Bunga yang pernah dikecewakan oleh seorang pria, akhirnya mulai membuka kembali hatinya untuk Malik yang selama setahun terus mengejar cintanya. Ia terima cinta Malik walau sebenarnya rasa itu belum ada. Namun Bunga memutuskan untuk benar-benar mencintai Malik setelah mereka berpacaran selama dua tahun, dan pria itu melamarnya. Cinta itu akhirnya hadir.
Tetapi, kecewa dan sakit hati kembali harus dirasakan oleh Bunga. Pria itu memutuskan hubungan dengannya, bahkan langsung menikahi wanita lain walaupun mereka baru putus selama sepuluh hari. Alasannyapun membuat Bunga semakin sakit dan akhirnya memikirkan, tidak ada pria yang tulus dan bertanggungjawab di dunia ini. Trauma itu menjalar di hatinya.
Apakah Bunga memang tidak diizinkan untuk bahagia? Apakah trauma ini akan selalu menghantuinya?
follow IG author : @tulisanmumu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Blokir
"Dek," panggil Silvia yang seketika membuyarkan lamunan panjang Bunga.
Bunga yang terkejut menoleh ke arah Silvia yang ternyata sedang berjalan mendekatinya. Wanita itu kini ikut duduk di tepian kolam renang dan memasukan kakinya ke dalam kolam, seperti yang dilakukan oleh Bunga.
"Kakak dan Mas Randi rencana nanti sore mau pulang ke rumah kami. Kamu ngga apa-apa, kan Kakak tinggal sendiri di rumah?" tanya Silvia pada Bunga.
"Sendiri gimana? Bibi ngga Kakak anggap apa?" tanya Bunga balik. Dahinya kini melipat mendengar pertanyaan Kakak nya itu.
"Ya bukan gitu, Kakak cuma takut kamu kesepian kalau Kakak tinggalin," ujar Silvia dengan percaya diri. “Dulu juga kamu paling takut kalau tinggal sendirian di rumah. Terus selalu minta ikut sama Kakak,” ucap Silvia dengan nada mengejek, mengingatkan Bunga dengan kisah mereka saat kecil.
"Apaan, itu waktu kecil, beda cerita dong” rajuk Bunga. “Lagian situ kepedean banget ngira aku bakalan kesepian,” ucap Bunga dengan senyum ‘devil’ ala Bunga, bibir sebelah kirinya naik ke atas.
"Nah gitu dong, balik senyum ‘devilnya’. Ini ngga, kusut terus itu muka dari tadi," ejek Silvia.
"Perasaan dari tadi biasa aja deh,” balas Bunga. Karena memang sedari tadi ia mencoba untuk terlihat seperti biasa saja, tak ada masalah.
"Perasaan kamu tapi tidak dengan orang yang lihat. Kamu kenapa sih, Dek? Pulang dari acara kemarin kamu kelihatan aneh. Udah pulang nggak pamit, terus langsung masuk kamar ngga keluar-keluar. Pagi juga tumben bangun telat. Kenapa? Ada masalah?" tanya Silvia yang sudah tidak tahan.
"Ngga ada apa-apa kok, Kak," jawab Bunga sambil tersenyum. Sebisa mungkin ia mencoba senyum tanpa terlihat terpaksa. Ia tidak ingin keluarganya mengetahui tentang masalah percintaannya.
"Bener nih?" tanya Silvia lagi meyakinkan. Matanya menyorot tajam ke arah Bunga, mencari kebohongan di wajah adiknya itu.
"Beneran Kakakku." Bunga menjawab sedemikian meyakinkan. Namun tetap saja, Silvia dapat melihat keanehan di wajah adiknya ini.
"Ya sudah kalau memang ngga ada apa-apa. Ini kamu ngga ada rencana keluar hari ini? Kemarin sebelum pergi ke pesta kamu bilang hari ini ada yang mau kamu temui." Walaupun tahu ada keanehan, namun Silvia tidak mau memaksa adiknya saat itu juga untuk bercerita. Mungkin ada waktunya nanti ia akan berbicara dari hati ke hati dengan Bunga, pikirnya.
Bunga menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Silvia.
"Ngga jadi!" Bunga kembali menghadap ke depan.
"Dek..," panggil Silvia lembut. "Kamu kalau lagi ada masalah, jangan sungkan untuk cerita sama Kakak, ya. Jangan dipendam semuanya sendiri. Kakak akan selalu berdiri disamping kamu," lanjutnya. Berusaha untuk acuh, namun tetap hati Silvia sebagai seorang kakak tidak bisa membuatnya acuh begitu saja.
"Terimakasih, Kak," jawab Bunga sambil tersenyum. Silvia yang melihat senyuman terpaksa dari Bunga hanya diam. Dirinya yakin jika saat ini sang adik dalam keadaan tidak baik. Namun sekali lagi ia tidak bisa memaksa jika Bunga sendiri tidak ingin membicarakannya.
