Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: BAYANG-BAYANG YANG MENGINTAI**
# **
Kiara berdiri di balik pilar basement parkir kantor, menatap dengan rahang mengeras dan tangan mengepal erat.
Di depannya—sekitar 20 meter—Nathan sedang membuka pintu mobil untuk Alara. Tangan Nathan menyentuh punggung Alara dengan lembut, menuntunnya masuk. Lalu Nathan membungkuk sedikit, membisikkan sesuatu yang membuat Alara tertawa—tawa yang terdengar sampai ke tempat Kiara berdiri.
Tawa yang membuat dadanya terasa seperti diremas.
Nathan menutup pintu, berjalan ke sisi pengemudi, dan sebelum masuk—ia berhenti. Menatap Alara lewat kaca mobil dengan senyum kecil yang... lembut. Senyum yang dulu—lima tahun lalu—hanya untuk Kiara.
Tapi sekarang untuk wanita lain.
Untuk Alara.
Mobil Nathan keluar dari basement. Kiara masih berdiri di sana—membeku dengan emosi yang bergejolak hebat di dadanya.
*Dia tersenyum. Nathan tersenyum seperti itu... untuk dia.*
Kiara menutup mata—mencoba menenangkan napas yang memburu. Tapi tidak bisa. Amarah, kecemburuan, dan sesuatu yang lebih gelap menggerogoti dadanya.
Lima tahun. Lima tahun ia tinggalkan Nathan karena dipaksa keluarganya—karena ayahnya mengancam akan menghancurkan bisnis Erlangga Corp kalau Kiara tidak pergi ke luar negeri untuk menikah dengan anak kolega bisnis mereka. Lima tahun ia hidup dalam pernikahan tanpa cinta, bertahan sampai akhirnya suaminya meninggal dalam kecelakaan.
Dan ia kembali—kembali untuk Nathan. Kembali dengan harapan bahwa Nathan masih menunggu. Masih mencintai.
Tapi yang ia temukan? Nathan sudah menikah. Dengan wanita yang... biasa saja. Wanita yang tidak punya apa-apa selain perusahaan bangkrut.
Awalnya Kiara tidak khawatir—karena ia tahu itu pernikahan kontrak. Tidak ada cinta. Hanya bisnis.
Tapi sekarang... sekarang semuanya berubah.
Nathan berubah.
Nathan yang dulu tidak pernah tersenyum setelah Kiara pergi, sekarang tersenyum untuk Alara. Nathan yang dulu dingin pada semua wanita, sekarang lembut pada Alara. Nathan yang dulu hanya fokus kerja, sekarang pulang lebih awal untuk Alara.
*Dia bisa berubah. Tapi bukan untukku. Bukan untuk wanita yang dia cintai dulu. Tapi untuk... untuk dia.*
Kiara membuka mata—dan di matanya, ada sesuatu yang gelap. Sesuatu yang berbahaya.
Ia mengeluarkan ponselnya, mengetik pesan untuk nomor yang belum ia hubungi sejak seminggu lalu.
**Kiara:** *Aku butuh bertemu. Sekarang. Tempat biasa.*
Kirim.
Balasan datang cepat.
**???:** *30 menit. Aku di sana.*
Kiara menatap layar ponselnya dengan tatapan dingin. Lalu ia berbalik, berjalan ke mobilnya dengan langkah yang tegas—langkah yang penuh tekad.
*Maafkan aku, Alara. Tapi Nathan itu milikku. Selalu milikku. Dan aku akan ambil dia kembali. Dengan cara apa pun.*
---
**CAFÉ TERSEMBUNYI DI DAERAH KEMANG**
Kiara duduk di meja pojok—café yang sepi, tidak banyak orang, tempat yang sempurna untuk pembicaraan yang... sensitif.
Ia menyeruput latte-nya sambil menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya berputar—merencanakan, menghitung, mencari celah.
Sepuluh menit kemudian, pintu café terbuka. Seorang pria masuk—tinggi, berjas rapi, wajah tampan dengan senyum menawan yang menipu. Namanya Dimas—teman lama Kiara dari luar negeri. Pria yang... berbahaya dalam cara yang halus.
