NovelToon NovelToon
Ujug-ujug Punya Tiga Suami

Ujug-ujug Punya Tiga Suami

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Satu wanita banyak pria / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Mega Biru

Duit tinggal ceban, aku ditawarin kerja di Guangzhou, China. Dengan tololnya, aku menyetujuinya.

Kupikir kerjaan itu bisa bikin aku keluar dari keruwetan, bahkan bisa bikin aku glow up cuma kena anginnya doang. Tapi ternyata aku gak dibawa ke Guangzhou. Aku malah dibawa ke Tibet untuk dinikahkan dengan 3 laki-laki sekaligus sesuai tradisi di sana.

Iya.
3 cowok itu satu keluarga. Mereka kakak-adik. Dan yang paling ngeselin, mereka ganteng semua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5

Tubuhku mendadak tegang. Benar kata Deti, ke tiga pria yang katanya calon suamiku itu memang gagah dan tampan, seperti tiga versi sempurna dari satu garis keturunan yang sama.

“Mana calon istri kami?” kata salah satu pria itu menggunakan bahasa yang gak kumengerti.

“Ini.” Deti menjawab dengan bahasa yang gak kumengerti juga, sambil memegang bahuku.

Ketiga pria yang menggunakan mantel wol tebal itu pun memasuki ruangan, diikuti udara dingin Tibet yang terbawa masuk bersama mereka.

“Ini?” Ketiga pria itu memandangku, tentunya menggunakan bahasa aneh.

“Iya, ini,” sahut Deti. “Namanya Cica, cantik, bukan?”

“Mereka ngomong apa, sih?” batinku.

"CANTIK," jawab ketiga pria itu sambil tetap memandangku.

“Kalian ngomongin aku?” tanyaku pada Deti.

“Iya, Ca. Kata mereka, kamu cantik,” translate Deti.

Aku mengibaskan gerainya rambut ke belakang. “Memang aku cantik.” Aku tak ingin terlihat lemah di hadapan mereka.

“Iya, Ca. Memang kamu cantik. Makanya aku gak salah pilih kamu.”

Mendengar itu tanganku langsung mengepal. “Terus mereka ini yang bakal nikahin aku? Sekaligus tiga?”

“Benar. Dengar baik-baik, ya. Aku akan jelasin semua tentang tiga putra Dorjen ini.”

Aku menelan ludah, deg-degan juga rasanya.

“Yang tengah itu namanya Sonam.”

Deti menunjuk pria berbahu lebar. Pria bernama Sonam itu memiliki sorot mata tajam seperti seseorang yang telah melewati banyak ujian. Kulitnya sawo matang, tulang pipinya tinggi, rahangnya kuat, rambutnya hitam legam, tubuhnya pun besar, kekar, seperti tipe pria pekerja lapangan.

“Sonam usianya tiga puluh dua. Dia anak pertama. Di dalam pernikahan nanti, putra pertama lah yang lebih berkuasa daripada adik-adiknya. Kamu juga harus lebih hormat sama dia. Tapi kata orang-orang, Sonam itu tipe laki-laki yang bertanggung jawab, kok,” sambung Deti.

“Lalu yang itu?” Aku memandang pria yang berdiri di sebelah kanan Sonam.

“Yang itu putra kedua, namanya Tenzin.”

Aku mengarahkan matanya pada pria bermata teduh yang memiliki wajah lebih kalem, kulitnya lebih terang, tubuhnya pun sama tinggi, ramping, dan berotot. Tapi dia memiliki aura seperti lelaki sabar, sangat beda dengan Sonam yang memiliki aura tegas.

“Usianya dua puluh delapan. Tenzin juga dikenal yang paling ramah, tapi kalau udah marah, dia bisa lebih bengis dari Sonam,” sambung Deti.

Aku merinding. “Lalu yang itu?” Lanjut memandang pria yang tampak lebih muda dari ke dua pria sebelumnya, yang berdiri di sisi kiri Sonam.

“Yang itu putra bungsu, namanya Norbu. Umurnya sekitar dua puluh empat. Dia orangnya agak jahil dan tengil. Tapi jangan tertipu, dia memang suka bercanda, tapi mudah tersinggung juga.”

“Kalian sedang membicarakan apa?” tanya Norbu menggunakan bahasa Tibet.

“Saya sedang memperkenalkan kalian semua,” jawab Deti.

“Ya sudah, suruh dia istirahat di kamar, pasti dia lelah,” kata Tenzin.

“Benar, tolong layani dia dengan baik. Jangan ada yang kasar pada calon ratu Dorjen,” sambung Sonam.

“Baik,” jawab Deti.

“Kalian ngomong apa?” tanyaku, sedikit jengkel karena seperti orang o'on yang gak mengerti apa-apa.

“Kamu disuruh istirahat dulu, calon ratu Dorjen. Ayo ikut aku.”

**

**

Malam merayap perlahan, membungkus kediaman keluarga Dorjen dengan hawa dingin khas Tibet yang menusuk tulang. Aku duduk di atas ranjang besar, ranjang yang terlalu empuk untuk seseorang yang hidupnya sedang kacau.

