Dia adalah darah dagingnya. Tapi sejak kecil, kasih ibu tak pernah benar-benar untuknya. Sang ibu lebih memilih memperjuangkan anak tiri—anak dari suami barunya—dan mengorbankan putrinya sendiri.
Tumbuh dengan luka dan kecewa, wanita muda itu membangun dirinya menjadi sosok yang kuat, cantik, dan penuh percaya diri. Namun luka masa lalu tetap membara. Hingga takdir mempertemukannya dengan pria yang hampir saja menjadi bagian dari keluarga tirinya.
Sebuah permainan cinta dan dendam pun dimulai.
Bukan sekadar balas dendam biasa—ini adalah perjuangan mengembalikan harga diri yang direbut sejak lama.
Karena jika ibunya memilih orang lain sebagai anaknya…
…maka dia pun berhak merebut seseorang yang paling berharga bagi mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amplop 5 Juta Saja?
Setelah menyantap nasi bungkus yang dibuatkan sang nenek, Hana merebahkan tubuhnya di atas kasur tipis yang mulai menghangat oleh tubuhnya. Lelah masih menggantung di sendi-sendi, tapi hatinya terasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena sudah menumpahkan sebagian luka lewat amplop tadi, atau mungkin, karena ia akan segera mendengar suara yang sangat ia rindukan.
Ia mengambil ponsel kecilnya dari dalam tas. Layar retaknya tak mengurangi harapannya. Ia lalu mengetik nomor yang sudah dihafalnya luar kepala. Tapi tentu saja ia tidak bisa langsung menelepon, tidak dari rumah ini. Bukan dengan ancaman keberadaannya harus tetap tersembunyi.
Dengan hati-hati, ia mengirim pesan terlebih dahulu pada Nisa, tetangga yang seumuran dengannya di desa, teman kecilnya, dan satu-satunya yang ia percaya. Beberapa menit kemudian, Nisa menghubungi balik, dan Hana langsung mengangkat panggilan video itu.
Wajah keriput Nenek Ningsih muncul di layar, diapit oleh kain kerudung lusuh yang tak mengurangi kehangatan matanya.
"Hana... Alhamdulillah, kamu sudah sampai," suara sang nenek terdengar tercekat, matanya berkaca-kaca.
"Iya, Nek. Aku sudah di rumah ibu. Maaf belum sempat kabari lebih cepat," suara Hana nyaris tenggelam dalam haru.
Keduanya diam sejenak, hanya saling menatap. Ada rindu, ada takut, ada bahagia yang semua bercampur menjadi satu. Ini pertama kalinya mereka hidup berjauhan. Selama sepuluh tahun lebih, hanya merekalah yang saling menjaga dan menyembuhkan luka satu sama lain.
“Kamu sudah makan nak?”
Hana tersenyum tipis. “Aku sudah makan nasi bungkus dari nenek tadi, masih enak walau sudah dingin.”
Ningsih mengangguk pelan, wajahnya jelas tak bisa menutupi rasa khawatir. Tapi ia berusaha kuat.
“Nenek cuma minta kamu sabar. Jangan terlalu cepat marah. Waktumu akan datang. Kamu pasti bisa ambil kembali hak kamu, tapi harus tetap jaga hati. Jangan seperti mereka.”
Hana menahan air matanya. “Nenek juga harus jaga kesehatan. Jangan sampai jatuh sakit. Nenek harus panjang umur, harus lihat aku berhasil, lihat aku bawa pulang semua yang pernah direbut dari kita.”
Sang nenek tersenyum, kali ini tulus meski getir. “Insya Allah. Nenek akan selalu mendoakanmu Nak. Hati-hati disana dan jaga kesehatan.”
Panggilan berakhir dengan doa yang dibisikkan di antara isak perlahan. Hana memeluk ponselnya sesaat sebelum meletakkannya kembali ke tas.
Sunyi menyelimuti kamar. Hanya suara kipas angin tua dari dapur yang sesekali berderit.
Hana bangkit perlahan, lalu membuka tas kecil berisi mukena putih lusuh. Ia berjalan pelan ke kamar mandi belakang, mengambil air wudhu dengan hati-hati, agar tak menimbulkan suara mencolok.
Setelah itu, ia kembali ke kamar dan membentangkan sajadah tipis yang digulung rapi dari dalam tas. Dengan tenang, ia menunaikan shalat Dzuhur, menundukkan tubuh dan hatinya di hadapan Tuhan, satu-satunya tempat ia bisa menumpahkan semuanya, tanpa dihakimi, tanpa diabaikan.
Dalam sujudnya, Hana berdoa. Bukan hanya untuk kekuatannya sendiri, tapi juga untuk neneknya. Untuk keadilan. Untuk hati ibunya yang suatu hari semoga bisa kembali mengenalnya, bukan sebagai ancaman, tapi sebagai anaknya.
Setelah menunaikan shalat, tubuh Hana rebah begitu saja di atas kasur tipis. Mukenanya masih melekat di tubuh, menutupi wajah yang lelah dan hati yang penuh luka. Dalam sekejap, kantuk menyerangnya dan tanpa sadar, ia pun tertidur.
Namun tidur itu tak berlangsung lama.
Brrrummm... brrrr...
Suara mesin cuci menggerung dari ruangan sebelah. Suara itu cukup keras, membuat Hana terbangun perlahan. Matanya masih berat, tapi kesadarannya perlahan kembali.
Kamar pembantu itu memang bersebelahan langsung dengan ruang laundry, ruangan kecil tempat mesin cuci dan jemuran berdiri. Melalui jendela kecil yang berdebu, Hana bisa melihat ibunya berdiri di sana, sibuk membongkar tumpukan baju.
Baju-baju milik Malika.