Dimas duduk di hadapan Kiara dengan senyum lebar. "Kiara sayang, lama tidak ketemu. Kau makin cantik."
Kiara tidak tersenyum. "Aku tidak punya waktu untuk basa-basi, Dimas. Aku butuh bantuanmu."
Senyum Dimas memudar—digantikan ekspresi serius. "Tentang Nathan Erlangga?"
"Ya."
Dimas bersandar di kursi, jemarinya mengetuk-ketuk meja. "Kau masih cinta sama dia?"
"Sangat."
"Dan dia sudah menikah dengan... siapa namanya? Alara?"
"Ya. Tapi itu pernikahan kontrak. Seharusnya tidak ada perasaan. Seharusnya hanya bisnis." Kiara mengepalkan tangannya di atas meja. "Tapi sekarang... sekarang dia mulai jatuh cinta sama wanita itu."
Dimas menatap Kiara dengan tatapan yang sulit dibaca. "Dan kau mau aku lakukan apa?"
Kiara mengangkat wajah—tatapannya tajam, dingin. "Aku mau kau hancurkan Alara."
Hening sejenak.
"Hancurkan?" Dimas mengangkat alis. "Secara harfiah atau...?"
"Tidak." Kiara menggeleng cepat. "Aku bukan monster. Aku tidak mau dia mati atau terluka fisik. Aku cuma mau... cuma mau Nathan lihat sisi buruk Alara. Mau Nathan kecewa sama dia. Mau Nathan sadar kalau Alara bukan wanita yang tepat."
Dimas tertawa kecil—tawa yang sinis. "Kau mau aku buat Nathan cemburu?"
"Bukan hanya cemburu." Kiara menatapnya dengan tatapan yang sangat serius. "Aku mau Nathan patah hati. Aku mau dia merasakan apa yang aku rasakan waktu aku terpaksa tinggalkan dia. Aku mau dia sadar kalau... kalau aku adalah satu-satunya yang benar-benar mencintainya."
Dimas terdiam—menatap Kiara dengan tatapan yang penuh perhitungan. "Kau mau aku dekatin Alara? Buat dia terlihat seolah selingkuh?"
"Ya." Jawaban yang tegas tanpa ragu.
"Dan kalau Alara tidak mau? Dia terlihat sangat mencintai Nathan."
"Maka buatlah situasi yang terlihat seperti dia mau." Kiara meneguk latte-nya—tangannya gemetar sedikit tapi suaranya tetap tegas. "Foto, video, apa pun. Yang penting Nathan percaya kalau Alara mengkhianatinya."
Dimas bersandar lagi, menatap Kiara dengan tatapan yang... prihatin. "Kiara... kau yakin mau lakukan ini? Ini kejam. Ini akan menghancurkan hidup orang."
"Aku tahu." Kiara menunduk, air matanya mulai berkumpul di sudut mata. "Aku tahu ini kejam. Aku tahu aku akan jadi orang jahat. Tapi aku... aku tidak punya pilihan lain."
Suaranya bergetar—antara tekad dan rasa bersalah.
"Lima tahun aku menunggu. Lima tahun aku hidup dalam pernikahan tanpa cinta sambil terus mikirin Nathan. Dan sekarang—sekarang waktu aku akhirnya bebas, waktu aku akhirnya bisa kembali padanya—dia sudah punya orang lain."
Air matanya jatuh—air mata yang tulus, yang penuh luka.
"Aku cinta dia, Dimas. Sangat cinta. Sampai aku... sampai aku rela jadi orang jahat untuk dapetin dia kembali."
Dimas menatap Kiara lama—ada simpati di sana, tapi juga... sesuatu yang gelap. Karena Dimas bukan orang baik. Dimas adalah orang yang hidup dari memanipulasi, dari menghancurkan.
"Baik," katanya akhirnya. "Aku bantu. Tapi kau harus bayar."
"Berapa pun. Aku bayar."
"Bukan soal uang." Dimas tersenyum—senyum yang berbahaya. "Kalau nanti Nathan kembali padamu... aku mau satu hal."
"Apa?"
"Aku mau kau ingat—kau dapat dia dengan cara yang salah. Dan suatu hari, dia akan tahu. Dan waktu itu tiba..." Dimas berhenti, menatap Kiara dengan tatapan tajam. "...kau akan kehilangan dia untuk selamanya."
