Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3
"Penghuni Hutan?" ulang Ratih, ngeri. "Maksudmu... yang bernyanyi itu?"
Tuk Guru mengangguk. "Itu adalah suara 'Penjaga Kabut'. Dia adalah entitas purba yang terikat dengan hutan ini. Dia tidak pernah mati, hanya tertidur. Dan setiap kali segel melemah, dia bangun, mencari 'kunci' untuk membebaskan dirinya sepenuhnya dan mengklaim kembali apa yang dia anggap miliknya."
"Jadi Nenekku adalah kuncinya?" tanya Ratih.
"Bukan Nenekmu sendiri," jawab Tuk Guru. "Melainkan darah keturunannya. Darah yang mengalir di nadimu, Ratih."
Ratih terkesiap. Ia menatap telapak tangannya sendiri, tidak percaya.
"Nenekmu tahu ini," lanjut Tuk Guru. "Itulah mengapa dia pergi. Dia tidak ingin kau menjadi umpan. Dia pergi untuk mencari cara lain, cara untuk memperbarui segel, tanpa mengorbankan siapapun."
"Tapi bagaimana?" tanya Ratih, bingung. "Dan kenapa kami di sini, kalau begitu?"
"Kalian di sini karena takdir, Ratih," kata Tuk Guru, matanya menatap tajam ke arah Ratih. "Nenekmu meninggalkan petunjuk dalam suratnya, bukan? Petunjuk yang membimbingmu ke hutan ini, ke desa ini. Dia ingin kau menemukan jawabannya sendiri, menemukan kekuatan yang ada dalam dirimu."
"Kekuatan apa?"
"Kekuatan untuk menenun kembali segel itu. Para leluhurmu tidak hanya menyegel 'Penjaga Kabut', mereka juga menanamkan sebagian kekuatan mereka pada keturunan mereka. Dan kau, Ratih, kau adalah pewaris terakhir dari garis keturunan itu."
Ratih merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini terlalu banyak informasi untuk dicerna dalam satu malam. Kekuatan? Segel? Penjaga Kabut? Ini semua terdengar seperti dongeng.
Tuk Guru mencondongkan tubuhnya, wajahnya yang penuh kerutan kini hanya berjarak beberapa inci dari Ratih. Mata tuanya memancarkan cahaya yang aneh di dalam gubuk yang remang-remang.
"Bukan dongeng, Nak," bisik Tuk Guru, seolah ia bisa membaca pikiran Ratih. "Ini adalah kebenaran yang tersembunyi oleh waktu dan kabut. Kekuatan itu ada dalam dirimu, seperti benang tipis yang terjalin di setiap urat nadimu. Nenekmu tidak menghilang tanpa jejak. Dia meninggalkanmu alat untuk membangunkan kekuatan itu."
Ratih merasakan getaran merambat di sekujur tubuhnya. "Alat? Apa itu?"
Tuk Guru tidak segera menjawab. Ia meraih tongkat ukirannya, mengetukkannya tiga kali ke lantai. Di bawah ketukan ketiga, lantai papan di bawah tikar bergeser dengan bunyi berderak, memperlihatkan sebuah kotak kayu kecil yang sudah usang dan dihiasi dengan ukiran yang rumit.
"Ini adalah warisan keluargamu," jelas Tuk Guru. "Kotak dari Pohon Pengetahuan. Leluhurmu menggunakannya untuk menyimpan cetak biru segel itu, dan... alat untuk mengaktifkannya."
Jaya yang sedari tadi hanya diam, kini mencondongkan badan. "Tuk Guru, kita tidak punya banyak waktu. Jika Ratih benar-benar bisa menenun kembali segelnya, kita harus segera tahu caranya."
"Kesabaran, Jaya," balas Tuk Guru. Ia mengangkat kotak itu dengan hati-hati dan meletakkannya di antara Ratih dan dirinya. "Kotak ini hanya bisa dibuka oleh darah keturunan. Sentuhlah, Ratih."
Dengan tangan gemetar, Ratih meletakkan ujung jarinya pada permukaan kotak kayu. Begitu kulitnya menyentuh kayu, ukiran di kotak itu tiba-tiba memancarkan cahaya biru samar. Kuncinya, yang terbuat dari logam gelap, berputar dengan sendirinya, dan penutup kotak itu terangkat perlahan, seolah ditarik oleh kekuatan tak terlihat.
Di dalamnya, terbaring dua benda:
Sebuah gulungan perkamen tua yang diikat dengan benang emas.
Sebuah liontin perak berbentuk daun dengan permata kecil berwarna merah tua di tengahnya.
