Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional
Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.
Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.
Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
aroma cemburu di dapur sempit
Bi Ratmi kini resmi tinggal di rumah Arfan dan Laila. Kamar kecil bekas gudang di dekat dapur telah disulap seadanya menjadi tempat istirahatnya. Dindingnya masih berwarna kusam, sebagian cat mengelupas, tapi Bi Ratmi tak mengeluh. Ia malah terlihat cekatan saat merapikan tempat tidurnya, menyapu lantai, dan menyusun barang-barang sederhana miliknya di sudut ruangan.
Laila berdiri di ambang pintu kamar itu sambil menyandarkan tubuhnya pada dinding, menyaksikan Bi Ratmi yang penuh semangat.
"Bi, kamarnya seadanya ya... soalnya ini dadakan banget. Belum sempat kami tata ulang," ujar Laila dengan nada sungkan.
"Enggak apa-apa, Bu. Saya malah bersyukur banget bisa tinggal di sini dan kerja sama Ibu," jawab Bi Ratmi sambil tersenyum.
Laila mengangguk. Senyum wanita itu memang ramah, tapi entah kenapa hatinya terasa menggelitik. Tatapan mata Bi Ratmi jernih dan hangat, tidak ada yang salah darinya. Tapi ada perasaan tak nyaman yang mulai tumbuh diam-diam.
Usia Bi Ratmi 38 tahun, namun wajahnya seperti tak lekang waktu. Kulitnya bersih, tubuhnya bugar, dan pembawaannya tenang. Laila tahu, Bi Ratmi bukan wanita sembarangan. Ia terlatih, sopan, dan tahu diri. Tapi justru itu yang membuat Laila semakin waspada.
Apalagi, ia mengenal betul suaminya.
Arfan adalah pria yang keras, dominan, dan memiliki hasrat yang tinggi. Dalam satu sisi, Laila merasa beruntung masih bisa membuat suaminya tertarik selama ini. Tapi dalam sisi lain, ia tahu Arfan mudah tergoda jika ada hal-hal baru yang merangsang pikirannya.
Dan Bi Ratmi... dengan semua kelebihannya, bisa menjadi percikan bahaya dalam rumah tangga mereka.
Malam harinya, saat Laila dan Arfan sudah berada di kamar, Laila mencoba membicarakan sesuatu.
"Mas... Bi Ratmi kayaknya cocok kerja di sini. Tapi aku... nggak tahu, agak khawatir juga sih."
Arfan yang sedang bermain ponsel hanya menoleh sebentar. "Khawatir kenapa?"
"Yaa... kamu tahu sendiri, dia masih muda, cantik juga... kamu jangan aneh-aneh ya."
Arfan tertawa kecil. "Sayang, kamu ini mikir apa sih? Dia itu pembantu. Kamu pikir aku semurah itu, apa?"
Laila diam. Ia tidak tahu harus percaya atau tetap waspada.
"Aku cuma bilang karena aku tahu sifat kamu. Bukan nuduh," katanya perlahan.
Arfan menurunkan ponselnya. "Dengar ya, aku cuma tertarik sama kamu. Enggak usah mikir aneh-aneh."
Laila memaksakan senyum, tapi hatinya tidak sepenuhnya tenang.
Keesokan harinya, Bi Ratmi mulai menunjukkan kehebatannya dalam bekerja. Rumah yang biasanya ditata Laila dengan sederhana, kini terlihat lebih rapi dan bersih. Bahkan, meja makan disiapkan dengan sentuhan kecil yang membuatnya tampak lebih hidup—ada pot kecil berisi bunga, dan sajian sarapan yang ditata rapi.
"Bu, saya buatkan teh hangat sama roti bakar. Katanya Ibu suka roti dengan selai stroberi," ucap Bi Ratmi ramah.
Laila agak kaget. Ia tak pernah memberitahu soal itu.
"Eh... tahu dari mana?"
"Saya dengar waktu Ibu cerita sama Bu Yani kemarin sore," jawab Bi Ratmi.
Laila tersenyum kaku. Ia mengangguk pelan, lalu duduk. Di satu sisi, ia merasa nyaman dengan pelayanan Bi Ratmi. Tapi di sisi lain, ia makin yakin bahwa wanita ini bukan orang sembarangan. Ia cerdas, cepat tanggap, dan tahu bagaimana mengambil hati orang.
Dan itu termasuk suaminya.
Siang itu, Laila diam-diam memperhatikan dari balik pintu dapur saat Arfan sedang berbicara dengan Bi Ratmi.
"Bi, kamu masak apa tadi? Harum banget," tanya Arfan santai.
"Oh, itu masakan semur jengkol, Pak. Saya tambahin daun jeruk dan pala biar wangi khasnya keluar."
Arfan mengangguk-angguk. "Wah, pantesan... harum banget."
Mereka berbicara sambil tertawa ringan. Tidak ada yang mencurigakan. Tapi hati Laila kembali terasa aneh. Ia merasa seperti ada yang perlahan masuk ke wilayahnya.
Wilayah yang seharusnya hanya milik dia.
Setelah makan malam, Laila kembali mencoba berbicara dengan Arfan. Kali ini dengan nada yang lebih serius.
"Mas... boleh aku jujur?"
"Selalu boleh. Ada apa lagi?"
"Aku cuma... takut kehilangan. Aku takut kamu berpaling karena... aku tahu aku nggak sempurna, aku capek, aku suka ngomel, dan kamu pasti capek juga lihat aku."
Arfan menatap Laila, kali ini tanpa senyum.
"Kamu mikir sejauh itu, karena Bi Ratmi?"
Laila mengangguk pelan.
Arfan menarik napas. "Sayang, kamu itu istri aku. Aku mungkin keras kepala, mungkin nggak selalu perhatian... tapi aku nggak pernah berniat berpaling. Kamu terlalu berharga buat aku."
Laila terdiam. Air matanya menggenang, namun ia tahan.
"Terima kasih, Mas," bisiknya.
Tapi jauh di dalam, ia tahu... rasa cemburu itu belum pergi sepenuhnya.