NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:426
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

3. Pertemuan

Hari ini, setelah pulang sekolah, Alendra langsung mengayuh sepeda onthel kesayangannya menuju sebuah kafe kecil di pinggir jalan kota. Seperti biasa, ia harus bekerja paruh waktu di sana sebagai barista untuk membantu keuangan keluarga.

Begitu sampai, aroma kopi langsung menyambutnya. Dari balik meja bar, terlihat seorang perempuan dengan rambut dikuncir rapi sedang menuang latte art untuk pelanggan.

“Hai, Mbak Ayu,” sapa Alendra ramah sambil melangkah masuk.

“Hai, Len. Cepat ganti baju ya, pelanggan lagi rame banget,” jawab Ayu tanpa melepaskan fokusnya pada cangkir di tangannya.

“Oke, Mbak,” sahut Alendra sambil tersenyum tipis.

Ia bergegas masuk ke ruang ganti kecil di belakang, menukar seragam sekolahnya dengan apron hitam khas kafe itu. Begitu kembali ke depan, suasana sudah riuh rendah. Beberapa meja penuh dengan anak muda yang tertawa, sebagian besar masih berseragam sekolah lain, sepertinya menjadikan kafe itu tempat nongkrong malam minggu.

Dengan cekatan, Alendra mulai membantu: mencatat pesanan, menyajikan kopi, hingga membersihkan meja. Walaupun tubuhnya terasa letih setelah seharian bersekolah, ia tetap melakukannya dengan senyum. Baginya, pekerjaan ini bukan hanya sekadar mencari uang, tapi juga bentuk tanggung jawab agar bisa sedikit meringankan beban kedua orang tuanya.

Waktu berjalan cepat. Tanpa terasa, jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Suasana kafe yang tadi ramai kini mulai sepi. Kursi-kursi kosong, hanya tersisa satu dua pelanggan yang masih mengobrol. Beberapa rekan kerja Alendra sudah sibuk merapikan meja dan menghitung kas.

“Len, kamu hati-hati ya pulangnya. Udah malam banget soalnya,” ucap Ayu sambil menepuk bahunya.

“Iya, Mbak. Terima kasih,” jawab Alendra sambil tersenyum.

Setelah melepas apron, ia keluar dari kafe sambil menuntun sepeda onthel tuanya. Jalanan kota sudah lengang, hanya sesekali terdengar deru motor yang melintas. Angin malam berhembus menusuk tulang, membuat Alendra merapatkan jaket tipis yang ia kenakan.

Malam itu, lampu neon berwarna-warni berkelap-kelip di sebuah klub malam paling terkenal di pusat kota. Musik berdentum keras, memantul dari dinding ke dinding, memenuhi udara dengan irama yang membuat siapa pun ingin bergerak mengikuti beat. Asap rokok bercampur dengan aroma minuman keras, menambah sesak suasana.

Di salah satu sudut, geng Ravenclaw sudah berkumpul. Kenzo, dengan gaya humorisnya, langsung menyapa keras begitu melihat sosok yang baru saja melangkah masuk melewati pintu kaca tebal.

“Akhirnya lo dateng juga, Ray!” serunya sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.

Rayven Aurelio Evander Mahendra hanya memberikan tatapan singkat, lalu duduk di kursi kosong tanpa banyak bicara.

“Ya,” jawabnya singkat, seolah hanya sekadar formalitas.

Kenzo mengangkat alis, sementara Aksa yang duduk di sebelah Rayven hanya menggeleng pelan. Mereka semua sudah terbiasa dengan sikap dingin Rayven. Karisma laki-laki itu memang membuatnya disegani, meski terkadang sukar ditebak isi kepalanya.

Tak lama, bartender datang membawa beberapa botol minuman ke meja mereka. Tanpa basa-basi, Rayven langsung meraih satu botol dan menuangkan isinya ke dalam gelasnya sendiri. Malam itu, tampaknya ia tidak berniat sekadar berpesta; ia ingin menenggelamkan dirinya dalam alkohol.

Julian dan Axel, dengan gaya flamboyan dan kocaknya masing-masing, sudah lebih dulu terjun ke dance floor. Keduanya menari tanpa beban di tengah kerumunan, dikelilingi perempuan-perempuan muda yang ikut larut dalam dentuman musik.

