Najwa, siswi baru SMA 1 Tangerang, menghadapi hari pertamanya dengan penuh tekanan. Dari masalah keluarga yang keras hingga bullying di sekolah, dia harus bertahan di tengah hinaan teman-temannya. Meski hidupnya serba kekurangan, Najwa menemukan pelarian dan rasa percaya diri lewat pelajaran favoritnya, matematika. Dengan tekad kuat untuk meraih nilai bagus demi masa depan, dia menapaki hari-hari sulit dengan semangat pantang menyerah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanafi Diningrat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Upaya yang sia-sia
Najwa terbangun dengan kepala pening parah. Bau pengap dan lembab menyerang hidungnya. Matanya perlahan terbuka, mencoba menyesuaikan dengan kegelapan ruangan yang cuma diterangi lampu bohlam redup.
Tangannya masih terikat lakban di belakang punggung. Mulutnya juga masih dilakban. Najwa coba gerak, tapi kakinya juga diiket ke kursi plastik yang udah rusak.
"Dimana gue?" Najwa bergumam dalam hati sambil ngeliatin sekeliling.
Ruangan sempit dengan dinding semen yang lembab. Di pojok ada ember kotor sama beberapa karung beras kosong. Baunya campuran antara got, rokok, sama sesuatu yang busuk.
Najwa inget kejadian tadi malam. Motor hitam, dua cowok yang nyulik dia, terus setelah itu gelap. Mungkin mereka kasih obat bius atau dia pingsan karena sesak napas.
Suara pintu besi berkarat dibuka dari luar. Najwa refleks nutup mata, pura-pura masih pingsan. Langkah kaki berat masuk ke ruangan.
"Eh, udah bangun ternyata." Suara cowok paruh baya yang serak. "Jangan pura-pura tidur. Mata lu udah kedip-kedip tadi."
Najwa buka mata pelan. Di depannya berdiri pria bertubuh kekar dengan tato naga di lengan. Wajahnya sangar, mata sipit kayak lagi marah terus.
"Siapa lo? Mau apa?" Najwa coba ngomong, tapi suaranya cuma keluar serak karena mulut masih dilakban.
"Gue Bos Heri. Lu sekarang di tempat gue." Pria itu duduk di kursi plastik yang sama rusaknya. "Lu tau kenapa lu di sini?"
Najwa geleng-geleng kepala. Matanya udah berkaca-kaca karena takut.
"Temen-temen gue bilang, lu cewek pinter. Bisa kerja rapi." Bos Heri nyalain rokok kretek. "Nah, gue butuh cewek kayak lu buat bantuin bisnis gue."
Najwa makin bingung. Bisnis apa yang butuh cewek SMA kayak dia?
Bos Heri ngepul asap rokok ke arah Najwa. "Lu mau tau bisnis gue? Gue jualan cewek ke luar negeri. Malaysia, Singapura, Arab. Banyak yang butuh pembantu rumah tangga."
Najwa rasanya kayak kesambet petir. Mata dia melotot, tubuhnya gemetar parah. Dia udah sering denger cerita tentang sindikat trafficking di TV, tapi gak pernah nyangka bakal kejadian sama dia.
"Jangan takut. Kalo lu nurut, hidup lu bakal enak. Dapet gaji, bisa kirim duit ke keluarga." Bos Heri senyum, tapi matanya tetep dingin. "Tapi kalo lu bandel, ya udah tau sendiri akibatnya."
Najwa berontak di kursi. Lakban di tangan dan kakinya makin kenceng karena dia struggle. Kursi plastik berderak kayak mau patah.
"Udah, jangan sia-siain tenaga. Lu gak bakal bisa kabur dari sini." Bos Heri berdiri sambil buang puntung rokok ke lantai semen. "Besok ada pembeli dari Malaysia yang mau liat 'barang' baru. Lu harus siap."
Bos Heri keluar sambil nutup pintu besi. Suara gembok dikunci dari luar. Najwa sendirian lagi di ruangan pengap itu.
Air mata mulai ngalir dari mata Najwa. Dia mikirin ayahnya, rumah kumuhnya, sekolah yang baru sehari dia masuki. Semuanya sekarang terasa kayak mimpi.
