Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI BAWAH BAYANGAN DEKAN
Kekalahan Rendra (Target 2) bukanlah akhir, melainkan permulaan dari kekacauan yang terorganisir. Begitu Debat Final usai, auditorium meledak menjadi perdebatan yang jauh lebih sengit daripada yang terjadi di atas panggung.
Para petinggi rektorat segera menarik Rendra, sementara Dimas (Target 3) melesat pergi, laptopnya penuh dengan kutipan yang akan mengguncang berita kampus. Kinara, di tengah kerumunan yang kebingungan, hanya punya satu tujuan: mencari sekutu intelektualnya.
Aku menemui Pak Arka (Target 1) di kantornya yang penuh sesak dengan buku-buku Marx dan Foucault. Dia sedang merapikan beberapa kertas, ekspresinya tenang, seolah dia sudah menantikan kegemparan ini sejak lama.
Pintu tertutup, dan suasana disanadi sana terasa seperti bunker yang aman dari badai sosial.
“Selamat, Amara,” katanya, menunjuk kursi di hadapannya.
“Kau telah memenangkan sesuatu yang lebih penting daripada Debat Fakultas. Kau memenangkan idealisme seorang Ketua BEM otoriter. Itu bukan prestasi retorika, itu adalah strategi politik yang dingin.”
Aku duduk, merasa lelah setelah menggunakan skill persuasifku secara maksimal.
“Rendra membuat keputusan itu sendiri, Pak. Saya hanya menunjukkan kepadanya harga dari integritasnya.”
Pak Arka tersenyum tipis. “Kinara, jangan merendah. Aku tahu kau. Aku telah mengamati caramu bertarung. Kau tidak hanya berargumen, kau menggali. Kau tidak hanya mengkritik, kau menghancurkan pondasi. Dan cara kau membuat Rendra melakukan harakiri politik secara elegan, itu menunjukkan bahwa kau telah menguasai seni perang lunak.”
Aku menatapnya lurus. Di hadapan Pak Arka, aku tidak bisa menggunakan pesona. Aku harus menggunakan kejujuran intelektual Kinara.
“Saya tidak punya pilihan, Pak. Jika saya menyerang Rendra secara langsung, saya hanya akan terlihat sebagai 'Antagonis Terbuang' yang mencoba membalas dendam. Dengan dia yang mengakui celah korporat, kami berdua menjadi pahlawan reformasi, meskipun Rendra mungkin akan membayar mahal.”
“Tepat sekali. Itu adalah Sosiologi Kritis dalam aksi, Amara. Kau berhasil mengubah struktur kekuasaan hanya dengan menekan titik moralitas yang tepat,” puji Pak Arka.
Dia kemudian menyandarkan dirinya ke belakang.
“Dan ini membawaku ke tujuan utama kedatanganmu.”
“Anda tahu saya akan datang?”
“Tentu saja. Badai yang kau ciptakan ini akan segera menarik perhatian nasional. Aku baru saja menerima surat resmi dari Rektorat. Universitas kita dengan segala ironisnya telah memilihmu sebagai perwakilan untuk Debat Nasional Antar-Universitas bulan depan.”
Jantungku berdebar. Misi Seri 3 telah dimulai. “Sebuah kehormatan yang aneh, mengingat IPK saya.”
“Mereka tidak memilihmu karena IPK 0.9 milik Amara yang lama. Mereka memilihmu karena kau adalah trending topic. Mereka ingin menggunakan momentum keberanianmu, berharap kau akan melunak di panggung nasional dan menjadi boneka citra mereka. Tapi kita tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Pak Arka mengambil sebuah folder tebal dari mejanya. “Aku melihat potensi di dalam dirimu, Kinara. Potensi untuk tidak hanya mengkritik sistem, tetapi juga mendefinisikannya ulang. Aku bersedia menjadi mentor untuk Debat Nasional itu.”