Renda, satin, sifon, semua bahan lembut yang mudah sobek. Tapi Sri begitu hati-hati. Beberapa bahkan tak dimasukkan ke mesin. Ia mencucinya dengan tangan, penuh ketelitian dan kesabaran. Matanya fokus, gerak tubuhnya terlatih. Seolah pekerjaan itu bukan beban, tapi bagian dari kasih sayang yang diberikan dengan rela.
Hana hanya bisa mengamati dalam diam.
Perasaannya menghangat. Bukan karena rasa senang, melainkan rasa cemburu yang lagi-lagi hadir dalam diam, dalam kepedihan yang perlahan menusuk.
Betapa beruntungnya Malika.
Kehilangan ibu kandung tidak membuatnya kekurangan kasih seorang ibu. Justru ia mendapat versi terbaik dari seorang perempuan bernama Sri, sosok yang seharusnya malaikat tak bersayap baginya.
Sejak Hana datang, tak ada secangkir teh. Tak ada piring nasi. Bahkan setetes air pun ibunya tak tawarkan. Yang ada hanyalah tatapan curiga, nada tinggi, dan perintah untuk diam.
Hana perlahan mundur dari jendela kecil itu, duduk di atas kasurnya lagi. Mukena masih terlipat setengah di tubuhnya. Pandangannya kosong.
Dicarinya satu kenangan manis, satu saja, tentang ibunya.
Tapi yang muncul hanyalah kenangan masa kecil yang dipenuhi penantian dan pertanyaan.
Setelah ayahnya meninggal saat ia baru lima tahun, ibunya semakin jarang pulang. Selalu dengan alasan ‘mencari uang’, ‘membangun masa depan’, ‘demi kamu juga, Hana’. Tapi yang ia lihat hanya punggung yang makin menjauh. Dalam setiap malam, hanya pelukan neneknya yang hadir menenangkan.
Ibunya tak pernah benar-benar ada. Bahkan saat Hana sakit. Bahkan saat ia menangis memanggilnya.
Kini, belasan tahun telah berlalu. Tapi yang berubah hanya usia, bukan jarak hati mereka.
Hana menarik napas panjang. Ia menatap ke langit-langit kamar yang kusam, lalu menatap kedua telapak tangannya.
“Kalau dulu aku terlalu kecil untuk bertanya, sekarang aku cukup besar untuk menuntut,” bisiknya pada diri sendiri.
Ia tidak datang untuk merayu cinta yang tak ada. Ia datang untuk mencari keadilan,untuk dirinya, untuk neneknya, untuk semua luka yang pernah mereka telan sendirian.
Dan jika harus bertahan dalam rumah ini demi itu semua, ia akan bertahan.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka.
Sri muncul dengan langkah cepat, tanpa mengetuk, tanpa permisi. Di tangannya, sebuah nampan berisi sepiring nasi putih dan sepotong tempe goreng. Tak ada senyum, tak ada sapaan. Hanya ekspresi datar bercampur cemas.
Hana menoleh sekilas, tapi tidak segera bangkit. Ia hanya menatap piring itu dengan sorot mata kosong, lalu kembali menunduk.
“Sebentar lagi suamiku pulang,” ujar Sri cepat, tanpa menatap mata Hana. “Sekali lagi aku bilang, jangan keluar kamar, jangan bersuara.”
Ia meletakkan piring itu di atas lantai dekat kasur, seperti meletakkan barang yang hendak dikembalikan ke tempat asalnya. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya sebuah amplop kecil lusuh.
“Aku cuma punya satu juta sekarang. Besok pagi, aku akan minta pada suamiku, aku akan minta empat juta lagi,” katanya sambil menyerahkan amplop itu ke Hana.
Sri menatap wajah putrinya sejenak, seolah menunggu reaksi. Tapi Hana hanya mengangkat bahu, datar.
“Jadi kamu bisa pulang besok. Lima juta, itu lebih dari cukup kan? Untuk ongkos pulang dan biaya hidup kamu dan nenekmu di kampung?”
Hana meraih amplop itu dengan tenang, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena haru, tapi karena marah yang ditahan.
Baginya, uang itu bukan jawaban.
“Pulang, ya?” gumam Hana pelan, setengah menyindir. "Memangnya uang lima juta saja sudah cukup?"
Sri menghindari tatapannya. Ia tahu betul maksud Hana. Tapi ia terlalu takut untuk menghadapi kenyataan. Ia pikir semua bisa selesai hanya dengan amplop kecil dan sepotong tempe goreng.
“Lagi pula ini bukan cuma soal uang, Bu,” lanjut Hana, kali ini dengan suara sedikit lebih tegas. “Ini soal janji. Dan harga diri.”
Sri mengatupkan rahangnya, kemudian membalikkan badan. Tak sanggup melanjutkan percakapan, apalagi menatap wajah anak yang dulu ia tinggalkan.
Pintu kamar ditutup kembali.
Ceklek.
Sunyi lagi menyelimuti ruangan itu.
Hana memandangi amplop di tangannya. Lalu mengalihkan pandangannya ke piring di lantai. Tempe gorengnya tampak dingin, seperti perasaan yang ibunya hidangkan sejak pertama kali ia datang.
Ia tak menangis.
Ia juga tak marah secara meledak.
Tapi di dalam dirinya, ada keputusan yang semakin kokoh.
Ia tidak akan pulang. Bukan sebelum ibunya mengakui semuanya. Bukan sebelum dia mendapatkan keadilan yang telah lama hilang.
Tapi setelah dia membalas dendam.
semoga hana masih tetap waspada...jangan sampai hana jadi menikah dengan pria paruh baya yang kejam pilihan si Burhan
good job thorr...sehat sehat..up nya yg bnyk ya ..