Di depanku, meja kayu panjang sedang dipenuhi berbagai makanan. Aku pun gak tau nama-nama makanan yang sangat asing itu. Tapi semuanya kelihatan mahal.

Aku sendirian, benar-benar sepi rasanya. Sedangkan Deti si penipu itu entah ke mana. Rasanya aku jadi seperti kambing yang dikurung di kandang kerajaan, benar-benar gak bebas.

“Kok hidupku jadi begini?”

Aku benar-benar bingung bagaimana semuanya bisa berubah secepat ini. Rasanya baru kemarin aku di Indonesia, masih sibuk cari loker di mana-mana, masih bisa ketawa meskipun uang tinggal ceban, dan gak dibikin pusing meskipun belum bayar kontrakan. Tapi sekarang?

“Buk, Pak, aku harus gimana?” Aku berbicara seolah mendiang ibu dan bapak ada di hadapanku.

Aku ingin kaya, iya. Aku memang ingin punya masa depan yang jelas. Aku pun gak papa juga jika harus nikah sama tua bangka, yang terpenting harus banyak harta. Karena gak munafik, uang memang lebih utamanya dibanding semuanya.

"Tapi masa harus begini caranya?"

Aku menatap jendela besar, melihat malam Tibet yang gelap dan sepi. Kalau aku kabur, aku gak tahu jalan. Kalau aku pulang, aku gak punya uang. Mana pasportku ditahan Deti sialan.

Deti Anj!

Tapi kalau pun aku pulang ke Indonesia, aku mau jadi apa? Uang gak punya, kontrakan udah habis masa sewa, masa iya aku harus jadi gelandangan yang tidur di kolong jembatan?

Membayangkannya pun membuatku merinding sendiri. Jujur aja, aku gak mau jadi gembel di negara sendiri.

“Cica?”

Deti muncul tiba-tiba, membuka pintu tanpa mengetuk. Aku yang sejak tadi menahan emosi langsung melempar bantal ke arahnya.

“KEMANA AJA KAMU!!” teriakku dengan suara pecah.

Bantal itu jatuh ke lantai, Deti memungutnya perlahan. Dia gak marah, gak juga membalas. Dia cuma menghela napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang, tepat di hadapanku.

“Maaf ya, Ca. Aku pulang ke rumah sebentar,” katanya pelan.

Aku memicingkan mata. “Rumah siapa? Rumah majikanmu?”

Deti menggeleng. “Bukan.”

“Terus rumah siapa?”

“Aku udah jadi warga negara sini, Ca.”

Aku terkejut mendengarnya. “Jadi warga sini? Kok bisa? Bukannya kamu cuma kerja?”

“Dulu aku memang kerja di Guangzhou, itu benar. Tapi hidup gak selalu berjalan seperti rencana. Waktu di Guangzhou, aku malah ketemu jodoh. Kami menikah, tapi setelah punya anak, keadaan ekonomi kami langsung anjlok. Hidup di kota besar mahal banget, Ca. Sampai akhirnya suamiku memutuskan untuk pindah ke sini, karena suamiku punya saudara di sini.”

Aku menatapnya tidak percaya. “Jadi sejauh itu kamu bohongin aku?”

Deti menunduk. “Maaf, kalo aku gak jujur soal itu.”

Tenggorokanku tercekat. “Kamu gak jujur soal banyak hal, Det. Bukan cuma itu.”

“Maaf, Ca. Maaf. Aku kepepet banget. Sampai sekarang pun ekonomi keluargaku belum stabil.”

“Oke, lupakan yang udah terjadi. Aku cuma masih bingung, kenapa ke tiga putra Dorjen itu malah milih wanita luar? Memangnya gak ada wanita lain di sini? Apalagi kata kamu, mereka kaya? Logikanya, pasti banyak cewek sini yang mau sama orang kaya. Apa kamu menyembunyikan sesuatu tentang mereka juga?”

“Menyembunyikan apa, Ca? Udah gak ada yang kututupi lagi dari kamu.”

“Ya buktinya kenapa mereka gak sama gadis lokal aja? Atau jangan-jangan ke tiga putra Dorjen itu punya latar belakang kelam sampe gak ada satu pun gadis lokal yang mau?”

“Gak gitu, Ca. Gadis lokal gak ada yang mau, karena perempuan Tibet sekarang udah berubah. Mereka udah modern."

Aku mengerutkan alis. “Modern?“

“Iya, mereka udah banyak yang sekolah tinggi, kerja di kota, bahkan banyak yang pindah ke Lhasa, Chengdu, dan Beijing. Mereka udah gak mau lagi lanjutin budaya di sini."

Aku memandangnya setengah syok.

“Buat mereka, budaya di sini udah kuno, Ca. Mereka pengennya nikah sama satu suami aja, dan hidup normal. Mereka juga malu kalau harus nikah sama kakak-beradik gitu meskipun calon suaminya kaya," sambung Deti.

