Cahaya Yang Ternodai
Alendra Safira Adelia.
Nama itu bukan sekadar deretan huruf indah, melainkan sosok nyata yang kerap menjadi kebanggaan sekolahnya. Gadis berparas cantik itu dikenal sebagai murid teladan—juara di berbagai lomba antar sekolah, aktif dalam organisasi, dan selalu menjadi panutan bagi teman-temannya. Senyum ramahnya membuat siapa pun betah berlama-lama berbincang dengannya, seakan ia adalah gambaran sempurna dari seorang siswi berprestasi.
Alendra bisa masuk ke sekolah swasta bertaraf internasional pun bukan karena uang orang tuanya, melainkan karena prestasinya yang gemilang. Beasiswa penuh yang ia raih membuatnya berdiri sejajar dengan anak-anak dari keluarga terpandang, meski kenyataannya kehidupannya jauh berbeda.
Di balik semua surat ujian, tepuk tangan, dan sorot bangga para guru, Alendra hanyalah seorang gadis sederhana yang menyimpan kisah lain. Ia tinggal di sebuah perkampungan pinggiran kota dengan lingkungan yang jauh dari kata nyaman. Jalanan becek saat hujan, rumah-rumah berhimpitan dengan atap seng berkarat, dan suara riuh pasar kecil yang tak pernah benar-benar sunyi. Di sanalah ia tinggal bersama kedua orang tuanya dan seorang adik laki-laki.
Ayah dan ibunya sehari-hari berjualan sebagai pedagang kaki lima. Alendra tahu betul bagaimana keringat ayahnya menetes ketika mendorong gerobak di bawah terik matahari, juga bagaimana ibunya kerap menahan lapar demi memastikan ia dan adiknya bisa berangkat sekolah dengan perut terisi. Kesadaran itu membuat Alendra tumbuh menjadi gadis yang kuat dan mandiri.
Setiap sore setelah pulang sekolah, Alendra menukar seragam putih abu-abunya dengan celemek sederhana. Ia bekerja paruh waktu di sebuah kafe kecil dekat sekolah. Dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya, ia melayani pelanggan, membersihkan meja, hingga membantu barista meracik minuman.
Bagi sebagian orang, pekerjaan ini mungkin tampak melelahkan. Tapi bagi Alendra, kafe adalah tempat di mana ia bisa belajar tentang kehidupan—tentang kerendahan hati, tanggung jawab, dan arti perjuangan. Meski malam-malamnya sering dihabiskan dengan tubuh letih dan mata yang hampir terpejam, ia tidak pernah mengeluh.
Setiap lembar uang yang ia sisihkan sedikit demi sedikit menjadi penolong untuk meringankan beban orang tuanya. Baginya, kebahagiaan bukan hanya saat dirinya berdiri di atas panggung menerima medali, melainkan ketika ia bisa melihat senyum lega di wajah orang tuanya, meski hanya karena dapur rumah mereka bisa terus mengepul.
Alendra bukan gadis yang hidup dengan kemewahan. Justru dari kesederhanaan itulah ia menemukan makna hidup yang sebenarnya. Ia percaya, keberhasilan bukan hanya soal seberapa tinggi prestasi yang diraih, melainkan juga tentang seberapa besar hati mampu bertahan dan berbagi di tengah segala keterbatasan.
Dan begitulah, di balik sosok murid berprestasi yang dielu-elukan, tersembunyi seorang gadis yang diam-diam menulis kisah perjuangan hidupnya sendiri—kisah tentang tekad, cinta, dan pengorbanan.
Pagi itu aroma tumisan bawang merah dan telur goreng memenuhi udara dapur sederhana keluarga kecil itu. Alendra tampak sibuk memotong sayur dan menyiapkan nasi untuk sarapan. Tangannya cekatan, sesekali ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam pagi.
“Bu, ini udah selesai semua. Aku mandi dulu ya,” ucap Alendra sambil mencuci tangannya di bak kecil dekat pintu dapur.
Ibunya, Larissa, yang masih sibuk meracik sambal, menoleh sekilas dan tersenyum. “Iya, Nduk. Cepet gih mandi, siap-siap ke sekolah. Eh, sekalian bangunin adikmu, Ezriel. Dari tadi belum kedengeran gerakannya.”
Alendra mengangguk patuh. “Siap, Bu.”
Ia melangkah keluar dari dapur, melewati ruang tamu yang sederhana. Rak kayu dengan piala-pialanya berdiri rapi di sudut, menjadi saksi perjuangannya selama ini. Sebelum menuju kamar mandi, Alendra berhenti di depan pintu kamar adiknya.
“Zriel… bangun, Dek!” panggilnya lembut sambil mengetuk pintu.