“Mengapa, Pak?” tanyaku jujur. “Anda mempertaruhkan karir Anda dengan mendukung mahasiswa yang baru saja membuat Ketua BEM mengaku dosa secara publik.”
Dia menatapku dengan tatapan serius. “Kinara, aku telah mengajar disinidi sini selama sepuluh tahun.
Aku melihat ratusan mahasiswa cerdas yang dihancurkan oleh sistem ranking, yang dipaksa tunduk pada korporasi agar mendapatkan pekerjaan, yang dipinggirkan karena mereka kritis. Amara yang lama adalah salah satu korban itu. Kau, Amara yang baru, adalah perlawanan.”
“Saya ingin sistem ini berubah, Pak. Saya ingin mengkritik fondasi pendidikan yang menciptakan kegagalan beruntun,” kotaku, merasakan idealisme Kinara yang asli kini terhubung dengan tujuan Amara.
“Kalau begitu, kita harus bekerja. Debat Nasional bukan tentang retorika kosong. Ini tentang data dan analisis struktural yang tak terbantahkan. Aku akan melatihmu. Kita akan mulai dengan membongkar tesis utama universitas ini, dan kita akan membuat mereka tidak bisa berkata-kata di panggung nasional.”
Mendengar janji ini, Kinara merasakan notifikasi Sistem muncul, mengkonfirmasi aliansi ini.
[Misi Seri 3 Dimulai: Pelatihan Intensif dengan Target 1 (Pak Arka) – 100% Tercapai. Akses ke data akademik internal terbuka. Peringatan: Hubungan mentor-murid ini mungkin memicu 'Variabel Romantis Tak Terkendali'. Berhati-hatilah.]
Aku mengabaikan peringatan romansa itu. Fokusku adalah data. “Saya siap, Pak Arka. Apa yang harus saya persiapkan?”
“Lupakan semua teori yang kau pelajari di kelas. Kita akan belajar cara membaca anggaran. Kita akan belajar cara melacak donasi gelap. Kita akan belajar bagaimana korporasi seperti Yayasan Surya menyusup ke setiap celah akademik. Kau harus menjadi mata-mata intelektual, Kinara.”
“Dan Gala Surya malam ini?” tanyaku, mengingat gaun sutra hitam di kamar. “Haruskah saya menghadirinya?”
“Wajib. Itu adalah panggung pertama di mana kau akan bertemu Target 4 secara langsung, di domainnya. Itu adalah ujian. Surya ingin tahu, apakah kau adalah Ancaman yang harus dimusnahkan, atau Aset yang bisa dibeli. Pergilah, tunjukkan pada mereka bahwa seorang Antagonis Terbuang bisa tampil lebih elegan dan cerdas dari elit mana pun.”
Aku berdiri. “Terima kasih, Pak. Saya akan menggunakan pelatihan Anda dengan baik.”
Kembali ke kamar Amara, aku mulai mempersiapkan diri untuk Gala yang dijanjikan. Ini adalah momen pergeseran dari konflik akademik ke konflik korporat.
Aku harus berhati-hati. Di panggung kampus, aku hanya menghadapi Rendra dan administrasi. Di Gala, aku akan menghadapi Bapak Surya dan, yang lebih menakutkan, bayangan Serena (Antagonis Utama).
Aku membuka kotak sutra hitam itu. Gaun itu pas sempurna, menonjolkan setiap lekuk tubuh Amara yang memang menawan, tetapi juga terasa seperti rantai yang indah.
Sistem tiba-tiba bersuara di kepalaku, nadanya lebih mendesak dari biasanya.
[Peringatan: Deteksi 'Penjaga Data Kelas S' (Serena) di sekitar perimeter Gala. Serena memiliki otorisasi penuh dari Mastermind untuk memantau dan jika perlu, menyingkirkan 'Variabel Koreksi' yang mengganggu, yaitu Anda. Target 4 (Surya) adalah medan pertempuran. Jangan tunjukkan kelemahan.]