"Oh iya, Dek. Kamu belum ada rencana untuk cari pasangan? Usia kamu udah pantas banget buat berumah tangga. Kakak juga dulu, kan nikah pas seusia kamu ini. Udah matang-matangnya ini, Dek," ucap Silvia mencoba mencari topik pembicaraan.
"Aku ngga ada kepikiran buat nikah sekarang, Kak," jawab Bunga seadanya.
"Lho kok ngga kepikiran? Kamu masih belum move on dari Fadi?" tanya Silvia.
Bunga yang mendengar Silvia menyebutkan nama pria yang dari masa lalunya langsung menatap tajam pada sang kakak.
"Bahkan aku hampir lupa bagaimana rupanya," ketus Bunga.
Silvia mencebikkan bibirnya mendengar jawaban Bunga.
"Apa sekarang kamu sudah memiliki kekasih lagi?" tanya Silvia lagi.
"No!" jawab Bunga cepat dan tegas.
"Lalu apa yang membuat kamu belum mau menikah?" Sebenarnya ini adalah pertanyaan titipan dari kedua orang tua mereka, yang merasa keheranan dengan Bunga yang masih betah sendiri di usia 30 tahunan.
"Entahlah. Belum ada terbayang aja." Bunga menundukkan kepalanya dan tidak sengaja pandangannya langsung tertuju pada cincin yang disematkan Malik di jari manisnya 2 bulan yang lalu, ketika pria itu melamarnya.
Silvia yang melihat arah pandang Bunga juga ikut tertuju pada jemari adiknya itu.
"Cincin kamu bagus. Kapan kamu belinya? Perasaan baru kali ini Kakak lihat cincin kamu yang itu," ujar Silvia.
Bunga menghela nafas panjang dan mengalihkan pandangannya kembali lurus ke depan.
"Ada kemarin, belinya di Singapura,” jawab Bunga secukupnya.
Silvia memandang intens wajah adiknya, dan ia semakin yakin jika ada sesuatu yang dialami oleh sang adik, tapi ia tidak bisa memaksa Bunga untuk bercerita padanya kini. Ia sangat tahu karakter sang adik yang selalu memilih memendam semua masalahnya sendiri, bahkan mengenai kisah cinta Bunga dengan mantan kekasihnya dahulu, Fadi, Silvia tahu dari sahabatnya Bunga, bukan dari Bunganya sendiri. Padahal dulu Bunga dan Fadi menjalin hubungan selama 3 tahun. Namun Bunga tidak pernah sekalipun menceritakannya pada dirinya ataupun pada kedua orang tuanya.
"Sayang..." panggil Randi. Pria itu berjalan menuju tempat Silvia dan Bunga berada.
"Kita pulang sekarang, ya, Mas mau mampir dulu sebelum ke rumah, ada mau beli sesuatu," ucap Randi.
Silvia mengangguk. "Oke, Mas." Silvia dan Bunga keluar dari kolam renang. Randi membantu Silvia keluar dari dalam kolam renang.
"Dek kami pulang dulu, ya," pamit Silvia.
"Iya hati-hati," jawab Bunga.
"Mama tadi telfon Mas Randi, katanya mereka pulang dengan penerbangan malam ini," ujar Randi.
"Oke, Mas. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya," ucap Bunga sambil mencium tangan kedua pasangan suami istri itu.
Randi dan Silvia mulai meninggalkan rumah orang tuanya sedangkan Bunga kembali duduk di sekitaran kolam renang. Kali ini ia menuju kursi santai yang ada di sana.
"Mbak Bunga, maaf. Ini hp nya getar terus dari tadi. Bibi tadi lagi beresin kamarnya Mbak Bunga. Bibi takut ini telepon penting, makanya Bibi bawa turun. Baterainya juga sudah full," kata Bi Ami yang tiba-tiba datang sambil membawa ponsel milik Bunga yang ia tinggalkan di kamar tadi. Rupanya ponselnya itu terus bergetar sejak tadi.
"Terima kasih, Bi," ucap Bunga.
Bi Ami tersenyum, kemudian berlalu meninggalkan Bunga kembali sendirian di tepi kolam renang. Bunga meletakkan ponsel tersebut ke atas meja yang ada di sebelahnya.
Ponsel miliknya bergetar kembali. Tanpa mengambil ponsel itu, Bunga dapat membaca dengan jelas nama sang penelepon. Ia menggeser tombol merah, tanda menolak panggilan tersebut. Tanpa menunggu lama, Bunga langsung memblokir nomor si pemanggil.
Sungguh ia sudah tidak mau lagi berurusan dengan pria itu. Ia akan menganggap bahwa pria yang bernama Malik itu tidak pernah ia kenal, seumur hidupnya.
Semoga masih ada harapan Bunga kembali ke Fadi
Mama nya Jelita hamil dengan orang lain dan Fadi yg menikahi nya
Jelita bertemu dengan tante Bunga di IGD & Bunga tidak menyangka kalau papa Jelita adalah Fadi sang mantan.
2 mantan berada di IGD semua dengan kondisi yang berbeda