu," Bu Laras tersenyum licik. "Karena kamu sibuk mengurusi gudangmu yang terbakar itu, siapa yang urus Alea? Pasti cucu saya terlantar. Tidak makan, tidak diurus, dibiarkan main gadget seharian. Saya akan tinggal di sini seminggu untuk melakukan audit."
"Audit?" ulang Gavin bingung. "Ibu kira ini perusahaan?"
"Audit kelayakan dia sebagai ibu," Bu Laras menunjuk Kiana dengan dagunya. "Saya mau lihat sendiri, apakah dia becus mengurus Alea. Kalau dalam seminggu saya menemukan bukti kalau Alea tidak bahagia atau tertekan, saya akan bawa masalah ini ke pengadilan. Saya akan gugat hak asuh Alea."
Kiana tertawa pendek, tawa yang tidak percaya. "Silakan mimpi. Gavin ayahnya. Ibu cuma neneknya. Hak asuh mana yang mau Ibu gugat?"
"Jangan remehkan koneksi saya dan pengacara keluarga Sarah," ancam Bu Laras. "Kami punya bukti kalau lingkungan di sini toxic buat tumbuh kembang anak. Terutama sejak ada kamu."
"Bu, jangan konyol," Gavin memijat pangkal hidungnya. "Pulanglah. Jangan bikin ancaman kosong."
"Saya tidak main-main, Gavin. Ingat, separuh saham di perusahaan cabang Surabaya masih atas nama keluarga besar Sarah. Kamu mau kami tarik semua investasi itu saat kamu sedang butuh dana segar buat bangun ulang gudang istrimu ini?"
Ruangan hening seketika. Ancaman itu telak. Bu Laras tahu persis titik lemah Gavin saat ini. Dengan gudang Kiana yang terbakar dan butuh dana talangan besar, penarikan saham dari pihak keluarga Sarah akan menjadi bencana finansial ganda bagi Ardiman Logistics.
Kiana menatap Gavin. Dia melihat keraguan di mata suaminya. Gavin yang tadi garang, kini terdiam. Dia tidak bisa mengambil risiko bisnis hancur di saat Kiana juga sedang butuh bantuannya.
"Sialan," umpat Kiana dalam hati. Nenek sihir ini pintar juga main kartunya.
"Oke," kata Gavin akhirnya, suaranya serak. "Seminggu. Cuma seminggu. Tapi Ibu tidur di kamar tamu bawah. Jangan naik ke lantai dua kecuali izin."
"Gavin!" protes Kiana.
"Sayang, tolong," Gavin menatap Kiana memohon. "Cuma seminggu. Kita hadapi bareng."
Bu Laras tersenyum penuh kemenangan. Senyum yang membuat Kiana ingin melempar vas bunga ke wajahnya.
"Bagus. Sekarang siapkan kamar tamu. Ganti seprainya dengan sutra, saya alergi katun kasar. Dan pastikan AC-nya suhu 22 derajat, tidak lebih tidak kurang."
Kiana mengepalkan tangannya. Ingin rasanya dia mencekik leher wanita tua itu, tapi dia masih sadar hukum. Dia menghentakkan kaki, berbalik menuju tangga tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dia butuh air dingin untuk menyiram kepalanya yang berasap.
Tap.Tap.Tap.
Suara langkah kaki kecil terdengar menuruni anak tangga.
Kiana mendongak. Di bordes tangga, berdiri sosok kecil dengan piyama bergambar beruang. Rambutnya acak-acakan khas bangun tidur, matanya mengerjap-ngerjap silau karena lampu ruang tamu yang terang benderang.
Itu Alea.
Gadis kecil itu memegang boneka kelinci kumal di tangan kirinya. Tapi yang membuat mata Kiana terpaku bukan bonekanya.
"Oma?" suara Alea serak khas bangun tidur.
Mata Bu Laras langsung menyala melihat cucunya. Dan lebih menyala lagi saat melihat perban di lutut Alea.
Luka karena didorong Dino di sekolah.
Dengan kecepatan yang tidak masuk akal untuk orang yang baru saja mengaku sakit jantung, Bu Laras melesat dari sofa, menerjang ke arah tangga, dan langsung memeluk kaki Alea.