"Perkamen itu berisi semua yang perlu kau ketahui tentang Segel Enam Bintang, termasuk mantra penenunan kembali," kata Tuk Guru. "Dan liontin itu, itu adalah Fokus Kekuatan. Kenakanlah."
Ratih mengambil liontin itu. Begitu permata merah menyentuh kulitnya, gelombang energi dingin namun menenangkan menyapu dirinya. Rasanya seperti sepasang mata baru terbuka di dalam jiwanya.
"Sekarang, baca mantra itu," desak Tuk Guru. "Waktu kita habis. 'Penjaga Kabut' tahu kalian ada di sini. Dia hanya menunggu fajar untuk menyerbu desa ini."
Ratih membuka gulungan perkamen dengan hati-hati. Tulisan di dalamnya bukan dalam bahasa yang ia kenali, melainkan sebuah aksara kuno yang entah bagaimana, terasa familiar di matanya. Ia mulai membaca, suaranya pelan dan tidak yakin pada awalnya, namun perlahan semakin tegas dan berwibawa.
Seiring Ratih membaca, cahaya di liontin daunnya semakin terang. Di luar gubuk, hutan tiba-tiba menjadi sangat sunyi, seolah semua makhluk hidup menahan napas. Bahkan api di perapian tampak mengecil.
Jaya maju, berdiri di depan pintu gubuk, parang pendeknya sudah ditarik dan dipegang erat-erat. Wajahnya tegang, matanya menatap ke dalam kegelapan.
"Mereka datang," bisik Jaya, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku bisa mencium aroma kabutnya."
Tuk Guru mencondongkan tubuhnya ke Ratih, mendesaknya. "Cepat, Nak! Kau harus menyelesaikan baris terakhir sebelum mereka tiba!"
Ratih hampir mencapai akhir mantra. Suaranya kini bergetar, bukan karena takut, melainkan karena getaran energi yang ia keluarkan. Cahaya dari liontin itu menyelimuti seluruh gubuk, menciptakan perisai cahaya yang berdenyut-denyut.
BUM!
Sebuah hantaman keras mengguncang gubuk, disusul suara robekan dan jeritan yang mengerikan. Pintu kayu reyot itu terlepas dari engselnya, terpental ke dalam gubuk.
Di ambang pintu, berdirilah sesosok bayangan yang sangat besar, diselimuti oleh kabut hitam pekat. Sosok itu bukan mayat hidup, melainkan sesuatu yang jauh lebih tua dan kejam. Mata yang bersinar merah menatap lurus ke arah Ratih.
"Keturunan Tumbal Terakhir... Kau pikir bisa menghentikanku lagi?" raung 'Penjaga Kabut'. Suaranya seperti guntur yang bercampur dengan lolongan sedih, membuat gendang telinga Ratih sakit.
Jaya melompat maju, parangnya berkilat di bawah cahaya liontin, mencoba menghalangi jalan masuk. Tapi 'Penjaga Kabut' mengayunkan tangannya, dan Jaya terlempar ke dinding dengan kekuatan brutal, menjerit kesakitan.
Ratih menyadari bahwa ia tidak bisa lagi menyembunyikan diri. Ia harus bertindak.
Ia mencapai baris terakhir, dan seluruh energinya mengalir ke liontin. Cahaya merah dari permata itu meledak, menyelimuti tubuh Ratih, dan dia mengangkat perkamen itu tinggi-tinggi.
"Dengan Darah Para Penjaga, Aku Perintahkan: Segel Kembali!" teriak Ratih, suaranya kini terdengar menggema dan memiliki otoritas purba.
Tiba-tiba, dari tanah di sekitar gubuk, tujuh pilar cahaya biru menjulang, membentuk sebuah lingkaran. Pilar-pilar itu bertemu di atas Ratih, menciptakan atap energi yang berputar kencang. 'Penjaga Kabut' menjerit kesakitan saat cahaya itu menyentuhnya.
"Kau tidak akan berhasil!" raungnya, mendorong dirinya melalui penghalang cahaya, matanya terfokus pada Ratih yang kini bersinar terang.
Tuk Guru meraih tongkatnya, mencoba bangkit, tapi terlambat. 'Penjaga Kabut' sudah berada di hadapan Ratih, tangan berkabutnya terulur untuk merobek liontin di lehernya.
Ratih menutup matanya, menguatkan dirinya. Ia merasakan tarikan dingin di lehernya, tapi pada saat yang sama, ia merasakan sesuatu yang lain—kekuatan yang tak terduga mengalir dari dalam dirinya.