NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 30

Saat Rafael hendak melangkah keluar dari ruang bawah tanah, ponselnya tiba-tiba berdering. Ia menatap layar sejenak, lalu segera mengangkatnya. Suara di seberang sana adalah Marco, salah satu anak buah kepercayaannya.

"Bagaimana? Apa kau sudah menemukan keberadaan istriku?" tanya Rafael dengan nada tegas, matanya tajam menatap ke depan.

Marco menjawab cepat, "Sejak saya menelepon terakhir kali, kami terus menelusuri jejak mobil yang digunakan para penculik. Rekaman CCTV menunjukkan mobil itu mengarah ke sebuah gedung tua di pinggiran kota."

Rafael mendengus pelan, rahangnya mengeras. "Terus awasi tempat itu sampai aku datang. Jangan biarkan mereka menyadari keberadaan kalian," perintahnya dingin, lalu langsung menutup panggilan tanpa menunggu jawaban.

Tanpa membuang waktu, Rafael melangkah cepat menuju pintu keluar. Di belakangnya, seorang pria sejak tadi mengikutinya. Juno. mengatur langkah untuk ikut serta. Namun Rafael menoleh dan menatap tajam ke arahnya.

"Aku akan pergi sendiri," ucap Rafael tegas.

Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Segera beri perintah kepada seluruh anak buahmu. Temukan pelayan bernama Mia. dan siapapun yang terlibat dalam kasus ini. Aku ingin mereka dihabisi. Mereka telah bermain-main dengan orang yang salah."

Ucapannya penuh amarah dan dingin seperti es. Setelah itu, ia membuka laci meja yang berada tak jauh dari pintu, mengambil sepucuk pistol yang terletak di dalamnya. Ia memeriksa pelurunya sebentar, lalu menyelipkan senjata itu ke balik jas hitam yang dikenakannya.

Tanpa sepatah kata lagi, Rafael meninggalkan tempat itu, dengan tujuan yang telah jelas: memburu para penculik dan membawa pulang istrinya. hidup atau mati, tidak ada yang akan lolos dari amarahnya.

...

Sudah hampir dua hari Dewi disekap dalam gedung tua itu. Rasa dingin menusuk dari lantai beton yang lembap, dan debu yang menumpuk di sekeliling membuat napasnya sesak. Tangannya masih terikat di posisi yang sama, tubuhnya lemah karena tak diberi makanan layak, dan pikirannya kalut karena tak tahu apa yang akan dilakukan oleh pria menyeramkan bernama Malik.

Tangisnya tak kunjung reda. Dalam keputusasaan, Dewi hanya bisa berdoa. berharap ada keajaiban yang datang menyelamatkannya. Tapi pagi itu, rasa sakit lain datang. Perutnya menegang, nyeri tak tertahankan menjalar hingga ke punggung bawah, membuat Dewi menggeliat dalam keterbatasan gerak.

Lalu ia merasakan sesuatu yang hangat mengalir di antara pahanya.

Panik, ia menunduk sebisa mungkin dan melihat darah, darah pekat yang merembes di antara robekan pakaian dan mengalir ke lantai. "Tidak... tidak... tolong..." isaknya pecah, air mata makin deras.

Pintu tiba-tiba terbuka keras. Malik muncul di ambang pintu dengan tatapan tajam. "Kenapa kau berisik sekali?" tanyanya dengan nada dingin.

Dewi, dengan suara lemah, berteriak, "Anakku... sakit... aku bisa mati... tolong... tolong..."

Malik menatap darah itu. Tak ada raut kasihan di wajahnya. Hanya senyum miring yang menyeramkan. "Oh, jadi anak itu ingin keluar sekarang? Menarik juga... kita jadi tahu apakah dia laki-laki atau perempuan."

Dewi semakin panik, tubuhnya bergetar hebat, bukan hanya karena rasa sakit tapi juga karena teror yang menghimpitnya. Ia meronta, tapi kekuatannya telah lama terkuras. Malik mendekat, melepas ikatan di tangan dan kakinya hanya untuk memindahkannya ke tempat lain. sebuah ranjang tua berdebu di sisi ruangan.

Dewi tak berhenti meronta, tak berhenti menangis.

"Berhenti bergerak!" bentak Malik, lalu mengikat Dewi kembali di atas ranjang itu.

Sakitnya makin menjadi. Dewi merasa tubuhnya seperti terbelah, tetapi ia tak bisa bergerak, bahkan untuk mengelus perutnya sendiri. Malik lalu berjalan menuju meja kayu di sudut ruangan. Dari dalam lacinya, ia mengeluarkan sesuatu. Dewi tak bisa melihat jelas, tapi suara gesekan logam membuat jantungnya nyaris berhenti.

"Tenang saja," ucap Malik pelan. "Aku hanya ingin memastikan anak itu lahir... dan aku melihatnya dulu sebelum Rafael."

Wajah Dewi memucat. Ia tahu, jika tak segera ditolong, nyawanya dan bayinya terancam. Tapi dalam hatinya, ia bertekad: aku akan bertahan… demi anakku.

Malik kembali menghampiri ranjang dengan langkah lambat, setiap injakan kakinya seperti dentang jam kematian. Di tangannya, pisau bedah mengkilap telah siap. Dewi melihatnya. dan dalam sekejap, jeritan membuncah dari tenggorokannya.

"JANGAN!! Jangan... tolong... JANGAN!!" raungnya histeris, tubuhnya melengkung karena rasa sakit yang tak tertahan dari perutnya yang berkontraksi dan rasa takut yang menghancurkan akal sehatnya.

