NovelToon NovelToon
Langit Jingga Setelah Hujan

Langit Jingga Setelah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kelahiran kembali menjadi kuat / Keluarga / Romansa Fantasi / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Chicklit / Fantasi Wanita
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: R²_Chair

Jingga seorang gadis cantik yang hidupnya berubah drastis ketika keluarga yang seharusnya menjadi tempat pulang justru menjadi orang pertama yang melemparkannya keluar dari hidup mereoka. Dibuang oleh ayah kandungnya sendiri karena fitnah ibu tiri dan adik tirinya, Jingga harus belajar bertahan di dunia yang tiba-tiba terasa begitu dingin.

Awalnya, hidup Jingga penuh warna. Ia tumbuh di rumah yang hangat bersama ibu dan ayah yang penuh kasih. Namun setelah sang ibu meninggal, Ayah menikahi Ratna, wanita yang perlahan menghapus keberadaan Jingga dari kehidupan keluarga. Davin, adik tirinya, turut memperkeruh keadaan dengan sikap kasar dan iri.

Bagaimanakan kehidupan Jingga kedepannya?
Akankan badai dan hujannya reda ??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R²_Chair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan Tak Sengaja di Kebun Kake

Keesokannya Jingga bangun lebih cepat dari biasanya. Ada rasa semangat yang tidak ia mengerti. Mungkin karena udara pegunungan yang sejuk, atau karena hari-harinya mulai terasa lebih teratur sejak tinggal bersama Kakek Arga. Rumah kayu itu tidak lagi terlihat sunyi dan menakutkan, kini terasa seperti tempat yang menerima kehadirannya tanpa banyak syarat.

Kakek Arga sedang menyiapkan alat-alat berkebun ketika Jingga keluar rumah.

"Kakek mau ke kebun?” tanyanya sambil menguap kecil.

“Iya. Hari ini saya mau merapikan bedengan sayur dan memindahkan beberapa bibit.”

“Aku ikut, boleh?”

Kakek Arga menatapnya dengan senyum hangat. “Boleh sekali. Asal kamu tidak keberatan kalau tanganmu jadi kotor.”

Jingga tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku bukan anak kecil yang takut kotor ke.”

Kakek Arga tertawa kecil, lalu memberikan sepasang sarung tangan kain untuknya.

Kebun Kakek Arga berada tidak jauh dari belakang rumah. Tidak besar, tetapi tertata rapi dengan banyak jenis tanaman seperti tomat, cabai, selada, mentimun, dan beberapa bunga yang Jingga belum hafal namanya.

Jingga terkesima melihat dedaunan hijau yang menggelayut di antara tali rambat. Embun pagi masih menempel, berkilau seperti serpihan kaca.

"Kamu bisa bantu menyiram dulu,” kata Kakek Arga sambil menunjuk beberapa baris tanaman.

Jingga mengangguk dan mulai mengisi ember kecil dari kolam di dekat kebun.Ia menyiram dengan hati-hati,memastikan tanah tidak terlalu basah. Melihat tanaman-tanaman kecil itu seolah hidup dan tumbuh membuatnya merasa berguna.

"Tanaman seperti manusia,” ujar Kakek Arga. "Diberi perhatian yang cukup, mereka akan tumbuh dengan baik.”

Jingga tersenyum samar. “Jadi kalau tidak diberi perhatian,mereka layu?”

“Begitulah. Tapi tanaman masih lebih jujur,” jawab kakek itu. “Kalau layu, itu murni karena kurang air atau cahaya.Manusia…”

Ia berhenti sambil menatap langit.

“…hatinya jauh lebih rumit.”

Jingga tidak membalas. Kata-kata itu seperti menyinggung sesuatu yang ia paham benar, namun ia tidak ingin membahasnya pagi itu.

Pekerjaan dilanjutkan dengan mencabut rumput liar. Jingga melakukan setiap tugas dengan teliti. Tangan dan bajunya kotor, tapi ia tidak mengeluh.Sebaliknya, ia merasa damai sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.