Aksa menoleh ke Rayven yang sibuk meneguk minumannya. “Ray, asik kan ke klub gini? Bisa liat yang bening-bening. Gak selalu harus ngurung diri di apartemen.”

Rayven meletakkan gelasnya di meja, menatap sekilas kerumunan yang tertawa dan menari, lalu kembali menatap kosong pada botol di tangannya. “Biasa aja.” Jawabnya datar.

Aksa menghela napas. Ia tahu betul kalau Rayven lebih suka tenggelam dalam sepi di apartemennya sendiri. Dunia ramai, penuh cahaya seperti ini, bukanlah tempat yang ia sukai. Tapi malam ini, entah kenapa, ia datang.

Satu botol habis. Rayven membuka botol kedua, lalu meneguk lagi tanpa ragu.

Namun, baru beberapa menit kemudian, ia merasakan sesuatu yang tak wajar. Dadanya berdegup lebih cepat dari biasanya, napasnya terasa berat, dan keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya meski ruangan itu penuh AC.

“Oh, shit…” desis Rayven sambil memegang lehernya. Tubuhnya terasa panas, bukan seperti efek alkohol biasa. Ada sesuatu yang berbeda.

Kenzo yang baru kembali dari dance floor menghampiri, melihat Rayven yang tiba-tiba pucat. “Eh, Ray, lo kenapa, bro? Lo minum kebanyakan ya?”

Rayven tidak menjawab. Ia buru-buru berdiri, hampir menjatuhkan kursinya, lalu berjalan cepat ke arah pintu keluar.

“Ray! Lo kenapa sih?” Aksa berdiri, hendak mengejar, tapi Rayven sudah menghilang menembus kerumunan.

Tubuhnya semakin panas, matanya berkunang-kunang, suara musik yang berdentum terasa makin menyakitkan telinga. Dengan napas tersengal, Rayven akhirnya berhasil keluar dari klub, menembus udara malam yang dingin.

Namun rasa itu tak kunjung hilang. Ada sesuatu yang mengalir dalam darahnya, sesuatu yang bukan sekadar alkohol.

Rayven menyandarkan tubuhnya di dinding luar klub, mencengkeram kerah bajunya sendiri. “Sial… ada yang nggak beres…” gumamnya dengan suara serak.

Rayven keluar dari parkiran klub dengan langkah terburu-buru. Tubuhnya sudah tak karuan. Setiap hembusan napas terasa membakar tenggorokannya, jantungnya berdegup tak beraturan. Dengan sisa tenaga, ia meraih kunci motor dari saku jaket, lalu menyalakan motornya. Mesin meraung keras, dan tanpa pikir panjang ia melajukan motornya menembus jalanan malam.

Lampu-lampu kota berkelebatan, tapi pandangan Rayven makin lama makin kabur. Tangannya bergetar memegang setang. Keringat deras membasahi pelipis, sementara suara di kepalanya terus berbisik panas... panas...

Di pertigaan sepi dekat rumah tua tak berpenghuni—rumah yang sering dipakai Ravenclaw sebagai markas—Rayven akhirnya tak sanggup lagi. Ia menghentikan motornya dengan rem mendadak, tubuhnya hampir terhempas. Nafasnya tersengal, pandangannya berkunang, dan ia menjatuhkan diri duduk di aspal yang dingin, punggung bersandar ke dinding kusam rumah kosong itu.

“Panas... panas...” racau Rayven sambil meremas kerah bajunya.

 

Sementara itu, di jalan yang sama, Alendra sedang mengayuh sepeda onthelnya dengan santai. Udara malam yang sejuk membuatnya sedikit lega setelah seharian lelah di sekolah dan bekerja di kafe. Lampu sepeda yang redup menyorot jalan, sementara suara jangkrik terdengar samar dari rerumputan.

Namun, langkah sepedanya melambat ketika ia melihat sesuatu di kejauhan. Tepat di depan rumah kosong, sebuah motor terparkir miring, nyaris roboh. Dan di sampingnya, ada sosok laki-laki yang terlihat terhuyung, lalu jatuh terduduk.

Alendra tertegun. Hatinya langsung diliputi rasa khawatir.