Aku merias wajahku dengan hati-hati. Bukan riasan tebal Amara yang dulu; ini adalah riasan tipis, membiarkan fokus pada mataku mata Kinara yang tajam dan lelah.
Saat aku menyemprotkan parfum, ponselku berdering. Nomor tak dikenal. Aku ragu sejenak, lalu mengangkatnya.
“Halo?”
“Amara. Kau sudah menerima hadiahku?” Suara Bapak Surya (Target 4) berat dan berwibawa, seperti uang yang berbicara.
“Tentu saja, Bapak Surya. Sebuah isyarat yang sangat elegan. Saya terkejut Anda tahu ukuran saya.”
Dia tertawa kecil. “Ketika aku tertarik pada sesuatu, aku tahu setiap detailnya. Aku dengar kau membuat keributan di kampus hari ini. Ketua BEM mengakui korupsi di depan umum. Kau punya bakat untuk drama.”
“Saya hanya tertarik pada kejujuran, Pak. Itu komoditas langka di kampus kita.”
“Dan komoditas yang sangat mahal di dunia korporat,” balasnya, suaranya mengandung tantangan.
“Aku ingin bicara serius denganmu di Gala. Aku ingin menawarkanmu sesuatu. Sesuatu yang akan mengakhiri semua perjuanganmu, semua hutang, dan semua masalah akademismu. Kau bisa memiliki segalanya, Amara.”
Aku berjalan ke cermin, melihat Amara dalam gaun hitamnya. Terlihat berkuasa, namun rentan.
“Dan apa yang harus saya berikan sebagai imbalan, Bapak Surya?” tanyaku, menjaga suaraku stabil.
“Loyalitas, Amara. Aku hanya ingin kecerdasanmu diarahkan pada tujuan yang benar tujuanku. Aku ingin kau menjadi wajah baru perusahaanku. Aku bisa membuatmu menjadi bintang, lebih besar dari sekadar pemenang Debat Nasional.”
Ini adalah jebakan. Dia tidak hanya menawarkan uang; dia menawarkan pembebasan dari Sistem tanpa harus berjuang. Dia menawarkan jalan pintas yang manis. Jalan pintas yang pernah dicari Kinara di kehidupan lamanya dan gagal didapatkan.
“Tawaran Anda menggiurkan, Pak Surya,” kotaku. “Tapi saya harus melihat mata Anda ketika saya menolaknya.”
Keheningan sesaat di telepon. Kemudian, tawa Surya yang lebih keras dan puas.
“Bagus. Aku suka tantangan. Sampai jumpa di Gala, Amara. Jangan sampai terlambat. Ada seseorang yang ingin sekali bertemu denganmu. Seseorang yang sangat penting di kampus ini.”
Dia menutup telepon. Aku tahu dia tidak berbicara tentang Rektor. Dia berbicara tentang Serena.
Aku mengambil kunci mobil (mobil Amara yang hampir disita penagih utang), merasakan bobot Gaun Sutra Hitam. Malam ini, aku akan memasuki lingkaran elit yang merusak Amara. Malam ini, aku akan bertemu saudara angkatnya, yang akan menjadi musuh utamaku.
“Permainan baru telah dimulai,” bisikku pada diri sendiri, melangkah keluar ke malam Jakarta yang glamor dan berbahaya. Kinara siap, tetapi Amara harus berakting sempurna.
Gala itu diadakan di sebuah hotel mewah di pusat kota, tempat yang terasa jauh lebih mahal daripada seluruh utang judi Amara. Musik klasik mengalun, dan para tamu, yang semuanya tampak sempurna dan berkuasa, bergerak dengan anggun.
Aku berjalan melewati pintu masuk, dan seketika, semua mata tertuju padaku. Bukan hanya karena gaun sutra hitam itu, tetapi karena cintaku yang kontradiktif: Antagonis Terbuang yang baru saja menjadi pahlawan reformasi.
