Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.
Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13
Raisa duduk di ruang tamu apartemen Ardan, memeluk bantal erat-erat. Di balik pintu ruang kerja, suara Ardan dan seorang wanita terdengar meninggi.
“Kamu gila, Ardan?!” suara perempuan itu menggema. “Kamu sadar nggak apa yang kamu lakukan di konferensi pers tadi?!”
Ardan menjawab tenang, tapi tegas. “Aku tahu persis apa yang aku lakukan.”
“Kamu mempermalukan keluarga!”
Raisa meringis. Keluarga… Jadi inilah kakak Ardan yang disebutnya kemarin.
“Nama baik perusahaan, reputasi kita—semuanya jadi bahan gosip karena kamu. Dan demi apa? Demi mahasiswi seumuran anakmu?!”
Raisa menelan ludah, hatinya mencelos. Kalimat itu menusuk.
Di dalam, Ardan tidak goyah. “Jangan bawa-bawa anakku. Ini urusanku.”
“Urusanmu?” suara kakaknya meninggi. “Ardan, kamu sudah terlalu jauh. Kamu bahkan nggak mikir dampaknya ke semua orang. Dia itu… bahkan se-usia anakmu! Kamu dengar? SE-USIA ANAKMU!”
Raisa menunduk, matanya panas. Se-usia anaknya… Kata-kata itu seperti cambuk yang mengingatkan: jarak mereka bukan hanya angka.
Pintu ruang kerja terbuka keras. Seorang wanita elegan berusia empat puluhan keluar dengan ekspresi marah. Ia melirik Raisa sekilas—pandangan yang tajam, penuh penilaian—sebelum pergi tanpa sepatah kata.
Raisa mematung di sofa, tubuhnya kaku.
Ardan keluar tak lama kemudian. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tajam—tanda ia sedang menahan emosi.
“Raisa.”
Raisa berdiri cepat. “Om… aku—aku minta maaf.”
Ardan mengerutkan alis. “Maaf? Untuk apa?”
“Gara-gara aku… Om jadi berantem sama keluarga. Mereka benar, Om. Aku… se-usia anak Om. Orang pasti mikir yang nggak-nggak. Dan—”
Ardan mendekat, menangkup wajah Raisa dengan kedua tangannya. “Berhenti.”
Raisa tercekat.
“Jangan minta maaf untuk sesuatu yang bukan salahmu.”
“Tapi Om—”
“Kalau ada yang salah, itu aku. Karena aku nggak peduli apa kata mereka. Karena aku pilih kamu di atas semuanya.”
Raisa terdiam. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Kenapa, Om? Kenapa sejauh ini buat aku? Aku bahkan… nggak tahu aku layak atau nggak.”
Ardan menarik napas panjang, lalu menariknya ke dalam pelukan.
“Karena kamu satu-satunya yang bikin aku merasa hidup lagi.”
Raisa membeku dalam pelukan itu. Kata-kata itu… terlalu berat untuk dianggap main-main.
Mereka berdiri lama dalam diam. Hanya suara hujan di luar yang menemani.
Akhirnya Ardan melepaskan pelukan, menatapnya. “Dengerin aku baik-baik. Mereka boleh bilang aku gila, mereka boleh bilang apa saja. Tapi ini hidupku. Dan aku tahu apa yang aku mau.”
Raisa menunduk. “Dan… yang Om mau… aku?”
Ardan menatapnya dalam. “Ya. Kamu.”
Raisa menggigit bibir. Ada rasa takut, ada ragu, tapi ada juga kehangatan yang menelan semua itu.
“Om…” suaranya hampir berbisik. “Aku takut.”
Ardan mengelus kepalanya. “Kalau kamu takut, pegang tanganku. Aku nggak akan lepasin kamu, Raisa.”
Malam itu, Raisa berbaring di kamar tamu apartemen. Lampu dimatikan, tapi matanya tak kunjung terpejam.
Kalimat kakak Ardan terus terngiang: “Dia se-usia anakmu!”
Tapi di sisi lain, kata-kata Ardan menenangkannya: “Aku nggak akan lepasin kamu.”
Hatinya berperang.
Sampai akhirnya ia sadar—ia sudah memilih.
Di ruang kerjanya, Ardan duduk sendirian menatap jendela yang basah oleh hujan. Teleponnya berdering.
Nomor yang ia kenal.
“Apa kau puas?” suara kakaknya dingin.
Ardan menjawab tanpa ragu. “Kalau aku harus melawan semua orang demi dia, maka ya. Aku puas.”
Dan di situlah Ardan tahu—badai baru saja dimulai.
*
Sudah tiga hari sejak konferensi pers.
Raisa menatap ponselnya yang penuh dengan notifikasi: pesan masuk dari nomor tak dikenal, mention di media sosial, bahkan pesan-pesan bernada ancaman.
“Dasar perusak rumah tangga!”