“Ya iyalah malu! Siapa juga yang mau?“ ketusku.

“Ya maka dari itu keluarga Dorjen maunya perempuan dari luar negeri, Ca. Cuma perempuan luar yang gak ngerti budaya sini. Cuma perempuan luar juga yang bisa diarahkan pelan-pelan."

Aku melotot. “Bahasanya jangan diarahin, Det. Itu namanya dikerjain.“

“Iya, Ca, iya. Sekali lagi aku minta maaf.“

“Maafmu udah basi.“

Deti terdiam.

“Terus kenapa bisa-bisanya kakak adik mau nikah sama satu perempuan? Nikah sama beda perempuan kan lebih puas.”

"Itu memang udah tradisi mereka dari dulu, Ca. Namanya poliandri fraternal."

Aku mengerutkan dahi. "Apa itu?"

"Satu perempuan nikah dengan beberapa laki-laki yang masih saudara, biasanya kakak-beradik. Tujuan utamanya biar tanah dan usaha keluarga gak pecah."

Aku menatapnya tanpa berkedip.

"Jadi di sini, tanah dan usaha itu penting, Ca. Kalau satu keluarga punya tiga anak laki-laki dan masing-masing menikah dengan perempuan berbeda, nanti warisannya harus dibagi tiga."

Aku terdiam.

"Tapi kalau ke tiga bersaudara menikah sama satu istri yang sama, semuanya tetep utuh. Jadi keluarga gak akan miskin, malah pihak perempuan yang diuntungkan, jadi punya banyak kepala keluarga yang cari nafkah," sambung Deti.

Aku merasa kepalaku berputar. “Tapi tetap aja gila gak sih? Jadi istrinya harus tidur sama semuanya?"

"Iya, Ca. Begitulah sistem mereka, gantian, ada jadwalnya. Nanti kakak tertua yang ngatur."

Aku menelan ludah. “Jadi aku bakal dijadwal sama cowok-cowok tadi?“

Deti mengangguk.

“Astaga!“ Kupegeng kepala yang ingin pecah. “Gimana nasib fe fekkuuuu?!“

“Jangan khawatir, Ca. Kan gak seligus semuanya. Tapi kalo mau sekaligus juga gak papa.“ Deti menahan tawa.

“SINTHING!“

Deti mengusap punggungku. “Gak usah takut, Ca. Kamu lihat kan mereka kayak cowok baik semua? Selama aku di sini, aku juga gak pernah lihat mereka aneh-aneh. Mereka cuma fokus sama usaha. Dan entah kenapa aku yakin banget kamu bakal bahagia di tangan mereka. Kalau kamu nurut, mereka bakal sayang sama kamu.”

Aku tertegun, menimbang hal yang gak masuk akal. “Terus, kalau aku hamil gimana?”

“Gimana apanya, Ca?”

“Ya hamil, Det! Kalau aku nikah sama tiga laki-laki sekaligus, terus aku hamil, itu anak siapa? Mereka gak bakalan ribut? Atau apa?!”

“Ca, budaya di sini beda banget sama Indonesia. Mereka gak akan ribet dan ribut.”

Aku mengerutkan kening. “Maksudnya?”

“Kalau kamu hamil, anak itu dianggap anak keluarga, bukan anak salah satu suami. Mereka gak nyari siapa ayah biologisnya, karena dianggap semuanya ‘ayah’. Semua bertanggung jawab, semua akan sayang, dan semuanya punya peran.”

Aku melongo. “Tapi secara biologis kan cuma satu yang gol?!”

“Betul, tapi mereka gak peduli itu. Yang penting anakmu lahir sehat dan masuk silsilah keluarga Dorjen. Masalah siapa ayah biologis dari kandungmu, gak penting bagi mereka.”

“Astaga .…” Aku menutup wajah dengan kedua tangan. “Kok kayak gini banget hidupku ....”

Deti menggenggam tanganku. “Aku ngerti kamu takut. Tapi di sini, sistem keluarganya memang gitu. Kalau kamu hamil, ketiga suami kamu bakal jaga kamu bareng-bareng. Kamu akan aman dan sentosa.”

“Tapi aku gak bisa bayangin malam pertamanya, Det.“

“Jangan dibayangin, nanti aja dipraktekin langsung.”

Aku memicing. “Kamu lebih stres, Det!”

“Sekarang terserah kamu aja, Ca. Aku udah jelasin semuanya. Aku pun udah yakin kamu bakal bahagia. Kamu tinggal pilih aja, mau lanjutin pernikahan ini, atau kabur dari sini. Kalau kamu mau kabur, silahkan, tapi aku gak akan bantu. Kamu bakal terlunta-lunta di negara orang tanpa identitas.“

Aku terdiam dalam otak berpikir realistis.

“Kamu pikirkan aja baik-baik, Ca. Santai aja, gak usah tegang. Keluarga Dorjen akan kasih kamu waktu untuk mikir.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!