NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7 KEINGINAN MARGARET

Sore itu, langit tampak suram meski matahari masih menggantung rendah di ufuk barat. Cahaya kuning yang biasanya hangat terasa redup hari ini, seperti meniru suasana hati Esther yang sejak tadi gelisah. Setelah pulang kuliah, ia menatap layar ponselnya untuk kesekian kali—pesannya pada Ava belum dibalas. Tidak ada tanda biru, tidak ada balasan singkat. Hanya sunyi. Dengan perasaan tidak enak, ia memutuskan untuk langsung pergi ke rumah Ava.

Setibanya di kediaman keluarga Soren, Esther turun dari mobil dan melangkah masuk melewati halaman yang sepi. Hanya suara dedaunan yang bergetar diterpa angin sore.

Bi Amy menyambutnya di pintu. “Selamat sore, Nona Esther,” sapanya dengan ramah. Ia sudah mengenal gadis berambut pirang itu sejak lama—Esther adalah salah satu orang yang paling sering datang menemani Ava sekaligus adik dari calon suaminya yang sudah meninggal.

“Sore, Bi Amy,” balas Esther. “Kak Ava ada?”

“Ada. Nona Ava ada di ruang kerjanya sejak siang tadi.”

Esther mengangguk. “Kalau begitu Esther langsung ke sana, ya Bi.”

Rumah Ava memang tidak sebesar kediaman keluarga Alder, tapi ada kehangatan tenang di dalamnya. Rumah satu lantai dengan interior sederhana, hanya dihuni Ava, ayahnya, bi Amy, dan satu satpam penjaga. Meski begitu, sejak kecelakaan itu, rumah ini terasa berbeda—lebih sunyi, lebih rapuh.

Esther berjalan menyusuri lorong yang sudah ia hapal. Ava sering mengajaknya ke ruang kerja itu untuk menunjukkan desain-desain terbarunya, dan biasanya ruangan itu penuh tawa serta lembaran kertas yang berserakan.

Namun kini, ketika Esther berdiri di depan pintu, dadanya terasa berat.

Ia mengetuk pelan. “Kak Ava… ini Esther.” panggilnya.

Tidak ada jawaban.

Ia mencoba mengetuk lagi, sedikit lebih keras. Baru setelah beberapa detik, terdengar pergerakan di dalam ruangan, disusul pintu yang terbuka perlahan. Ava berdiri di sana.

“Kak Ava apa kabar?” tanya Esther sambil tersenyum kecil.

Ava memaksakan senyum tipis. “Aku baik,” jawabnya.

Namun Esther langsung tahu itu bohong. Senyum itu tampak rapuh—seperti sesuatu yang dipaksakan hanya agar terlihat normal. Matanya merah dan bengkak, jelas sekali bekas air mata yang baru saja mengering. Wajahnya pucat, seolah tubuhnya tidak mendapatkan cukup istirahat atau nutrisi dalam beberapa hari terakhir.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Esther langsung memeluknya erat. Tubuh Ava terasa ringan, seperti beban besar telah menguras energinya.

“Kak Ava jangan begini,” bisik Esther, suaranya bergetar. “Kak Martin tidak akan senang melihat kakak seperti ini…”

Kata-kata itu seolah menusuk sesuatu yang rapuh di dalam diri Ava. Air matanya kembali jatuh, mengalir membasahi bahu Esther.

“Aku tidak apa-apa, Esther…” ucap Ava di sela isaknya. Suaranya pecah, hampir tidak terdengar.

Esther menggeleng, pelukannya semakin erat. “Jangan bohong, Kak,” jawab Esther, kali ini air matanya sendiri jatuh. “Aku juga sedih kehilangan kak Martin… tapi papa bilang, menangis tidak akan membuatnya kembali hidup.”

Ucapan itu menghantam dada Ava seperti gelombang. Esther—gadis yang belum pernah merasakan kehilangan sebesar ini—justru berdiri di hadapannya dengan begitu kuat, begitu tegar. Sementara dirinya? Ia hanya menangis, tenggelam dalam duka yang sejak malam itu tidak pernah berhenti mencengkeram.

Ava meremas punggung Esther, tubuhnya bergetar halus. “Maafkan aku… Esther. Aku tidak seharusnya seperti ini…”

Esther melepaskan pelukannya perlahan, lalu mengangkat tangan untuk menghapus air mata Ava dengan ibu jarinya. “Kak Ava yang kak Martin suka bukan yang ini,” ucapnya lembut, penuh ketulusan. “Tapi yang ceria… yang bahagia… yang selalu membuat semua orang ikut tersenyum.”

Ava menunduk, bibirnya bergetar. Meskipun berat, ia mencoba bernapas lebih tenang.

“Jangan bersedih lagi, ya kak…” lanjut Esther, suaranya lirih namun tegas—seperti seseorang yang mencoba meminjamkan kekuatan yang ia punya.

Ava mengangguk. Sore itu, di ruangan kecil yang dipenuhi keheningan dan air mata, Esther menjadi satu-satunya cahaya yang mencoba menyinari duka Ava yang begitu pekat.

Kemudian ia menggandeng Esther menuju ruang tamu. Sofa besar di ruang itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Di meja, lilin aromaterapi yang biasa Ava nyalakan masih padam—pertanda ia bahkan tidak sempat merawat kebiasaannya sendiri belakangan ini.