“Modal cantik doang, numpang nama om-om!”
“Coba deh cari cowok seumuran, jangan numpang hidup!”
Ia mematikan ponsel dengan tangan gemetar. Ia tak pernah merasa seburuk ini.
Di kampus, situasinya sama buruknya.
Begitu Raisa melangkah ke koridor, bisik-bisik langsung terdengar.
“Itu dia, yang viral sama Om Ardan.”
“Cantik sih… tapi ya ampun, tega banget ya.”
“Kalau ada uang, semua bisa.”
Raisa menunduk, mempercepat langkah. Matanya panas, tapi ia menahan air mata.
“Rai!” Dina berlari menghampiri. “Kamu kenapa? Mukamu pucat banget.”
Raisa memaksakan senyum. “Nggak apa-apa. Aku cuma… capek.”
Dina mendesah. “Aku bilang apa? Kamu tuh harusnya nggak usah balik dulu ke kampus. Semua orang lagi ngomongin kamu. Kamu kuat?”
Raisa menghela napas panjang. “Kalau aku nggak balik, orang-orang makin punya alasan ngomongin aku. Jadi biarin.”
Tapi ia tahu—hatinya mulai retak.
Siang itu, saat Raisa keluar dari kelas, ponselnya berdering. Nama Ardan muncul di layar.
“Om…” suaranya bergetar.
“Turun ke parkiran,” suara Ardan terdengar di seberang, singkat tapi lembut. “Sekarang.”
Raisa menelan ludah. Dalam hati, ia bertanya-tanya: Apa lagi yang akan Om lakukan sekarang?
Begitu sampai di parkiran, ia melihat mobil hitam Ardan terparkir. Pria itu bersandar di bodi mobil, memakai kemeja biru muda yang dilipat sampai siku. Santai, tapi wibawa itu tetap menempel.
“Om…”
“Masuk.”
Raisa mengernyit. “Kita mau ke mana?”
Ardan membuka pintu untuknya. “Kabur sehari.”
Raisa duduk di kursi penumpang, masih bingung. “Kabur… ke mana?”
Ardan hanya meliriknya sambil menyalakan mesin. “Kamu butuh udara. Jadi kita pergi.”
Dua jam kemudian, mereka berhenti di sebuah pantai sepi di luar kota. Tidak ada turis, hanya deburan ombak dan suara burung camar.
Raisa turun dari mobil, menghirup dalam-dalam. “Om… ini indah banget.”
Ardan berjalan di sampingnya. “Kalau dunia terlalu berisik, cari tempat di mana kamu bisa dengar dirimu sendiri.”
Mereka duduk di atas pasir, membiarkan ombak menyentuh kaki. Raisa menatap laut. “Om… apa semua ini… layak?”
Ardan menoleh. “Maksudmu?”
“Semua caci maki, semua orang yang benci… apa layak cuma demi… aku?”
Ardan terdiam sebentar. Lalu ia berkata, “Kalau aku harus kehilangan separuh dunia untuk mempertahankanmu, itu tetap layak.”
Raisa menunduk, air matanya jatuh. Kalimat itu menghantam jantungnya keras.
“Om.”
“Ya?”
“Kalau aku bilang… aku nggak mau lari lagi… Om marah nggak?”
Ardan menatapnya dalam. “Aku nggak akan pernah marah kalau kamu jujur sama dirimu sendiri.”
Raisa menghela napas panjang, lalu berkata pelan, “Aku… mau berdiri di samping Om. Apa pun yang terjadi.”
Ardan menutup mata sebentar, lalu mengulurkan tangannya. “Kalau gitu, jangan lepasin aku.”
Raisa menggenggam tangannya erat. “Nggak akan.”
Mereka duduk lama, hanya menggenggam tangan dan mendengar ombak.
Untuk pertama kalinya setelah semua kekacauan, Raisa merasa… tenang.
Saat matahari mulai turun, Ardan membuka bagasi mobil. “Aku bawa sesuatu.”
Raisa mengernyit. “Apa?”
Ardan mengeluarkan kotak kecil. Raisa membuka kotak itu—di dalamnya ada coklat praline berbentuk hati.
“Om ini…” Raisa terkekeh kecil. “Sengaja banget ya?”
Ardan mengedikkan bahu. “Katanya coklat bisa bikin orang bahagia. Dan aku suka lihat kamu bahagia.”
Raisa menggigit coklat itu. Manisnya meleleh di lidahnya—dan entah kenapa, hati Raisa juga ikut meleleh.
“Om.”
“Hmm?”
“Kalau aku jatuh cinta banget sama Om… gimana?”
Ardan menatapnya, lalu menjawab pelan, “Jatuhlah. Aku akan menangkapmu.”
Sore itu, Raisa tahu satu hal: ia tidak sendirian.
Dan apapun badai yang datang, ia siap berdiri di samping pria ini.