Kata-kata itu menohok. Tapi Kiara sudah terlalu jauh untuk mundur.
"Aku terima risikonya," bisiknya.
Dimas mengangguk. "Baik. Kapan aku mulai?"
"Secepatnya. Minggu depan ada acara kantor—gathering tahunan Erlangga Corp di resort Puncak. Alara pasti ikut. Nathan juga. Itu kesempatan sempurna."
"Oke. Aku akan mulai dekatin Alara dari sekarang. Perlahan. Buat dia nyaman dulu."
Kiara mengangguk—walau dadanya sesak dengan rasa bersalah.
*Maafkan aku, Alara. Tapi ini demi cinta. Dan cinta... cinta membuat orang melakukan hal-hal gila.*
---
**MALAM ITU, MANSION ERLANGGA**
Alara berbaring di tempat tidurnya dengan senyum yang tidak hilang-hilang dari wajah. Ia memeluk bantal sambil teringat momen-momen hari ini—Nathan yang menggenggam tangannya, Nathan yang tersenyum, Nathan yang membisikkan "aku bangga punya istri sepertimu" sebelum Alara turun dari mobil tadi sore.
Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Nathan.
**Nathan:** *Sudah tidur?*
Jantung Alara berdegup kencang. Ia tersenyum lebar sambil membalas.
**Alara:** *Belum. Kenapa?*
**Nathan:** *Aku di kamar, tapi kok kayak pengen ketemu kamu lagi...*
Alara tertawa kecil—tertawa yang bahagia, yang hangat.
**Alara:** *Kita baru pisah sejam yang lalu...*
**Nathan:** *Iya, tapi tetap aja. Rasanya lama.*
Alara memeluk ponselnya—jantungnya terasa mau meledak dari bahagia.
**Alara:** *Kamu mau ke sini?*
**Nathan:** *Boleh?*
**Alara:** *Boleh...*
Lima menit kemudian, pintu kamar Alara diketuk pelan. Alara membuka—dan Nathan berdiri di sana dengan kaus santai dan celana training, rambut basah habis mandi.
"Hai," sapa Nathan dengan senyum malu-malu—senyum yang tidak pernah Alara lihat sebelumnya.
"Hai," balas Alara sambil tersenyum lebar.
Mereka berdiri di ambang pintu—canggung tapi bahagia.
"Aku... aku cuma pengen lihat kamu sebentar," kata Nathan. "Terus aku balik ke kamar."
"Atau..." Alara memberanikan diri, "...kamu bisa duduk di sini sebentar? Ngobrol?"
Nathan menatapnya—tatapan yang lembut. "Boleh."
Mereka duduk di tepi tempat tidur Alara—berdampingan dengan jarak yang sedikit rapat. Nathan menggenggam tangan Alara—genggaman yang sudah mulai familiar, yang membuat Alara merasa aman.
"Aku senang hari ini," kata Nathan pelan. "Senang bisa nganter kamu. Senang bisa makan malam sama kamu. Senang bisa... bisa dekat sama kamu."
Alara menatapnya dengan mata berbinar. "Aku juga. Sangat senang."
Mereka terdiam—hanya tatapan dan genggaman tangan.
"Nathan," bisik Alara. "Ini... ini nyata kan? Bukan mimpi?"
Nathan tersenyum—senyum yang lembut, yang menenangkan. "Ini nyata. Aku nyata. Dan aku... aku ada untukmu."
Alara memeluk Nathan—pelukan yang erat, yang putus asa, seolah takut Nathan akan menghilang.
Nathan membalas pelukan—tangannya mengelus punggung Alara dengan lembut.
"Aku nggak akan kemana-mana," bisik Nathan. "Aku janji."
Tapi janji itu—janji yang tulus, yang Nathan ucapkan dengan sepenuh hati—akan segera diuji.
Karena di luar sana, Kiara dan Dimas sedang merencanakan kehancuran.
Dan ketika rencana itu dimulai, tidak akan ada yang bisa menghentikan.
Tidak Nathan. Tidak Alara.
Tidak siapa pun.
---
**[BERSAMBUNG KE BAB 19]**