Tak lama, pintu masuk kembali terbuka disertai langkah cepat namun ringan. Bella muncul dengan dua bungkus coffee di tangannya. Meski wajahnya tampak letih akibat pekerjaan, gaya jalannya tetap penuh energi.

Namun langkah itu berhenti begitu ia melihat Ava duduk di sofa bersama seorang gadis berambut kuning.

“Bella…” ucap Ava sambil tersenyum tipis. Senyum itu kecil, tapi bagi Bella, itu lebih dari cukup setelah beberapa hari tidak melihatnya sama sekali.

“Kemarilah,” panggil Ava, menepuk sofa di sebelahnya. “Esther, ini Bella, teman terbaikku.”

“Oh, jadi ini Esther adiknya Martin?” tanya Bella sambil mengulurkan tangan.

Esther menjabat tangannya sambil tersenyum malu. “Iya, Kak.”

Karena Bella sudah datang, Esther berdiri sambil merapikan tasnya. “Kalau begitu, Esther pamit pulang ya.”

“Kenapa buru-buru? Kita nikmati coffee-nya dulu,” ajak Bella.

“Mungkin lain kali, Kak. Mama pasti khawatir kalau Esther belum pulang,” jawabnya sopan.

“Baiklah, hati-hati di jalan ya, Esther,” kata Ava sambil memeluknya.

“Siap!” Esther memberi salam singkat dengan pose tegap khasnya. “Kalau begitu Esther pamit ya, kak Ava, kak Bella. Byee!”

“Bye,” jawab mereka bersamaan.

...----------------...

Malam kembali turun di kediaman Alder, membawa kesunyian yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Lampu-lampu koridor sudah diredupkan, dan seluruh rumah tenggelam dalam keheningan yang tenang. Dari luar, hanya terdengar suara angin yang menggesek dedaunan di halaman, sementara jam dinding di ruang tamu berdetak lembut, mengisi kekosongan yang menggantung di udara.

Di kamar utama, Agam baru saja keluar dari kamar mandi. Aroma sabun hangat masih menempel di kulitnya saat ia menaiki tempat tidur dan berbaring di samping istrinya. Margaret sudah berada di sana sejak beberapa menit lalu, namun wajahnya jauh dari ekspresi tenang yang biasanya ia miliki setiap malam.

Agam memperhatikan perubahan itu. Wajah istrinya tampak gelisah; alisnya menurun, tatapannya menerawang ke arah langit-langit seolah pikirannya berada di tempat yang jauh. Selimut yang menutupi tubuhnya bahkan digenggam sedikit terlalu erat.

“Kenapa dengan dirimu?” tanya Agam pelan, memecah kesunyian kamar.

Margaret menoleh. Matanya sedikit berkaca, bukan karena menangis, tetapi karena terlalu banyak hal menumpuk dalam pikirannya. “Aku khawatir dengan Ava,” ucapnya lirih.

Agam menghela napas pendek. “Kenapa? Esther bilang kondisi Ava lebih baik setelah dia berkunjung tadi.” Ia mendekat dan menyentuh pipi istrinya dengan lembut, mencoba menenangkan.

Margaret menggeleng, kemudian meraih tangan suaminya dan menggenggamnya erat. “Bukan itu maksudku,” katanya, suaranya hampir seperti bisikan. “Aku takut dia dimiliki keluarga lain.”

Alis Agam mengernyit. “Apa maksudmu?”

Margaret menatap suaminya dengan ekspresi serius yang jarang muncul. “Aku tidak mau Ava jadi menantu orang lain, Agam.” Tangannya mengusap punggung tangan Agam perlahan. “Aku sangat menyukainya… aku menyayanginya seperti anak sendiri. Aku tidak rela jika suatu hari dia menjadi milik keluarga lain.”

Kamar kembali hening. Hanya suara AC yang berhembus pelan memenuhi ruang di antara mereka.

Agam menarik napas panjang. “Aku juga menyukainya, karena dia wanita yang baik,” katanya jujur. “Tapi kau tidak bisa egois begini, Margaret.” Nada suaranya lembut, tapi tegas. “Lagipula… tidak mungkin dia menjadi milik kita selamanya.”

Perkataan itu membuat Margaret terdiam. Tatapannya jatuh pada selimut di pangkuannya. Ada ketakutan yang tidak ia ucapkan: takut kehilangan Ava, takut rumah itu kembali terasa hampa seperti sebelum Ava datang menjadi bagian kecil dalam hidup mereka.

Setelah beberapa detik sunyi, Margaret kembali bersuara. “Bagaimana kalau kita jodohkan Ava dan Arash?”

Perkataan itu membuat Agam spontan bangkit sedikit dari posisi tidurnya. “Kau gila?” nada suaranya naik satu tingkat, bukan marah, tapi terkejut.

“Kau tahu Arash itu sulit diatur,” lanjutnya dengan nada lebih rendah namun tetap keras. “Apalagi soal pernikahan. Dia pasti akan menolaknya.”

Margaret tidak mundur. Ia menatap suaminya dengan tatapan penuh keyakinan, sesuatu yang muncul hanya ketika ia benar-benar menginginkan sesuatu. “Kita belum mencobanya,” ujarnya mantap. “Aku akan bicara padanya besok.”

Agam memejamkan mata sejenak, mengurut pelipis. Ia tahu istrinya—sekali ia menetapkan hati, akan sulit menghentikannya. Dan malam itu, dalam sunyi kamar Alder, keputusan Margaret menggantung di udara seperti awal dari sesuatu yang tidak bisa dihentikan lagi.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!