Ketika mereka sedang memindahkan bibit cabai, Jingga mendengar suara langkah kaki dari arah jalan setapak di sisi kebun. Suara ranting patah, diikuti bayangan seseorang berjalan di antara pepohonan.

Ia mengangkat kepala.

Arjuna, dengan kamera tergantung di leher dan tas kain di bahunya, muncul dari balik pohon jati besar. Ia tampak seperti orang yang sedang mencari sudut foto yang bagus, tapi begitu melihat Jingga, langkahnya berhenti.

"Jingga?” suaranya keluar spontan, terdengar kaget sekaligus senang.

Jingga berdiri perlahan. "Ka juna?”

Kakek Arga menoleh. “Kau kenal pemuda ini?”

Jingga mengangguk. “Kami bertemu waktu aku jalan-jalan kemarin.”

Arjuna maju beberapa langkah, menyunggingkan senyum sopan kepada Kakek Arga. “Pagi, Kek Arga. Saya sering lewat sini untuk foto-foto. Maaf kalau mengganggu.”

Kakek Arga menggeleng pelan. “Tidak mengganggu. Alam ini milik semua orang yang menghargainya.”

Arjuna tertawa kecil. “Betul itu.”

Ia lalu mengalihkan pandangan pada Jingga yang masih memegang bibit cabai dengan tangan kotor oleh tanah. Ada rasa kagum di mata Arjuna,pada pemandangan gadis dengan wajah polos, tangan penuh tanah, dan sinar pagi yang jatuh tepat di bahunya.

“Eh!” Arjuna tersadar. “Aku tidak sedang memotret kamu, tenang saja.”

Jingga mengangkat kening, sedikit geli. “Aku tidak bilang apa-apa.”

“Maaf… refleks aja klarifikasi,” kata Arjuna sambil menggaruk kepala sendiri.

Membuat Jingga geleng-geleng kecil,bahkan Kakek Arga ikut tersenyum kecil.

Arjuna melihat-lihat sekitar kebun. "Kakek butuh bantuan? Saya bisa bantu angkat tanah atau apa saja.”

"Fotografer tidak harus mengangkat tanah,” canda Kakek Arga.

“Tidak apa, Kek. Anggap saja pemanasan,” jawab Arjuna sambil tersenyum.

Melihat niat baik itu, Kakek Arga memberikan sekop kecil.

Arjuna langsung bekerja tanpa banyak bicara, membuat Jingga merasa kagum.Ternyata pemuda itu tidak hanya pandai memotret, tapi juga mau turun tangan.

“Biasanya kamu foto apa?” tanya Jingga pelan sambil memindahkan tanaman kecil.

"Alam, manusia, bangunan tua, apa pun yang punya cerita,” jawab Arjuna. “Kadang sesuatu yang terlihat biasa bisa jadi sangat indah kalau dilihat dari sudut yang tepat.”

Jingga terdiam sejenak.Ia tidak tahu kenapa kata-kata itu menusuk lembut dalam dirinya.Ada desiran aneh dalam hatinya.

"Maksudmu seperti tanaman-tanaman ini?” ia mencoba mengalihkan.

Arjuna menatapnya sekilas. “Seperti apa pun. Termasuk orang.”

Jingga menunduk, fokus pada bibit di tangannya.

Arjuna cepat-cepat menambahkan, "Maksudku, tiap orang itu punya cerita yang tidak kelihatan di permukaan. Foto hanya menangkap luar, tapi maknanya ada di baliknya.”

Penjelasan itu membuat Jingga merasa nyaman kembali.

Kakek Arga, yang sejak tadi memperhatikan mereka, hanya tersenyum kecil tanpa berkata apa-apa.

Setelah hampir satu jam bekerja, Kakek Arga mengajak mereka duduk di bangku kayu kecil di bawah pohon belakang rumah. Jingga menyiapkan air minum dan beberapa potong singkong rebus.

"Aku merasa seperti ikut kerja bakti,” ujar Arjuna sambil tertawa dan meneguk air.

“Kerja yang bagus itu menyehatkan,” balas Kakek Arga.

Mereka tertawa bersama.

Angin berhembus pelan, membawa aroma daun dan tanah basah. Jingga duduk diam, menikmati momen itu.Momen yang terasa seperti keluarga, meski tidak ada hubungan darah yang mengikat mereka.

Arjuna memandangi kebun itu “Kakek merawat tempat ini sendirian?”

“Sudah bertahun-tahun,” jawab Kakek Arga lembut. “Istriku yang dulu merawat bunga-bunga. Setelah beliau pergi, saya tidak punya alasan untuk berhenti.”

Jingga menatap kakek itu. “Kebun ini terasa hidup, Kek. Aku suka berada di sini.”

Kakek Arga tersenyum. “Kamu membuat tempat ini tambah hidup, Jingga.”

Ada kehangatan yang membuat Jingga ingin memeluk kata-kata itu.

Setelah mereka selesai beristirahat, Arjuna bangkit berdiri sambil membersihkan celananya dari tanah.

"Kakek, terima kasih untuk singkongnya. Jingga, terima kasih sudah mau kerja bareng,” katanya sambil tersenyum lebar.

Jingga mengangguk. “Sama-sama.”

“Aku mau lanjut cari tempat foto lagi.Kalau besok kalian kerja lagi, mungkin aku mampir sebentar… kalau tidak mengganggu.”

“Tidak mengganggu,” jawab Kakek Arga cepat.

Jingga menambahkan, “Kalau ka Juna lewat sini, boleh saja.”

Arjuna terlihat sedikit lega mendengarnya. Ia melambaikan tangan. “Sampai nanti, ya.”

Ia berjalan kembali menuju hutan kecil yang menjadi jalan pintasnya. Kamera di lehernya bergoyang ringan. Dan meskipun Jingga tidak mengakui secara langsung, ia merasa lebih ringan setelah berbicara dengan Arjuna.

°°°

Saat matahari mulai turun, Jingga dan Kakek Arga duduk di teras belakang rumah sambil menatap kebun yang mereka kerjakan sepanjang hari.

“Dia anak yang baik,” kata Kakek Arga tiba-tiba.

"Ka Arjuna?” Jingga bertanya.

Kakek Arga mengangguk. “Iya. Dia punya mata yang jeli, bukan hanya untuk foto, tapi untuk melihat orang.”

Jingga menatap tangan kakek tua itu.

“Aku senang bertemu dia,” katanya jujur. “Tapi aku masih belum tahu bagaimana harus bersikap pada orang baru.”

“Itu wajar, Jingga,” jawab Kakek Arga lembut. “Luka membuat orang berhati-hati. Tapi bertemu orang baik bisa membuat hati percaya lagi,perlahan-lahan.”

Jingga menunduk.

Matahari senja membuat bayangan pepohonan memanjang di tanah. Angin sore terasa hangat. Hari itu benar-benar hari yang penuh keheningan dan kehangatan.

“Kakek,” panggil Jingga lirih, “kalau aku tidak sengaja membuat orang lain dekat denganku apa itu salah?”

Kakek Arga tersenyum tipis. “Selama kamu menjaga dirimu dan tahu batasmu, tidak ada yang salah.”

Dan Jingga pun mengangguk, untuk pertama kali merasa bahwa mungkin kedatangannya di tempat ini bukan hanya pelarian, tapi awal dari sesuatu yang baru.

...🍀🍀🍀...

...🍃Langit Jingga Setelah Hujan🍃...

1
Danny Muliawati
hingga gmn dg kuliah nya yah
Puji Hastuti
Aq suka ceritanya kk 💪💪💪
𝐈𝐬𝐭𝐲
lanjut thor
𝐈𝐬𝐭𝐲
punya bapak kok bego bgt, gak percaya ma anak sendiri, suatu saat dia akan menyesal...
𝐈𝐬𝐭𝐲
baru baca bab awal udah bikin nyesek ma emosi thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!