NovelToon NovelToon
Married To Mr. Killer

Married To Mr. Killer

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda
Popularitas:8.1k
Nilai: 5
Nama Author: muliyana setia reza

Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.

Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.

"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.

Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sarapan Yang Terasa Pahit

Matahari pagi Jakarta yang biasanya menyengat, kali ini terasa redup bagi Intan. Sejak bangun tidur dua jam lalu, gadis itu hanya mondar-mandir di dapur apartemen yang serba stainless steel itu seperti anak kucing yang tersesat.

Matanya bengkak. Bukan karena menangis semalaman, tapi karena ia tidak bisa tidur sama sekali. Suara dengung kulkas dan bunyi detak jam dinding di ruang tengah yang sunyi terasa menerornya sepanjang malam.

Intan menghela napas kasar. Di hadapannya, sepiring nasi goreng kampung dengan telur mata sapi setengah matang sudah tersaji di meja makan. Asapnya mengepul, menyebarkan aroma bawang dan terasi yang menggugah selera—setidaknya bagi Intan. Ia memasak untuk mengusir rasa sepi, berharap suara sreng-sreng spatula yang beradu dengan wajan bisa menutupi kesunyian apartemen ini.

Tepat saat ia hendak menyuapkan sendok pertama, bunyi beep digital dari pintu depan terdengar.

Jantung Intan mencelos.

Pintu terbuka. Sosok tinggi itu masuk.

Argantara pulang.

Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh pagi. Pria itu masih mengenakan pakaian yang sama dengan semalam, hanya saja kini jaket denimnya tersampir di lengan, dan kemeja hitamnya terlihat kusut. Rambutnya berantakan, wajahnya tampak lelah dan sedikit berminyak. Aroma rokok samar-samar tercium saat ia melangkah masuk, bercampur dengan parfum mahalnya yang mulai memudar.

Intan meletakkan sendoknya kembali ke piring, menimbulkan bunyi denting yang cukup keras. Ia tidak berdiri untuk menyambut, tidak juga tersenyum. Ia hanya menatap suaminya dengan tatapan tajam.

Arga tidak menatapnya. Pria itu berjalan lurus menuju kulkas, seolah Intan hanyalah perabot tambahan di ruangan itu—sebuah vas bunga yang tidak penting. Ia mengambil botol air mineral dingin dan meneguknya langsung dari botol, jakunnya bergerak naik turun dengan cepat.

Setelah botol itu kosong setengah, barulah Arga menghembuskan napas panjang dan menoleh ke arah meja makan. Matanya menyipit sedikit saat hidungnya menangkap aroma masakan Intan.

"Kamu masak apa?" tanyanya datar. Suaranya serak, khas bangun tidur atau kurang tidur.

"Nasi goreng," jawab Intan singkat, tanpa embel-embel 'Mas' atau 'Kak'.

Arga mengernyitkan hidung, ekspresinya seperti baru saja mencium bau sampah. "Baunya menyengat sekali. Kamu pakai terasi?"

Darah Intan mendesir naik ke kepala. Ini kalimat pertama yang diucapkan suaminya setelah meninggalkannya sendirian di malam pengantin? Komplain soal bau terasi?

"Iya. Kenapa? Masalah?" tantang Intan.

"Masalah," jawab Arga ketus. Ia berjalan mendekat, menarik kursi di ujung meja—kursi terjauh dari Intan—dan duduk dengan malas. "Saya tidak suka bau terasi di pagi hari. Exhaust fan dinyalakan tidak?"

Intan mengepalkan tangannya di bawah meja. "Dinyalakan. Kalau nggak suka baunya, Mas bisa keluar lagi. Toh, semalam juga Mas lebih suka di luar kan daripada di sini?"

Hening.

Kalimat itu meluncur begitu saja, tajam dan penuh sindiran. Arga menatap Intan. Kali ini tatapannya bukan tatapan kosong, tapi tatapan tajam yang biasa ia gunakan untuk mengintimidasi mahasiswa yang berani membantah di kelas.

"Jadi ini masalahnya?" Arga menyandarkan punggungnya ke kursi, melipat kedua tangan di dada. "Kamu marah karena saya tinggal semalam?"

"Siapa yang nggak marah?" Intan berdiri, rasa laparnya hilang seketika digantikan amarah. "Kita baru nikah kemarin siang, Mas! Aku sendirian di tempat asing ini. Aku nggak tahu cara nyalain kompor listriknya, aku nggak tahu di mana saklar lampunya. Dan suamiku malah asyik nongkrong sama teman-temannya!"

Arga mendengarkan ledakan emosi itu tanpa berkedip. Wajahnya tetap tenang, menyebalkan.

"Kamu bukan anak kecil, Intan. Kamu tujuh belas tahun, bukan tujuh tahun," balas Arga dingin. "Ada Google untuk cari cara nyalain kompor. Ada saklar di dinding yang bisa kamu coba satu-satu. Jangan manja."

"Manja?!" suara Intan meninggi satu oktaf. "Ini bukan soal manja! Ini soal menghargai pasangan!"

Arga tertawa kecil. Tawa yang kering dan meremehkan.

"Pasangan?" ulangnya. Ia berdiri, berjalan mendekati Intan. Aura dominasinya membuat Intan ingin mundur, tapi ia menahan kakinya agar tetap terpaku di lantai.

Arga berhenti tepat dua langkah di depan Intan.

"Dengar, Intan," ucapnya pelan namun menekan. "Pernikahan ini terjadi karena saya menghormati almarhum Kakek saya. Bukan karena saya menginginkan kamu. Bagi saya, kamu adalah tanggung jawab tambahan yang merepotkan. Jadi, berhenti bersikap seolah-olah ini adalah drama rumah tangga di TV di mana suami harus menemanimu 24 jam."

Hati Intan rasanya seperti diremas tangan tak kasat mata. Sakit. Perih. Ucapan itu jauh lebih menyakitkan daripada bentakan. Arga secara terang-terangan mengatakan bahwa keberadaannya adalah beban.

"Kamu... jahat banget," bisik Intan, matanya mulai memanas.

"Saya realistis," koreksi Arga. Ia melirik jam tangannya. "Saya mau tidur. Jangan berisik. Dan tolong, buang sisa nasi goreng itu atau makan di balkon. Baunya bikin saya pusing."

Tanpa menunggu jawaban, Arga berbalik badan dan berjalan menuju kamar utamanya.

Brak.

Pintu kamar itu tertutup lagi. Mengunci pria arogan itu di dalam dunianya sendiri.

Intan berdiri gemetar di ruang makan. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah. Tapi kali ini, ia tidak mengusapnya dengan sedih. Ia mengusapnya dengan kasar, dengan punggung tangannya, penuh kemarahan.

Ia menatap piring nasi goreng buatannya yang kini sudah dingin. Nasi goreng yang sebenarnya ia masak porsi besar, diam-diam berharap Arga akan pulang lapar dan mereka bisa sarapan bersama meski dalam diam.

Betapa bodohnya ia.

Intan meraih piring itu, berjalan cepat ke arah tempat sampah, dan membuang seluruh isinya.

"Oke, kalau itu maunya," gumam Intan, suaranya bergetar menahan amarah. Ia menatap pintu kamar Arga dengan tatapan nyalang.

Rasa takut dan canggung yang ia rasakan kemarin telah lenyap. Rasa hormat pada sosok dosen itu pun menguap. Yang tersisa kini hanyalah rasa antipati yang mendalam.

"Lihat saja, Argantara Ramadhan," desis Intan, mengepalkan tangannya hingga kuku-kukunya memutih. "Kamu bilang aku beban? Kamu bilang aku merepotkan? Oke. Aku akan jadi mahasiswi paling merepotkan yang pernah kamu temui seumur hidupmu. Aku akan bikin hidupmu nggak tenang, baik di rumah ini maupun di kampus."

Pagi itu, di apartemen mewah yang dingin itu, sebuah bendera perang resmi dikibarkan. Bukan lagi perang dingin, tapi perang terbuka. Dan Intan bersumpah, ia tidak akan menjadi pihak yang kalah.

1
Miramira Kalapung
Suka banget sama cerita nya Thor, semoga cepat update yah🥰🥰
sarinah najwa
miris sekali hudupnu pak dosen 😅silahkan menikmati buah dari perbuatAnmu ..
Rian Moontero
lanjuuuttt👍👍😍
Sri Wahyuni
Luar biasa
☠ᵏᵋᶜᶟ𝕸y💞Putri𖣤​᭄
sukurin Arga....
makan tuh gengsi Segede gaban😄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!