"Alea! Cucuku sayang!" Bu Laras menjerit histeris, air matanya langsung tumpah deras seolah ada keran di pelupuk matanya. "Ya ampun, Nak! Kasihan sekali nasibmu!"
Alea yang masih setengah sadar kaget dipeluk begitu erat. "Oma? Kenapa nangis? Oma sakit?"
Bu Laras melepaskan pelukannya, lalu menunjuk lutut Alea yang diperban dengan jarinya yang gemetar dramatis. Dia menoleh ke arah Gavin dan Kiana dengan tatapan menuduh yang mematikan.
"Lihat! Lihat ini, Gavin!" teriak Bu Laras, suaranya melengking memenuhi ruangan. "Baru saja aku ngomong, buktinya langsung ada di depan mata! Lihat lutut cucuku!"
Kiana melongo. "Itu cuma jatuh di seko—"
"Bohong!" potong Bu Laras ganas. Dia kembali memeluk Alea, menyembunyikan wajah anak itu di dadanya, seolah melindungi Alea dari monster.
"Cucuku sayang, pasti sakit ya? Pasti perih ya?" Bu Laras meratap sambil mengelus rambut Alea kasar. "Siapa yang bikin ini, Nak? Siapa yang bikin kakimu diperban begini? Bilang sama Oma, jangan takut."
Alea bingung, matanya mencari-cari wajah Kiana. "Tante Kiana yang—"
"Tuh kan!" Bu Laras langsung memotong ucapan Alea sebelum kalimatnya selesai. Dia menatap Gavin dengan nyalang. "Dengar sendiri kan, Gavin?! Alea bilang 'Tante Kiana yang...'! Anak kecil nggak mungkin bohong!"
"Alea mau bilang Tante Kiana yang obatin!" sergah Kiana, emosinya meledak. "Jangan putar balik fakta, Nenek Lampir!"
"Jangan panggil aku begitu di depan cucuku!" Bu Laras berdiri, menarik Alea agar bersembunyi di balik punggungnya. Dia menatap Kiana dengan tatapan penuh kebencian murni.
"Kamu siksa dia, kan? Kamu dorong dia sampai jatuh, lalu kamu pura-pura obatin biar dibilang pahlawan? Ngaku kamu!" tuduh Bu Laras membabi buta.
"Alea, bilang yang jujur sama Nenek," kata Gavin, mencoba menengahi. "Alea jatuh sendiri ya kan?"
"Jangan tekan anak kecil!" bentak Bu Laras. "Dia trauma! Lihat matanya ketakutan begitu melihat Kiana! Ya Tuhan, Sarah... maafkan Ibu tidak bisa menjaga anakmu dari ibu tiri kejam ini..."
Alea mulai menangis karena bingung dan takut melihat neneknya berteriak-teriak dan ayahnya terlihat marah. Tangisan Alea makin menjadi senjata buat Bu Laras.
"Tuh, kan! Dia nangis ketakutan!" Bu Laras menggendong Alea—yang sebenarnya sudah agak berat—dengan kekuatan tenaga dalam nenek-nenek. "Oma bawa kamu ke kamar ya, Sayang. Malam ini kamu tidur sama Oma. Oma nggak akan biarkan wanita jahat itu sentuh kamu lagi seujung kuku pun!"
Bu Laras melangkah naik tangga, menabrak bahu Kiana dengan sengaja saat melewatinya. Dia berhenti sejenak tepat di samping telinga Kiana, lalu berbisik dengan nada yang membuat bulu kuduk berdiri.
"Perang baru saja dimulai, Nyonya Palsu. Tunggu saja sampai aku menemukan satu lagi kesalahanmu. Kamu bakal keluar dari rumah ini bawa baju di badan doang."
Bu Laras melenggang pergi membawa Alea yang masih sesenggukan. Pintu kamar Alea di lantai atas terbanting menutup.
BLAM!
Hening.
Kiana berdiri mematung di tengah tangga. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena menahan keinginan untuk mendobrak pintu itu. Dia menatap Gavin yang masih berdiri di bawah, wajah pria itu tampak putus asa.
"Selamat datang di neraka level dua," gumam Kiana pelan.
Masalah gudang belum selesai, mantan suami psikopat masih berkeliaran, dan sekarang... nenek sihir resmi menguasai markasnya.
Ini akan menjadi minggu yang sangat panjang.