Hidup Naura yang sudah menderita itu, semakin menderita setelah Jessica anak dari Bibinya yang tidak sengaja menjebak Naura dengan seorang pria yang dikenal sebagai seorang preman karena tubuhnya yang penuh dengan tato, berbadan kekar dan juga wajah dingin dan tegas yang begitu menakutkan bagi warga, Naura dan pria itu tertangkap basah berduaan di gubuk hingga mereka pun dinikahkan secara paksa.
Bagaimana kelanjutannya? siapakah pria tersebut? apakah pria itu memang seorang preman atau ada identitas lain dari pria itu? apakah pernikahan mereka bisa bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elaretaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ini Adalah Konsekuensi
Naura berusaha menenangkan perasaannya yang berkecamuk, hatinya mencelos mendengar ucapan Aiden. Namun, ia tahu Aiden tidak salah karena pernikahan mereka memang bukan atas dasar cinta dan Naura harus menerima kenyataan pahit yang mungkin akan datang di masa depan.
Mereka tiba di mobil mewah hitam milik Juragan Adit, Juragan Adit membukakan pintu untuk Naura, "Tidak usah Juragan, saya bisa buka sendiri," ucap Naura.
"Sudah tidak apa-apa, masuklah," ucap Juragan Adit.
Setelah itu, Naura masuk dan duduk di jok belakang, Aiden kemudian masuk dan duduk di sebelah Naura, keheningan yang berat menyelimuti kabin mobil.
"Aiden, Naura, kalian istirahatlah sebentar. Saya akan mengantar kalian pulang," ucap Juragan Adit.
"Apa tidak merepotkan Juragan," ucap Naura yang merasa tidak enak.
"Tidak, saya tidak merasa direpotkan," ucap Juragan Adit.
Sementara Naura berusaha tersenyum tipis, "Terima kasih, Juragan," jawab Naura pelan.
Di sepanjang perjalanan, tidak ada lagi percakapan di antara mereka bertiga, Juragan Adit fokus pada ponselnya dan supirnya fokus menyetir. Sesekali Juragan Adit melirik dari kaca spion ke belakang, mengamati kedua pengantin baru itu yang duduk berjauhan seolah ada sekat tak kasat mata di antara mereka, Aiden menatap keluar jendela dengan tatapan kosong, sementara Naura hanya menunduk, memainkan jemarinya yang saling bertaut.
'Kisah ini baru dimulai dan sudah terasa begitu menyakitkan,' batin Naura.
Naura memejamkan mata, berusaha menghapus bayangan masa depan yang terasa kelam, namun bayangan itu justru semakin nyata.
Tak lama setelah itu, mobil mewah tersebut sampai di rumah Naura. "Terima kasih Juragan," ucap Naura.
"Iya, sama-sama Naura," jawab Juragan Adit dengan tersenyum ramah pada Naura.
"Kamu masuk dulu, aku harus pergi dengan Juragan Adit," ucap Aiden.
"Iya, Mas," jawab Naura lalu Naura pun keluar dari mobil tersebut.
Setelah Naura keluar, mobil mewah itu pergi meninggalkan rumah Naura. Di dalam mobil, susana begitu hening dan mencekam, tatapan tajam Aiden seolah siap menerkam siapa saja yang ada didalam mobil.
"Maafkan saya Tuan, saya tidak tau kalau warga akan senekat itu sampai ingin mengusir Tuan dan Nyonya," ucap Juragan Adit.
"Mulai sekarang, jangan pernah senyum didepan Naura," ucap Aiden.
"Ba-baik, Tuan," jawab Juragan Adit gugup.
"Batalkan semua kerjasama perkebunan dengan warga," ucap Aiden.
"Tapi, Tuan... perkebunan Tuan adalah penyumbang pendapatan terbesar di daerah ini dan jika kerjasama dibatalkan bisa-bisa warga akan kesusahan dan Tuan juga akan rugi," ucap Juragan Adit.
"Saya gak peduli, mereka sudah mencari gara-gara dengan saya, maka mereka harus menderita," ucap Aiden.
Juragan Adit menelan ludah, wajahnya menunjukkan dilema. Ia tahu betul betapa pentingnya perkebunan itu bagi perekonomian warga desa, sekaligus betapa besarnya kerugian yang akan ditanggung Aiden. Namun, tatapan dingin dan rahang yang mengeras dari tuannya membuatnya tidak berani membantah lebih jauh.
"Baik, Tuan. Saya akan segera mengurus pembatalan semua kerja sama perkebunan dengan warga desa," jawab Juragan Adit dengan suara pelan dan penuh kehati-hatian.
