💔 Dikhianati & Dibangkitkan: Balas Dendam Sang Ibu
Natalie Ainsworth selalu percaya pada cinta. Keyakinan itu membuatnya buta, sampai suaminya, Aaron Whitmore, menusuknya dari belakang.
Bukan hanya selingkuh. Aaron dan seluruh keluarganya bersekongkol menghancurkannya, merampas rumah, nama baik, dan harga dirinya. Dalam semalam, Natalie kehilangan segalanya.
Dan tak seorang pun tahu... ia sedang mengandung.
Hancur, sendirian, dan nyaris mati — Natalie membawa rahasia terbesar itu pergi. Luka yang mereka torehkan menjadi bara api yang menumbuhkan kekuatan.
Bertahun-tahun kemudian, ia kembali.
Bukan sebagai perempuan lemah yang mereka kenal, melainkan sebagai sosok yang kuat, berani, dan siap menuntut keadilan.
Mampukah ia melindungi buah hatinya dari bayangan masa lalu?
Apakah cinta yang baru bisa menyembuhkan hati yang remuk?
Atau... akankah Natalie memilih untuk menghancurkan mereka, satu per satu, seperti mereka menghancurkannya dulu?
Ini kisah tentang kebangkitan wanit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3: Tawaran di Sudut Kota
Pukul dua siang adalah neraka kecil bagi Natalie. Udara di warung itu tebal, berbau minyak jelantah dan keringat. Ia sudah bekerja non-stop enam jam, berjuang melawan pusing yang datang menyergap.
Saat tangannya meraih piring terakhir yang berminyak, pandangannya kabur. Seluruh tubuhnya limbung. Ia tak bisa menahan diri.
Gedebuk!
Piring pecah. Kacaulah. Natalie merasakan lantai semen dingin merayapi wajahnya. Semuanya gelap.
Ketika ia membuka mata, ia sudah berada di kursi kayu reyot. Di hadapannya, seorang wanita muda berseragam kantoran sedang menatapnya dengan tatapan lembut, sambil memegang segelas air.
"Kau pingsan," ujar wanita itu lugas. "Kau seharusnya tidak bekerja sekeras ini."
"Saya... saya baik-baik saja," jawab Natalie, berusaha bangkit.
Wanita itu tersenyum tipis, penuh pengertian. "Kau hamil. Aku tahu tanda-tandanya. Aku Maya. Aku sering makan di sini."
Air mata Natalie nyaris jatuh. Kata-kata "kau hamil" yang diucapkan orang asing terasa lebih tulus daripada semua janji Aaron. "Terima kasih, Maya."
Maya menghela napas. "Kau terlalu cantik dan terlalu sopan untuk mencuci piring. Kau bukan dari sini, kan?"
Natalie menunduk. "Saya dari desa. Suami saya pergi, dan saya harus bertahan." Kebohongan yang terasa lebih mudah diucapkan daripada kebenaran yang kejam.
Beberapa hari kemudian, Maya datang saat warung sepi. Natalie sedang menghitung catatan laba-rugi warung—sebuah tugas yang diberikan pemilik warung karena kepercayaannya.
"Kau menghitung apa? Itu bukan tugas pencuci piring," tanya Maya sambil menyesap es teh.
"Warung ini rugi, Maya. Aku menemukan keanehan," kata Natalie, menunjuk ke buku catatan dengan pensil. "Lihat, harga pasokan bahan baku dari Distributor Sinar naik 30 persen dalam dua bulan. Padahal harga pasar stabil."
Maya melihat angkanya. "Ah, itu biasa. Distributor suka curang. Pemilik warung ini sudah tua, dia tak punya waktu menawar."
Natalie menggeleng tajam. Insting bisnisnya, yang dulu diasah di rapat dewan, tiba-tiba hidup.
"Tidak, ini bukan cuma curang. Ini manipulasi. Kalau kita ubah pemasok, kita bisa menghemat dua puluh persen. Kalau warung ini terus begini, mereka akan bangkrut dalam enam bulan."
Maya terdiam, menatap Natalie dengan tatapan baru. Tatapan itu bukan lagi iba, melainkan rasa hormat. "Kau... tahu banyak tentang keuangan untuk seorang wanita desa yang mencuci piring."
Natalie tersenyum sinis. "Hidup di jalanan membuatmu harus menghitung setiap rupiah. Termasuk menghitung kecurangan orang lain."
Maya mencondongkan tubuh, matanya serius. "Kau terlalu pintar untuk membuang waktumu di sini, Nat. Kau punya otak bisnis yang tajam. Aku bekerja sebagai kepala administrasi. Aku tahu lembaga pelatihan kilat yang bagus."
"Pelatihan? Aku tidak punya uang sepeser pun, Maya."
"Aku akan menalangi biaya pendaftaran. Kau bayar kembali setelah kau mapan," potong Maya cepat. Ia mengeluarkan kartu nama perusahaannya. "Kau harus membiarkan kecerdasanmu bekerja, bukan tanganmu. Apalagi kau sedang hamil."
Natalie menatap kartu nama itu, lalu pada perutnya. Sebuah jalan keluar. Sebuah tangga menuju balas dendam.
"Baik, Maya," kata Natalie mantap. "Aku terima. Tapi aku butuh janji darimu."
"Apa?"
"Apa pun yang terjadi, di masa depan, jangan pernah sebutkan namaku pada siapa pun. Dan jangan pernah beritahu siapa pun tentang anakku." Mata Natalie menajam. "Rahasiaku harus mati di kota ini. Jika ada yang tahu, nyawa anakku terancam."
Maya mengangguk pelan, memahami keseriusan Natalie. "Aku berjanji. Rahasiamu aman bersamaku."
Malam itu, di kamar kosnya, Natalie membuka laptop tua pinjaman dari Maya. Ia mencari berita tentang Aaron Whitmore. Foto Aaron dan Eliza sedang tersenyum bangga di sebuah acara gala dinner.
Natalie menekan layar dengan jarinya. Dingin, tanpa ampun.
"Kau boleh meremehkan seorang wanita yang hanya tahu cinta, Aaron. Tapi kau tidak akan bisa meremehkan seorang wanita yang mempelajari setiap kelemahanmu selama lima tahun. Tunggu aku."