Hati Nadia pecah berkeping-keping mendengar Asri, sang ibu mertua menyuruh Arkan untuk menikah lagi didepan matanya.
"Kamu kan, juga butuh penerus untuk usahamu. Kalau Bilqis kan, beda. tetap saja bukan darah dagingmu, keponakanmu ya selamanya begitu."
Percakapan di meja makan tiga minggu lalu itu masih jelas terpatri di benak Nadia.
Meski sang suami selalu membela dengan berkata bahwa pernikahan itu bukan tentang ada dan tidaknya keturunan didalamnya, melainkan tentang komitmen dua orang untuk selalu bersama dalam suka dan duka.
Hingga suatu malam Nadia menemukan sesuatu di dalam telepon genggam Arkan. Sesuatu yang membuat dunia Nadia runtuh seketika.
Apa yang Nadia temukan? Lalu bagaimana Nadia menyikapinya?
Lalu bagaimana dengan Dio, yang muncul tiba-tiba dengan segudang rahasia gelap dari masa lalu nya? Mungkinkah mereka saling menabur racun diatas hama? Atau justru saling jatuh cinta?
Ikuti kisah mereka, dalam Kau Berikan Madu, Maka Ku Berikan Racun. 🔥🔥🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jee Ulya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seberapa kuat mereka?
"Sayang sini ini masakan Mama enak bangeet," Asri memenuhi piring gadis cantik seumuran Ayu yang ada dihadapannya.
"Terimakasih banyak, Tante," senyum Alisha tampak canggung, seakan dipaksakan.
"Alisha gimana, kuliahnya? Semester lima ya?" Asri mencoba terdengar ramah, tapi nada sok ramahnya ketara dibuat-buat.
"Saya masih semester dua, Tante," Gadis cantik bak model yang dipanggil Alisha itu tampak tertekan.
Alisha mungkin gadis ke enam atau ke delapan yang pernah Asri bawa pulang dan perkenalkan ke rumah. Sejak percakapan tiga minggu lalu di meja itu. Bukan apa-apa hanya karena Arkan enggan menemui mereka diluar. Lebih tepatnya menolak sama sekali.
"Berarti..."
"Iya tante, saya baru 19 tahun ini," sambungnya.
"Wah bagus, dong. Masih kuat-kuatnya kalau gitu. Cocok ini kalau dijadiin mantu. Biar bisa segera punya cucu," lanjut Asri seolah-olah sedang membicarakan benda, bukan manusia.
Dahi mulus Alisha berkerut. Ia tidak paham apa yang sedang teman mamanya itu bicarakan. Yang ia tahu hanyalah diundang makan siang di kediaman Wicaksana.
"Assalamualaikum, kami pulang," suara riang dari arah depan mengagetkan Asri.
Nadia dan Bilqis memasuki ruangan besar itu semakin kedalam sampai menuju ruang makan. Ruang dimana Ibu Mertuanya dan Alisha, calon madunya duduk. Menghadirkan ketegangan yang hampir bisa dirasakan memenuhi ruangan.
"Maaf, maksudnya mantu..." Alisha mencoba memperbaiki kata-katanya namun terhenti.
"Bilqis masuk kamar dulu ya," potong Nadia pada putrinya. Lalu menatap Alisha dengan mata yang tajam dan penuh amarah.
"Bukankah Tante cuma punya satu anak laki-laki, ya?..." Alisha mengambil nafas panjang, "Dia Pak Arkan dan..." sambung Alisha menoleh pada perempuan bergamis bordir di seberang meja.
"Ya, mba. Saya Nadia istri Mas Arkan," jawab Nadia singkat dan dingin. Nadia benar-benar sudah muak dengan semua ini.
Hatinya mencelos. Ia merasa martabatnya sedang dikuliti di depan umum tanpa bisa melakukan apa-apa. Setiap gerakan apapun disana seolah turut mengejek kelemahan nya.
Alisha menangkup dengan gemetar uluran tangan Nadia. "Ah, maaf Mba. Saya tidak bermaksud untuk..."
"Gapapa, mba. Sudah biasa," nada sinis Nadia tepat tertuju pada Asri yang masih tanpa rasa bersalah.
"Tante Asri! Selama ini saya menghormati Tante karena paksaan Mama, katanya keluarga Wicaksana sudah banyak membantu keluarga kami. Tapi kali ini mohon maaf. Ini terakhir kalinya saya menginjakkan kaki dirumah ini..." suara Alisha bergetar penuh amarah, "Tante Asri telah mencabik kehormatan saya, terutama kepercayaan keluarga saya.Tante Asri... Gila!!!" tepat pada kata terakhirnya Alisha membanting vas kaca bening dihadapannya.
Asri terkejut. Pecahan kaca itu hampir menodai opor yang ada di piringnya. Ia berkedip cepat seolah menepis kenyataan di hadapannya.