Tak ada jawaban. Ia pun mendorong pintu perlahan. Di dalam, Ezriel masih terlelap di kasur tipisnya, selimut tersingkap hingga hanya menutupi setengah tubuhnya. Bocah berusia sembilan tahun itu terlihat damai dengan rambut awut-awutan.
Alendra tersenyum kecil, lalu duduk di tepi kasur. Ia mengusap kepala adiknya pelan. “Ayo, Zriel. Bangun. Udah jam enam lebih. Kamu nanti telat sekolah, lho.”
Ezriel menggeliat sebentar, lalu meringkuk lagi. “Mmm… lima menit lagi, Kak…” gumamnya dengan suara serak.
“Lima menit lagi bisa kebablasan. Ayolah, Zriel. Kakak aja udah mau mandi,” bujuk Alendra sambil menarik selimutnya sedikit.
Dengan wajah malas, Ezriel akhirnya membuka mata. “Iya… iya… aku bangun, Kak. Tapi nanti Kakak yang siapin susunya, ya?”
“Deal,” jawab Alendra sambil tersenyum. Ia pun berdiri, lalu berjalan ke kamar mandi.
Suasana rumah sederhana itu mungkin jauh dari mewah, tapi kehangatan keluarga selalu membuatnya berarti. Alendra tahu, rutinitas pagi seperti ini bukan hanya sekadar kewajiban. Baginya, itu adalah pengingat bahwa ia tak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk keluarganya.
Setelah semua lauk tersaji di meja sederhana, keluarga kecil itu duduk bersama. Meski hanya dengan nasi hangat, telur goreng, sambal, dan segelas teh manis, suasana terasa begitu hangat. Alendra dan adiknya, Ezriel, menyantap sarapan mereka dengan lahap, sementara Larissa dan Ardian lebih banyak memandang anak-anak mereka dengan senyum lelah tapi penuh cinta.
Setelah selesai, Alendra segera merapikan piring-piring dan mencuci sebentar sebelum benar-benar bersiap berangkat. Ia mengambil tas sekolahnya yang sudah disiapkan semalam, lalu menuntun sepeda onthelnya keluar rumah.
“Yah, Bu, aku sama adek berangkat dulu, ya. Assalamualaikum.” Suaranya terdengar riang, berusaha menutupi rasa lelah yang sudah biasa ia sembunyikan.
“Waalaikumussalam. Hati-hati di jalan, Nduk,” jawab Larissa sambil tersenyum hangat.
Ardian, sang ayah, yang masih duduk di kursi bambu sambil mengenakan pecinya, menambahkan, “Sekolah yang rajin, jangan lupa doa dulu sebelum masuk kelas.”
“Iya, Yah.”
Alendra mendekati kedua orang tuanya, menunduk, dan mencium tangan mereka satu per satu. Ezriel mengikuti gerakan kakaknya dengan lugu, wajahnya masih agak mengantuk tapi penuh semangat.
Setelah itu, mereka berdua menaiki sepeda onthel tua yang sudah menemani keluarga itu bertahun-tahun. Alendra duduk di sadel sambil mengayuh, sementara Ezriel duduk di boncengan belakang, memeluk tas sekolah kecilnya.
Jalanan kampung masih basah bekas hujan semalam. Beberapa anak kecil berlarian tanpa alas kaki, sementara pedagang sayur mendorong gerobak mereka. Suara ayam berkokok terlambat bercampur dengan suara tukang roti yang lewat, menambah warna pagi itu.
“Zriel, duduknya jangan goyang-goyang, nanti jatuh,” tegur Alendra pelan sambil tetap fokus mengayuh.
“Iya, Kak. Tapi Kak, nanti kalau pulang sekolah, kita bisa jajan es lilin, nggak?” tanya Ezriel dengan mata berbinar.
Alendra tertawa kecil. “Lihat nanti, ya. Kalau Kakak masih ada uang saku lebih, boleh.”
Ezriel pun mengangguk puas. Meski sederhana, bagi bocah seusianya, janji es lilin sudah cukup untuk membuat harinya menyenangkan.
Tak butuh waktu lama, mereka tiba di sekolah dasar yang hanya berjarak sekitar satu kilometer dari rumah. Bangunan tua dengan dinding cat yang mulai mengelupas itu berdiri kokoh meski sederhana. Anak-anak kecil berseragam merah putih berlarian riang, sementara guru-guru menyambut mereka di depan gerbang.
“Zriel, ayo turun,” ujar Alendra sambil menepuk bahu adiknya.
Ezriel segera turun dari boncengan, menepuk-nepuk celananya yang sedikit berdebu. Ia menatap kakaknya sebentar, lalu tersenyum. “Makasih ya, Kak. Nanti aku pulang sama teman, ya.”
“Siap, Kapten.” Alendra menjawab dengan gaya bercanda yang membuat Ezriel terkikik sebelum berlari masuk ke halaman sekolah.