Aku melihat Bapak Surya (Target 4) berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh para eksekutif. Dia menoleh, dan matanya bertemu dengan mataku. Ada campuran kepuasan dan kalkulasi dingin di tatapannya. Dia mengangguk, mengakui kehadiranku, dan menunggu.
Namun, sebelum aku sempat mengambil langkah ke arahnya, sebuah suara manis memanggil namaku dari samping.
“Amara! Ya Tuhan, kau terlihat luar biasa!”
Aku menoleh, dan waktu terasa lambat. Berdiri di sana, memancarkan aura kesempurnaan dan keagungan, adalah seorang wanita muda yang tampak seperti versi Amara yang sukses dan tanpa cacat. Dia mengenakan gaun biru muda, tersenyum hangat, namun matanya, mata yang sama persis dengan mata Amara, tidak mencapai senyumnya.
Serena. Saudara angkat Amara. Penjaga Data Kelas S.
Dia berjalan mendekat, memelukku erat, pelukan yang terasa dingin dan posesif. “Aku tidak percaya kau datang. Kau pasti sangat berani, Amara.”
Aku harus membalas pelukan itu, berhati-hati agar tidak menunjukkan kebencian Kinara yang mendalam.
“Aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk melihat bagaimana para penguasa kampus kita berpesta, Serena.”
Serena melepaskan pelukan itu, senyumnya sedikit menegang. “Kau sudah berubah banyak, ya? Aku dengar kau mulai berlagak kritis di kelas Sosiologi Pak Arka. Dan skandal BEM... astaga. Kau selalu tahu bagaimana menarik perhatian.”
“Aku hanya membersihkan nama Amara, Serena. Seseorang harus melakukannya, setelah semuanya kacau.” Aku sengaja menekan kata ‘kacau’.
Serena tidak bergeming. Dia meraih tanganku, seolah kami adalah teman lama yang penuh kasih sayang.
“Sayang sekali, Amara. Kau membersihkan namamu, tetapi kau lupa satu hal. Orang-orang di sini tidak peduli pada masa lalu yang bersih. Mereka hanya peduli pada siapa yang memegang kendali saat ini.”
Dia mencondongkan tubuhnya, berbisik di telingaku, nadanya penuh ancaman yang disembunyikan dalam kemanisan.
“Aku adalah pengendali data, Amara. Aku tahu setiap langkah yang kau ambil. Aku tahu utang-utang lama yang belum terbayar tuntas, dan aku tahu siapa yang mati agar kau bisa berada di sini.”
Jantungku mencelos. Dia tahu tentang Kinara. Dia tahu tentang transmigrasi ini.
“Sistem Koreksi Generasi bukanlah rahasia bagiku,” Serena melanjutkan, senyumnya kini benar-benar jahat.
“Kau mungkin memiliki skill acak itu, tetapi aku memiliki seluruh database. Aku adalah Penjaga. Dan aku akan mengembalikan tubuh Amara ke status antagonis terbuang jika kau berani mengganggu rencanaku di Gala ini.”
Dia melepaskan lenganku, dan matanya berkilat penuh kemenangan. Dia telah memberikan tembakan peringatan pertamanya. Kinara bukan hanya melawan sistem; Kinara melawan seseorang yang memiliki akses ke sistem itu sendiri.
Serena berbalik, melambaikan tangan ke Bapak Surya, dan berjalan menuju Konglomerat itu dengan langkah yang anggun dan berkuasa. Bapak Surya tersenyum padanya, seolah-olah dia adalah putri mahkota.
Aku berdiri membeku, menyadari bahwa aku baru saja bertemu dengan lawan yang jauh lebih kejam dan cerdas daripada yang aku bayangkan. Jika Serena tahu tentang Sistem, maka setiap skill yang aku gunakan, setiap aliansi yang aku buat, sudah tercatat dalam lognya.
Aku menelan ketakutan, dan mengambil napas dalam-dalam, memaksakan kaki Amara untuk melangkah maju menuju Bapak Surya. Pertarungan formal Kinara dan Serena telah dimulai di panggung elit ini.