"Gue harus kabur. Apapun caranya." Najwa bergumam sambil coba lepas ikatan di tangannya.
Najwa mulai goyang-goyangkan kursi. Dia coba bikin lakban di tangan kendor dengan cara ngegesek ke punggung kursi yang ada tonjolan plastik tajam.
Butuh waktu hampir satu jam, tapi akhirnya lakban di tangan mulai kendor. Najwa terus gesek sambil nahan perih di pergelangan tangan yang udah lecet.
"Sedikit lagi." Najwa bergumam sambil terus berusaha.
Akhirnya tangannya lepas. Najwa langsung copot lakban di mulutnya sambil ngap-ngap ambil napas. Tenggorokannya kering banget, tapi dia gak peduli.
Dia lepas ikatan di kaki dengan tangan yang masih gemetar. Begitu bebas, Najwa langsung berdiri dan coba buka pintu. Terkunci dari luar.
"Sial." Najwa bisik sambil cari cara lain keluar.
Dia lihat ada ventilasi kecil di dinding atas. Terlalu tinggi dan terlalu sempit buat orang dewasa, tapi mungkin tubuh kurusnya bisa muat.
Najwa susun karung beras kosong jadi kayak tangga. Dia panjat pelan-pelan sambil hati-hati jangan sampe jatuh dan bikin ribut.
Ventilasi itu lebih sempit dari yang dia kira. Cuma bisa muat kepala sama pundak. Najwa coba masuk setengah badan, tapi tersangkut di bagian pinggul.
"Ayolah." Najwa dorong tubuhnya sekuat tenaga.
Tiba-tiba suara pintu dibuka. Najwa panik, coba turun cepet-cepet tapi malah jatuh keras ke lantai. Punggungnya sakit banget, tapi dia langsung berdiri sambil ngusap debu di baju.
"Mau kemana, sayang?" Suara Bos Heri dari belakang pintu.
Najwa noleh. Bos Heri berdiri di ambang pintu sambil senyum nyeringai. Di belakangnya ada dua cowok yang sama yang nyulik dia kemaren.
"Pinter juga ya bisa lepas dari ikatan." Bos Heri masuk sambil ngeliatin karung-karung yang udah berantakan. "Tapi sayang, usaha lu sia-sia."
Cowok tinggi yang kemaren langsung pegang lengan Najwa kasar. "Dasar cewek bandel. Udah dikasih tau baik-baik."
"Lepas gue! Gue mau pulang!" Najwa berontak sambil teriak.
"Pulang ke mana? Ke rumah kardus lu? Ke ayah pemabuk lu?" Bos Heri ketawa sambil ngisap rokok baru. "Di sini lu bakal punya masa depan yang lebih bagus."
Najwa terus berontak meski lengannya udah sakit dipegang kenceng. "Gue gak mau! Gue masih sekolah!"
"Sekolah buat apa? Udah lulus juga tetep gak ada kerjaan. Mending ikut gue, bisa dapet duit banyak." Cowok gendut ikut nimbrung.
"Bohong! Lu cuma mau jual gue!" Najwa teriak sekeras mungkin, berharap ada orang yang denger.
Bos Heri cuma geleng-geleng kepala. "Makanya jangan berisik. Di sini gak ada yang bakal nolongin lu."
Dia kasih isyarat ke dua anak buahnya. Mereka langsung iket tangan Najwa lagi, kali ini pake tali tambang yang lebih kuat. Kakinya juga diiket ke kursi yang beda, yang lebih kokoh.
"Kali ini jangan coba-coba kabur lagi. Nanti gue suruh mereka jaga di depan pintu." Bos Heri nunjuk dua cowok yang masih berdiri di samping Najwa.
Najwa cuma bisa nangis. Tenaganya udah habis buat berontak. Dadanya mulai sesak lagi, tapi kali ini inhaler dia gak ada.
"Oh iya, ini punya lu kan?" Bos Heri keluarin inhaler dari kantong bajunya. "Jangan sampe mati sebelum laku ya."