Malik tak bicara. Tatapannya kosong, matanya seperti lubang neraka yang tak memiliki dasar. Ia mendekatkan pisaunya ke bawah perut Dewi, mengamati setiap gerakan tubuh yang bergetar ketakutan itu.

"Lihat betapa kerasnya dia ingin keluar," bisik Malik, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Mari bantu dia."

Dewi meronta, air mata membasahi pipinya, mulutnya basah oleh liur dan darah karena menggigit kain penyumbat terlalu kuat. Namun, semua sia-sia.

"Aku mohon... aku mohon..." bisiknya di sela tangis yang tercekat, tapi Malik mulai bekerja. Tanpa bius. Tanpa belas kasihan.

Pisau itu menyentuh kulitnya.

"GYAARRRGHHHH!!"

Jeritannya meledak di udara, menembus dinding tua itu dan menggema dalam ruang hampa keadilan. Tubuhnya terangkat beberapa inci dari ranjang karena rasa sakit yang luar biasa. Malik menekan dengan perlahan, menarik pisau itu menoreh kulit dan otot. Darah langsung mengalir deras, menetes ke lantai, mengotori tangannya.

"Aku... aku tidak bisa... Tuhan... hentikan ini...!" Dewi memekik, tubuhnya kejang, pandangannya mulai mengabur oleh rasa sakit dan kehilangan darah.

Malik tetap tenang, wajahnya seperti dokter bedah yang terobsesi. Ia membuka daging itu seperti membuka hadiah. Rasa jijik dan horor bergemuruh dalam ruangan.

"Napasmu cepat sekali," katanya tenang, "tapi jangan khawatir. Kalau kau mati duluan, aku tetap bisa menyelamatkan anakmu."

Dewi menangis keras, menggeliat meski tubuhnya melemah drastis. Suara parau dan rintihan tak pernah berhenti mengalir dari bibirnya.

"Berhenti... BERHENTI... dia anakku... kumohon...!" jeritannya nyaris tak terdengar karena isak dan napas yang kian tersengal.

Malik mempercepat gerakannya. Pisau kini benar-benar telah membelah sebagian perut Dewi. Darah muncrat. Daging yang terbuka menunjukkan betapa kejamnya dunia ini pada seorang ibu yang hanya ingin melindungi anaknya.

Tiba-tiba Dewi berteriak lagi, kali ini lebih pelan. lebih seperti bisikan maut.

"RAFAEL..."

Matanya nyaris menutup, tubuhnya menggigil, napasnya satu-satu. Malik mengulurkan tangan bersarungnya, memasuki rongga yang baru saja ia buka paksa.

Dan tepat saat itu.

DOOR!

Sebuah suara tembakan memecah udara, menghantam dinding tepat di dekat kepala Malik. Ia terkejut, menoleh dengan cepat.

DUARR!!

Pintu ruang itu jebol, dan Rafael menerobos masuk dengan mata merah, penuh amarah. Di belakangnya, Marco dan dua orang bersenjata lengkap menyebar.

“LEPASKAN DIA!” teriak Rafael, suaranya seperti raungan binatang buas yang siap mencabik siapa pun.

Malik mundur dengan tangan masih berdarah. Tapi ia tahu, tak ada tempat lari.

“Sudah terlambat…” katanya pelan sambil tersenyum, menunjuk perut Dewi yang terbuka.

“KAU BINATANG!” Rafael berlari, menghantam Malik dengan tubuhnya hingga mereka jatuh bersama. Tinju demi tinju mendarat ke wajah Malik, disertai suara retakan tulang. Tapi Rafael tak berhenti. seperti orang gila, ia terus memukul hingga tangan dan bajunya basah oleh darah musuhnya.

Marco segera bergerak ke arah Dewi. “Tuhan… cepat! Dia masih bernapas! Kita harus bawa dia ke rumah sakit sekarang!!”

“ anakku! Tolong… selamatkan anakku…” suara Dewi parau, nyaris tak terdengar. Pandangannya buram, tapi ia bisa melihat Rafael berdiri di sisinya.

"Aku di sini... sayang... aku di sini..." Rafael memeluk tubuhnya yang bersimbah darah, tak peduli pakaiannya ikut tercemar. Tangannya menggenggam tangan Dewi yang gemetar.

“Maafkan aku… aku datang terlambat…”

Dewi tersenyum lirih. senyum yang pilu, penuh luka.

“Kau datang... tepat waktu…”

Tubuhnya melemas.

“DEWI!” teriak Rafael.

Tapi Marco berteriak, “Dia pingsan! Cepat! Kita harus bawa dia keluar dari sini sekarang juga!”

Tanpa buang waktu, Rafael mengangkat Dewi yang terbungkus darah dan sisa penderitaan itu keluar dari ruang neraka itu. Malik, kini tak bergerak dalam kondisi sekarat. wajahnya hancur, tubuhnya penuh luka.

Namun Rafael belum selesai.

Ia menoleh pada Marco. “ bawa binatang itu, ke ruang bawah tanah.”

Marco memberikan isyarat kepada dua anak buahnya. Mereka bergerak cepat, mengangkat tubuh Malik yang tak berdaya, setengah terseret, setengah diseret paksa, darah menetes di sepanjang lantai menuju luar ruangan. Tatapan Malik kosong. Tapi masih hidup. Nafasnya berat, tak beraturan. Luka di wajahnya menganga, beberapa giginya copot, dan salah satu matanya nyaris tertutup karena bengkak parah.

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!