Aiden menyeringai tipis, ekspresi puas karena rencananya untuk membalas dendam pada warga akan segera terlaksana. "Bagus dan pastikan mereka tahu, ini adalah konsekuensi dari kebodohan dan mulut besar mereka," ujar Aiden, nada suaranya dipenuhi kebencian.
Mobil terus melaju, membawa Juragan Adit dan Aiden menjauh dari desa. Keheningan kembali merayap, kali ini lebih berat dan mencekam, hanya dipecahkan oleh suara mesin mobil yang menderu halus, Aiden kembali menatap keluar jendela, tapi kali ini dengan senyum sinis.
'Mereka pikir mereka bisa seenaknya menghakimi dan mengusirku? Mereka akan menyesal telah memprovokasiku,' batin Aiden.
Mobil mewah tersebut sampai di vila milik Aiden, Aiden segera turun sari mobil dan masuk kedalam vila, di mana Fandy menunggunya disana.
"Tuan," sapa Fandy.
"Bagaimana?" tanya Aiden.
"Paman dari Nyonya saat ini tinggal di penginapan murah yang ada di pinggiran desa, mereka memang sudah merencanakan ini semua bahkan informasi yang saya dapatkan mereka menyewa beberapa orang untuk meyakinkan warga untuk mengusir Tuan dan Nyonya," ucap Fandy.
Ya, Aiden memang sudah menyuruh Fandy untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi, karena bagi Aiden semuanya terasa aneh saja dan ternyata benar, jika semuanya memang sudah terencana.
"Lalu apa rencana Tuan selanjutnya?" tanya Fandy.
"Buat mereka diusir dari penginapan mereka, biarkan mereka jdi gelandangan yang tidak punya tempat tinggal," ucap Aiden.
"Baik Tuan, akan saya laksanakan," ucap Fandy.
"Si tua bangka itu bagaimana?" tanya Aiden.
Setelah bertahun-tahun ia pergi dari rumah akhirnya pertanyaan tentang keluarganya keluar dari mulutnya. "Tuan Besar sudah tahu tentang pernikahan Tuan dan Nyonya, Tuan Besar sepertinya marah besar karena Tuan Besar ingin menjodohkan Tuan dengan salah satu putri Tuan Kayes," ucap Fandy.
"Setelah bertahun-tahun, aku pikir dia akan berubah, ternyata dia masih orang yang sama. Duku ketika aku memukai perusahaanku, tudak ada yang mendukungku bahkan mereka menghina usahaku, karena tidak mendapat dukungan aku pergi dan mereka tidak peduli. Sampai akhirnya aku berhasil seperti sekarang. si tua bangka iti malah ingin menjodohkanku," gumam Aiden yang merasa keluarganya begitu lucu.
.
Sementara itu, Naura melangkah masuk ke rumah dengan hati yang terasa remuk. Pintu ia tutup pelan, seolah takut mengganggu keheningan yang menyelimuti, ia bersandar di balik pintu, air mata yang sejak tadi ia tahan kini menetes membasahi pipi.
Bayangan kerumunan yang menuntut pengusirannya masih segar di ingatan, rasa takut, malu dan kepedihan itu seperti menghimpit dadanya. Dan tanpa permisi, kata-kata Aiden mengganggu pikirannya lagi, meskipun kata-kata itu jujur, namun kata-kata itu terasa seperti pisau tajam yang mengiris harapannya yang samar. Naura tahu, pernikahan ini adalah paksaan, tapi jauh di lubuk hatinya, Naura mulai menumbuhkan benih harapan yang bodoh. Kini, harapan itu layu sebelum sempat mekar.
Naura berjalan gontai ke kamar, ia duduk di tepi ranjang, merenungkan nasibnya. Naura menikah tanpa cinta, dihina dan sekarang ia harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya sendiri menyesali pernikahan ini.
'Aku tidak punya siapa-siapa lagi di sini. Ayah sama Ibu sudah tenang di surga dan sekarang aku punya suami, tapi aku tinggal menunggu diceraikan,' batin Naura.
Naura memejamkan mata, mencoba mencari kekuatan, ia harus kuat dan harus siap. Jika hari itu tiba, hari di mana Aiden menemukan wanita yang dicintainya dan memintanya pergi, Naura harus bisa berdiri sendiri.
Naura mengepalkan tangannya, ia tidak boleh terus larut dalam kesedihan, ia harus mencari cara untuk menopang dirinya sendiri.
"Aku harus mencari pekerjaan atau melakukan sesuatu, aku tidak bisa bergantung ke Mas Aiden selamanya, terutama saat dia tidak pernah menginginkanku," gumam Naura.
.
.
.
Bersambung.....