“Ya Allah... itu orang kenapa?” gumamnya pelan, matanya memicing berusaha melihat lebih jelas.

Karena rasa iba, Alendra menepikan sepedanya lalu turun. Ia melangkah hati-hati mendekat.

“Mas... mas, nggak apa-apa?” tanyanya ragu sambil melirik pemuda itu.

Di bawah cahaya lampu jalan yang remang, ia bisa melihat wajah pemuda itu jelas. Wajah tampan dengan garis tegas, meski kini tampak pucat dan keringat bercucuran. Tatapannya kosong, nafasnya terengah.

“Panas... panas...” Rayven kembali meracau, tubuhnya sedikit berguncang.

Alendra panik. Ia tak mengenal pemuda ini. Dalam pikirannya, mungkin orang itu hanya korban kecelakaan atau mabuk karena minum alkohol. Ia sama sekali tak tahu bahwa sosok yang ada di depannya adalah Rayven Aurelio Evander Mahendra—anggota paling ditakuti dari geng Ravenclaw, nama yang bahkan baru siang tadi didengarnya sekilas dari Selena.

“Mas... harus dibawa ke rumah sakit, ya?” Alendra mencoba membantu, berjongkok di samping Rayven, meski hatinya diliputi ketakutan.

Rayven menoleh perlahan, tatapan matanya tajam tapi lelah. Dalam sekejap, sorot matanya yang dingin itu membuat Alendra bergidik. Ada aura aneh yang membuatnya ingin mundur, namun rasa kasihan lebih kuat menahannya di tempat.

“Gue... nggak... butuh...” suara Rayven serak, hampir tak terdengar.

Alendra menggigit bibir, bingung harus bagaimana. Ia menatap motor besar yang terparkir di samping, lalu menoleh lagi pada pemuda itu. “Mas, kalau kayak gini nggak bisa sendiri. Harus ada yang nolongin...”

Rayven meremas keras setang motornya, seakan menahan sakit yang tak tertahankan. Tatapannya mengunci pada Alendra.

Rayven menatap Alendra dengan sorot mata yang kacau. Tubuhnya panas, pikiran setengah sadar, tapi genggaman tangannya pada pergelangan Alendra begitu kuat.

“Tolongin gue... gue udah nggak kuat...” bisiknya, suaranya tercekat, penuh tekanan.

Alendra terkejut. Ia berusaha menarik tangannya, namun cengkraman Rayven jauh lebih keras. “Mas, lepasin... saya cuma mau bantu...” ucapnya dengan suara gemetar.

Namun Rayven tak mendengarkan. Dengan tenaga sisa, ia menyeret Alendra masuk ke dalam rumah tua tak berpenghuni itu. Pintu kayu berderit keras saat didorong, kegelapan langsung menyelimuti mereka berdua.

“Mas! Jangan tarik aku! Lepasin, tolong!” Alendra memberontak, air matanya mulai jatuh karena ketakutan.

Rayven menutup pintu dengan keras, lalu terduduk lemas di lantai. Tubuhnya benar-benar tak stabil. Nafasnya memburu, matanya berkilat tak normal, seolah ada sesuatu yang menguasai dirinya.

Alendra menatapnya dengan wajah pucat. “Ya Allah... kenapa aku bisa ketemu orang kayak gini...” bisiknya.

Rayven mengangkat kepalanya perlahan, menatap Alendra. Pandangan itu membuat darah Alendra seakan membeku. Ada amarah, ada rasa sakit, ada sesuatu yang liar yang bahkan Rayven sendiri tak bisa kendalikan.

“Gue butuh lo...” katanya dengan suara rendah, hampir seperti erangan.

Alendra mundur beberapa langkah, punggungnya terbentur dinding. Air matanya jatuh deras, jantungnya berdegup tak terkendali. “Jangan dekati aku...” pintanya lirih.

Namun Rayven, dalam keadaan kacau dan tubuh penuh panas, mendekat. Alendra terus berusaha melawan, menjerit, menendang, tapi tenaga seorang gadis tak sebanding dengan kekuatan Rayven yang kehilangan kendali.

Malam itu, di rumah kosong yang gelap dan sunyi, teriakan Alendra tak pernah ada yang mendengar.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!