Seringai miris muncul di wajah Nadia, ia menahan nafas, sejenak memejamkan mata lalu berbalik menaiki tangga. Bersiap menumpahkan air mata diatas bantal putihnya. Sementara ketegangan di ruang makan masih terasa sepeninggal Alisha.
Seharian Nadia mengurung diri hanya ditemani detik dari jam dinding disamping nakas, ia enggan beranjak, perubahan hormon saat menstruasi mulai menguasainya.
Arkan memasuki kamar tempat Nadia terlelap, namun ia tahu jika istrinya itu baru saja menangis lama. Sesenggukannya masih tersisa diantara nafas panjang dalam tidurnya.
"Maafkan, Aku ya..." Arkan mengelus lembut rambut Nadia, "belum bisa ngelindungin kamu, berat ya?"
Nadia menggeliat, "Mas..." matanya tidak terbuka, "kamu mau nikah lagi?" Nadia tidak kuat menahannya lagi, ia kembali berlinangan air mata.
"Apa maksudmu, kita sudah sepakat untuk terus bersama seperti ini. Kemarin kita juga sudah menotariskan perjanjian kita," suara Arkan menegas, tanda bahwa dia tidak suka pembahasan ini.
Kemarin sejak percakapan di meja makan malam itu, hari-hari dalam rumah tangga mereka hampir selalu dipenuhi ketegangan. Apalagi Asri yang terus mebahas perempuan-perempuan muda yang dibawanya pulang.
Benar, Asri tidak sembarangan memilih gadis yang akan dijodohkan dengan anaknya itu, tetapi bagi Arkan hidup berdua dengan istrinya saja sudah cukup.
"Oh, apa jangan-jangan kamu mau harta 70% itu? Harta bagianmu?" Arkan mulai tersulut emosi. Ia juga jenuh menghadapi perilaku Mama dan Istrinya yang tidak pernah akur.
"Jangan gila, kamu mas!" Nadia mendelikkan mata tajam ke arah suaminya yang belum berganti dari pakaian kerja itu, "sedikitpun aku tak terbesit akan hartamu itu," Nadia berapi-api.
Hilang sudah rasa kantuk yang barusan menderanya. Ia tidak menyangka suami yang begitu ia banggakan, bisa berpikiran sepicik itu.
"Lalu apa? Nyatanya kau menyuruhku mendua, agar kau bisa menang dariku dan mengambil bagian asetmu, tujuanmu apa kalau bukan harta?!"
"Okey! Ayo kita bagi sama rata, kamu cuma butuh menikah dan punya anak dari perempuan lain itu kan?" mata Nadia memerah, "Ayo nikahi perempuan yang aku pilihkan, setubuhi dia lalu buat Mamamu bangga dengan anak yang kau lahirkan!" tangan Nadia bergetar menunjuk ke arah pintu.
Arkan meremas rambutnya frustasi, giginya mengatup rapat menahan perkataan yang ia tahu akan semakin melukai perasaan Nadia.
"Ayo! Nikahi perempuan pilihanku. Jangan anak kecil yang Mama tawarkan. Tidak bermoral!" pekik Nadia menahan gemuruh di dadanya.
Arkan memilih pergi meninggalkan kamar penuh aura kemarahan itu menuju carport, Range Rover putihnya terdengar menjauh dari gerbang depan.
Yang tersisa hanya ruang kosong. Nadia terisak, betapa tidak kuatnya ia menghadapi semua ini sendiri. Dinginnya AC kamar tak cukup mampu meredam hawa penghuninya.
Sementara itu di meja bar yang remang Arkan meneguk scotch entah ia sudah meminta rock glass yang keberapa. Rasanya yang sedikit pahit namun anehnya menenangkannya. Aroma parfum mahal, asap rokok serta alkohol membuat ia lupa sejenak permasalahan hidupnya.
"Aku cuma lelaah..." gumamnya entah pada siapa.
Lampu bar menyorot wajah Arkan lembut, es kristal dalam gelasnya memantulkan warna keemasan, satu-satunya yang hidup malam itu.
Seseorang berpakaian minim yang sedari tadi mengamati disampingnya. Perempuan dengan wangi yang familiar itu kini mulai berani memeluk Arkan yang mulai tidak berdaya itu. Menidurkannya di pahanya.
"Gapapa, sayang. Namanya juga manusia, lelah itu wajar," ucap perempuan itu memvalidasi perasaan Arkan.
Dielusnya rambut yang masih berpomade wangi itu, menambah nyaman Arkan yang mulai terlelap damai.
jangnlah dulu di matiin itu si ayunya Thor..Lom terkuak Lo itu kebusukan dia ..biar tmbh kejang2 itu si asri sama Arkan kalo tau belang ayu..
dengan itu sudah membuktikan..kalo ternyata ayu bukan hamil anak arkah..hahahahahahahaha..sakno Kowe..