Dia lempar inhaler itu ke lantai sambil nginjak-nginjak sampai hancur. Najwa ngeliatin satu-satunya obat asmanya yang udah jadi serpihan plastik.
"Besok ada tamu penting. Lu harus kelihatan sehat dan segar." Bos Heri ngeliatin Najwa dari atas sampai bawah. "Mandi dulu, ganti baju. Biar laku mahal."
Cowok tinggi ngangguk. "Siap, Bos."
"Gue pergi dulu. Jaga baik-baik ya. Jangan sampe kabur lagi." Bos Heri keluar sambil nutup pintu.
Suara gembok dikunci lagi dari luar. Kali ini ada dua cowok yang jaga di dalem ruangan. Mereka duduk di pojok sambil mainin hp dan ngerokok.
Najwa duduk di kursi sambil mikirin cara kabur yang lain. Tapi dengan dua orang jaga, tangan dan kaki diiket, plus inhaler yang udah hancur, kayaknya mustahil.
"Kenapa gue harus ngalamin ini?" Najwa nangis dalam hati.
Dia inget duit seratus dua puluh ribu yang udah dirampas. Duit yang susah payah dia dapet dari kerja di warung Pak Bambang. Sekarang duit itu mungkin udah dipake buat beli rokok atau arak.
Najwa juga mikirin ayahnya. Meski galak dan suka mukul, pasti dia khawatir waktu tau Najwa gak pulang semalam. Atau mungkin dia pikir Najwa kabur dari rumah?
"Pak Bambang pasti bingung kenapa gue gak dateng hari ini." Najwa bergumam pelan.
Cowok gendut ngelirik ke arah dia. "Ngomong apa lu?"
"Gak ada." Najwa cepet-cepet diem.
Siang itu terasa panjang banget. Najwa gak dikasih makan sama minum. Perutnya udah keroncongan parah, tenggorokannya kering kayak kertas. Tapi dia gak mau minta tolong sama penculiknya.
Sore-sore, cowok tinggi bawa nasi bungkus sama air mineral. Dia lepas ikatan di tangan Najwa sambil ngawasi ketat.
"Makan. Besok lu harus kelihatan sehat."
Najwa makan dengan lahap meski rasanya hambar. Dia tau harus jaga kondisi badan buat cari kesempatan kabur lagi. Air mineral dia minum sampai habis.
"Udah kenyang? Sekarang mandi." Cowok tinggi itu nunjuk ember sama gayung di pojok ruangan. "Air dingin aja ya. Gak ada air anget di sini."
Najwa mandi dengan air dingin yang bikin merinding. Badannya udah kotor dari kemaren, plus keringat karena stress. Dia dikasih baju ganti yang bersih, tapi baunya kayak orang lain.
Malem itu, Najwa berbaring di lantai semen yang dingin. Cuma dikasih karung goni buat alas. Dua cowok itu gantian jaga, satu tidur satu melek.
Najwa pura-pura tidur sambil mikirin rencana kabur. Tapi kayaknya susah banget. Ruangan ini kayak bunker, gak ada jendela, cuma satu pintu yang selalu dikunci.
"Besok gue dijual." Najwa bergumam dalam hati sambil ngeliatin langit-langit yang retak.
Dia bayangin dirinya dibawa ke negara asing, jadi pembantu atau mungkin yang lebih buruk lagi. Gak bisa sekolah, gak bisa ketemu ayah lagi, gak bisa ngewujudin mimpinya keluar dari kemiskinan.
Air mata ngalir lagi di pipi Najwa. Kali ini dia gak berusaha nahan. Dalam kegelapan ruangan itu, dia ngerasa kayak udah gak punya harapan lagi.
Upaya kabur tadi siang udah gagal. Besok dia bakal dijual kayak barang. Hidup dia yang udah susah, sekarang malah jadi lebih gelap lagi.
Najwa nutup mata sambil berdo'a ke almarhum ibunya. Berharap ada keajaiban yang bisa nolongin dia dari neraka dunia ini.
Tapi keajaiban itu masih belum datang. Malam semakin larut, dan hari esok semakin dekat.