Alendra menatap adiknya sampai hilang di balik kerumunan, lalu kembali mengayuh sepedanya menuju sekolah menengah swasta tempat ia menuntut ilmu.
Sesampainya di kelas, Alendra langsung menuju bangkunya di deretan tengah. Ia meletakkan tas dengan hati-hati, lalu menyapa temannya yang duduk tak jauh darinya.
“Pagi, Nay,” sapa Alendra sambil tersenyum manis.
“Pagi juga, Len. Tumben banget, biasanya kamu datang mepet bel. Kok hari ini pagi sekali?” tanya Nayla heran.
Alendra terkekeh kecil. “Iya, soalnya semalam nggak lembur di café. Jadi bisa tidur lebih cepat.”
“Oh gitu,” Nayla mengangguk paham. Lalu ia menoleh kanan-kiri sebentar sebelum bertanya lagi, “Eh, Selena sama Elvira ke mana ya? Kok belum kelihatan.”
Belum sempat Alendra menjawab, suara langkah berirama terdengar di lorong. Benar saja, Selena masuk dengan gaya khasnya, penuh percaya diri, disusul Elvira yang berjalan di belakangnya dengan ekspresi pasrah.
“Pagi guys! Pasti kalian nyariin gue kan?” ujar Selena sambil mengibaskan rambut panjangnya, wajahnya penuh percaya diri.
Elvira langsung menepuk dahinya, sementara Nayla hanya mendengus.
“Siapa juga yang nyariin lo. Jangan kepedean deh jadi orang,” balas Nayla ketus.
Selena justru terkekeh. “Ya kali aja kangen. Secara gue kan anaknya ngangenin,” ujarnya sambil berkedip jahil.
Alendra tersenyum kecut melihat “Tom and Jerry” versi sahabatnya itu akan mulai adu mulut lagi. Ia buru-buru menyelamatkan situasi.
“Eh iya, Vir. Tumben kalian agak telat. Biasanya gue yang datang paling akhir,” sela Alendra.
Elvira yang sedari tadi hanya diam langsung menjawab cepat, “Salahin aja si centil ini, Len. Dia dandan di rumah lama banget.” Elvira menunjuk Selena dengan wajah jengkel.
“Hei! Cantik itu butuh proses, sayang,” balas Selena dengan santai, membuat Nayla makin mendengus kesal.
Suasana kelas semakin riuh dengan canda mereka, tapi tak lama kemudian suara bel tanda masuk pelajaran pertama berbunyi. Semua siswa buru-buru duduk di bangku masing-masing. Guru matematika mereka, Bu Ratna, masuk dengan wajah ramah namun tetap tegas.
“Selamat pagi, anak-anak,” sapanya sambil meletakkan buku besar di meja.
“Pagi, Bu!” jawab murid-murid serempak.
“Bagaimana kabar kalian hari ini?” tanya Bu Ratna lagi sambil menatap seisi kelas.
“Baik, Bu,” jawab beberapa siswa.
“Kalau begitu, mari kita mulai pelajaran. Hari ini kita akan membahas sistem persamaan linear. Siapkan buku catatan kalian.”
Suasana kelas langsung berubah menjadi serius. Alendra dengan cepat membuka bukunya, mencatat setiap rumus dan penjelasan yang diberikan Bu Ratna. Ia memang dikenal rajin dan selalu fokus dalam belajar. Sesekali, ketika Bu Ratna melempar pertanyaan, tangan Alendra hampir selalu terangkat.
“Alendra, coba kamu kerjakan soal ini di papan,” perintah Bu Ratna setelah menulis soal di whiteboard.
Dengan percaya diri, Alendra maju ke depan. Kapur tulis ia genggam mantap, lalu ia mulai menuliskan langkah demi langkah penyelesaian soal. Semua mata tertuju padanya. Bagi sebagian teman sekelas, pemandangan Alendra berdiri di depan papan sudah biasa. Gadis itu memang hampir selalu bisa menjawab soal-soal sulit yang guru berikan.
“Bagus sekali, Alendra. Jawabanmu tepat,” puji Bu Ratna setelah ia selesai menulis.
“Terima kasih, Bu.” Alendra kembali ke bangkunya dengan tenang, meski dalam hati ada kebahagiaan kecil. Ia memang terbiasa dipuji, tapi tetap merasa setiap apresiasi adalah penyemangat.
Sementara itu, Nayla berbisik pelan, “Len, kadang aku iri deh sama kamu. Kamu tuh selalu bisa jawab semua soal.”
Alendra hanya tersenyum, lalu berbisik balik, “Nay, semua orang punya kelebihan masing-masing kok. Kamu pinter banget di bahasa Inggris, kan? Aku sering nyontek jawaban kamu waktu listening.”
Nayla terkekeh kecil, merasa sedikit lega.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments