menceritakan sang pangeran bernama iglesias Lucyfer seorang pangeran yang manja dan kekanak-kanakan suatu hari dia dan kakak perempuan Lucyfer iglesias Elice ingin menjadi penyihir high magnus dan bertahun tahun berlalu di mana saat sang kakak kembali lagi ke kerajaan vantier Elice berubah pesat dan menjadi sangat dingin, perfeksionis,fokus dan tak peduli dengan siapapun bahkan Elice malah menantang sang adik dan bertarung dengan sang adik tetapi sang adik tak bisa apa apa dan kalah dalam satu teknik sihir Elice,dan Elice mulai menyadarkan Lucyfer kalau penyihir seperti nya tak akan berkembang dan membuat lucyfer tetap di sana selama nya dan sang adik tak menyerah dia ke akademi yang sama seperti kakak nya dan mulai bertekad menjadi high magnus dan ingin membuktikan kalau diri nya sendiri bisa jadi high magnus tanpa kakak nya dan Lucyfer akan berjuang menjadi yang terhebat dengan 15 teman teman nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nakuho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 14:murid bertopeng yang misterius
Saat jumlah murid tersisa mencapai tiga puluh, sihir labirin perlahan runtuh. Dinding batu retak menjadi cahaya, obor-obor padam, dan para murid kembali ke arena utama Akademi Agreta.
Di tribun atas, para guru saling bertukar pandang. Tidak ada raut iba—hanya ketertarikan dan kepuasan.
“Ujian kedua kali ini…” gumam salah satu guru.
“Cukup menghibur.”
Nilai tinggi pun diberikan. Bukan karena belas kasihan, melainkan karena para murid yang tersisa memang layak.
Claude Monet melangkah maju ke tengah arena.
“Luar biasa,” ucapnya lantang.
“Kalian bertiga puluh berhasil melewati ujian yang bahkan membuat murid tahun atas gentar."
Beberapa murid tersenyum lega. Namun Claude segera mengangkat tangan.
“Tapi jangan senang dulu,” lanjutnya dingin.
“Karena sekarang aku akan menjelaskan jalan menuju High Magnus.”
Ia mengeluarkan sebuah koin emas khusus. Permukaannya berkilau, satu sisi berlogo bintang, sisi lain berlogo bulan.
“Lihat baik-baik,” kata Claude.
“Ini bukan sekadar koin. Ini adalah kunci.”
Lucyfer menatap koin itu tanpa ekspresi.
“Untuk mengikuti kompetisi resmi melawan murid akademi lain,” lanjut Claude,
“dan membuka jalan menjadi High Magnus, kalian wajib memiliki koin emas berlogo bintang.”
Ia mulai menjelaskan aturan dengan rinci.
“Pertama,”
“koin emas bisa didapat dari mana saja—misi akademi, taruhan dengan murid lain, atau hadiah khusus."
“Namun,” suaranya mengeras,
“kedua—jika seorang murid mendapatkan koin berlogo bulan, maka koin bintang miliknya akan hangus tapi tergantung di beri permintaan maaf atau tidak maka koin bintang kalian akan tetap berlaku."
Riuh rendah terdengar.
“Koin bulan diberikan jika kalian bertindak ceroboh,” lanjut Claude.
“Misi abal-abal. Pelanggaran serius. Atau taruhan yang menyebabkan murid lain terluka parah.”
“Luka ringan dan sedang masih ditoleransi.”
“Tapi tidak untuk kedua kalinya.”
Lucyfer menyipitkan mata.
Ia mengangkat tangannya.
“Guru,” ucapnya tenang.
“Jika seseorang sudah mendapatkan koin bintang, bagaimana jalur selanjutnya? Sistemnya masih kurang jelas.”
Claude tersenyum tipis.
“Pertanyaan bagus.”
“Setiap murid wajib mendapatkan minimal satu koin bintang,” jelasnya.
“Namun jumlah idealnya adalah tiga koin.”
“Setelah itu, kalian berhak mengikuti pertandingan antar murid—baik di dalam akademi ini maupun melawan akademi lain.”
Ia berhenti sejenak.
“Namun ingat,” lanjutnya,
“di Akademi Agreta, hanya tersedia enam koin bintang emas.”
“Total. Untuk seluruh murid—tahun pertama hingga tahun ketiga.”
Keheningan jatuh.
“Artinya,” tutup Claude,
“ini bukan sekadar kompetisi.”
“Ini perang.”
Claude berbalik pergi, namun berhenti satu langkah.
“Oh ya,” katanya tanpa menoleh.
“Kalian bertiga puluh harus segera membentuk tim berisi tiga orang.”
“Tak peduli pria atau wanita.”
“Satu tim, satu asrama.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi.
Lucyfer menoleh ke Elviera.
“Kita satu tim,” ucapnya datar.
“Tapi… satu orang lagi siapa?”
Elviera menunduk sopan.
“Tuan Muda tenang saja,” katanya.
“Aku akan mencarinya.”
“Oh ya, seluruh barang kita sudah dipindahkan ke asrama.”
Ia pun pergi tanpa penjelasan tambahan.
Di asrama baru, Lucyfer berdiri diam.
Semua barangnya telah tersusun rapi.
Pakaian, perlengkapan sihir, bahkan buku-buku tersusun sesuai kebiasaan lamanya. Tidak ada yang salah tempat.
Efisien, pikirnya singkat.
Tiba-tiba—
Tok. Tok. Tok.
“Masuk saja,” ucap Lucyfer dingin.
Pintu terbuka.
Elviera masuk terlebih dahulu. Di belakangnya berdiri seorang murid bertopeng ungu. Tubuhnya ramping, auranya tajam. Di tangannya, sebuah tongkat sihir berwarna ungu memantulkan kesan mencekam.
Tatapan Lucyfer langsung mengeras.
Elviera melangkah ke samping.
“Tuan Muda Lucyfer,” ucapnya tenang.
“Perkenalkan. Dia akan menjadi anggota tim kita.”
“Namanya Sylvara Nyxveil.”
Sylvara melangkah maju satu langkah.
Dari balik topengnya, sepasang mata dingin menatap Lucyfer tanpa gentar.
“Hei,” katanya singkat.
“Aku Sylvara.”
“Senjataku sabit ungu.”
“Sihirku tebasan bayangan—mampu memotong berbagai objek.”
Ia berhenti sejenak.
“Salam kenal.”
Ruangan menjadi sunyi.
Lucyfer menatapnya tajam, lalu menyeringai tipis—nyaris tak terlihat.
Tiga orang, pikirnya.
Tiga monster.
Dan di Akademi Agreta—
Ini baru permulaan.