Ini hanya cerita karangan semata. Semoga bermanfaat.
Ini kisah cinta Viola Armada dan Yuko Eraser. Di lengkapi dengan misteri di balik kematian Lazio Eraser, Daddy nya Yuko Eraser.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Taurus girls, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
"Ya dicoba saja. Aku kan cuma kasih saran. Selebihnya aku enggak tahu, orang aku belum pernah pacaran," Dari nadanya jelas sekali kalau Yuka iri.
Iri sama mereka-mereka yang sudah diperbolehkan pa.ca.ran. "Eh, emang kamu sudah boleh punya pa.car, Kak?" Yuka menatap Yuko serius.
Yuko menggeleng. "Enggak tahu," Yuko terdiam, dia mengingat wajah Viola yang murung dan selalu menjauh saat dia mendekatinya.
Masa iya Viola ngambek gara-gara aku enggak cepat-cepat resmi.in hubungan aku sama dia? Bukannya dia enggak suka aku, ya? Atau dia pintar nyembunyiin rasa tertariknya sama aku?
Kepala Yuko terasa berdenyut, dia pusing karena banyak memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bikin Viola menjauh darinya.
Yuka yang duduk diboncengan tiba-tiba merasa perutnya tidak nyaman. Dia bergerak gelisah, membuat Yuko menoleh dan bertanya, "Ngapain?"
"Kebelet nih, sudah enggak tahan," Yuka meringis memegangi perutnya yang melilit. "Buruan Kak kita pulang, perut aku sudah sakit banget."
Yuko hanya menggeleng, bisa-bisanya adiknya kebelet ditempat beginian. Mana sepi pula. Dari tadi Yuko perhatikan disini sama sekali enggak ada motor atau kendaraan lain yang lewat. Yuko bergidik saat menatap kesekitar jalanan. Tiba-tiba merasa seram.
Yuko menyalakan motornya. Tapi sampai tiga kali mencoba, motor sama sekali tidak mau menyala. Yuko mencoba sekali lagi, tetap tidak menyala.
"Kenapa, Kak? Aduh! Aku beneran sudah enggak tahan nih, perut aku mules banget," Yuka turun dari motor sambil memegangi perutnya. Meringis.
"Bentar, Yuk. Aku cek dulu. Tahan bentar," Yuko menilik motor dibagian yang sekiranya bikin nggak mau nyala. Disela Yuko yang lagi ngecek motor, Yuka pergi ke salah satu pohon besar nan lebat, dia benar-benar sudah tidak tahan. Yuka membuang yang ingin dibuang disana, dibalik pohon besar nan lebat itu. Pohon yang berlumuran lumut hijau.
Setelah membenarkan posisi busi motor yang sedikit kendor, Yuko kembali menyalakan motornya. Yuko berdecak karena busi yang tadi bikin motor tidak mau menyala.
"Yuk, motornya su... Yuk? Yuka!" Yuko celingukan mencari keberadaan Yuka yang tiba-tiba tidak ada. "Lah, kemana dia?"
"Aku disini, Kak! Tungguin bentar!"
Yuko menajamkan pendengaran, suara Yuka terdengar dari balik pohon yang besar dan ditumbuhi lumut. Yuko menganga tak percaya. "Yuka! Kamu ngapain disitu? Ya Tuhan. Buruan balik!"
Yuko bergerak gelisah, takut adiknya kenapa-napa karena buang air sembarangan. Lihat lah tempat ini sepi sekali, bahkan terkesan gelap karena daun pohon besar terlalu lebat sampai cahaya matahari tidak bisa menerobos sedikit pun. Pinggiran jalan juga terlihat lumutan, kelihatan sangat licin.
Yuka bernapas lega sudah selesai dengan aktivitasnya. Sebelum dia berjalan untuk menuju kakaknya, Yuka komat-kamit seolah sedang berterima kasih karena sudah diizinkan beraktivitas disini.
"Kak, ayo pulang. Aku mau langsung mandi pas sudah nyampe rumah,"
Yuko tidak mau menunggu lama lagi dia segera pergi dari sana karena perasaannya tiba-tiba tidak tenang. Dan begitu sampai dirumah, Yuko menghentikan langkah Yuka yang mau masuk kekamarnya.
"Kenapa?" Yuka menatap Kakaknya.
"Jangan begitu lagi. Aku takut kamu kenapa-napa," Setelah mengatakan itu Yuko masuk kedalam kamarnya yang ada disebelah kamar Yuka.
Yuka mengedik bahu, masuk kekamar dan enggak mau mikirin ucapan kakaknya yang menurutnya enggak terlalu penting.
Yuka duduk ditepian tempat tidur, melepas sepatu, kaos kaki, dan seragamnya. Berjalan kekamar mandi hanya memakai dalaman saja. Begitu didalam kamar mandi, Yuko mengguyur seluruh badan di bawah air shower. Segar, dingin, tapi enggak ada manis-manisnya seperti limi.ni.ril.
Yuka mengusap sabun dengan spon di sekujur tubuh. Sengaja berlama-lama karena ingin mandinya bersih sempurna.
Tok tok
"Yuka!"
Yuka yang asik dengan aktivitas mandinya menoleh ke pintu kamar mandi. Kamar mandinya yang terbuat dari kaca tebal tapi buram menunjukan dengan jelas jika ada bayangan seseorang disana.
"Iya, Kak!" Yuka mematikan air shower untuk mendengar lebih jelas apa yang ingin kakaknya sampaikan, tetapi hingga detik berlalu sama sekali tidak ada ucapan yang Yuka dengar.
Yuka mendengus, dia merasa terganggu dengan tingkah kakaknya yang paling hanya ingin bercanda saja. Yuka kembali menyalakan air shower, mengguyur tu.buh yang di penuhi busa-busa sabun.
Tok tok
Yuka mendesis kesal, dia cepat-cepat menyelesaikan mandinya, meraih kimono putih di gantungan dan membuka kunci pintu kamar mandi. Begitu pintu terbuka tidak ada siapapun di sana.
Yuka keluar dari kamar mandi dan menuju pintu kamar. Tubuhnya menegang melihat pintunya di kunci dari dalam. "Pintunya di kunci, terus kenapa kakak bisa masuk? Atau jangan-jangan," Yuka merasakan hawa sekitar terasa berbeda, dingin dan sedikit ada angin menerpa kulit.
Yuka perlahan menggerakan badannya untuk berbalik. Begitu berbalik sempurna dia tidak melihat apa-apa. "Huh, cuma perasaan aku aja kali,"
...----------------...
Resto sunflower, di sinilah Lova dan teman prianya berada. Mereka tengah menikmati hidangan yang mereka pesan. Sesekali pria itu melirik Lova yang terlihat menikmati makanannya.
Pria yang bernama Velix mengambil sehelai tisu yang tersedia di atas meja. Bergerak dan menjulur tisu itu ke arah sudut bibir Lova. "Belepotan," katanya, melihat Lova yang menatapnya penuh tanya.
Lova tersenyum. Mengangguk. "Terima kasih, tapi aku bisa sendiri," Lova mengambil alih tisu yang di pegang Velix. Membersihkan sudut bibir yang kata Velix belepotan.
Velix membuang napas kasar. Dia kembali pada makanannya. Kembali melirik Lova setelah menyuap satu tusuk buah ke dalam mulut. "Lova,"
Lova mendongak, menatap Velix. "Ya?"
"Laerrr sudah meninggal, kamu masih nolak aku?" Sudah bertahun-tahun bahkan sejak di bangku kuliah Velix menyukai Lova. Tetapi Lova tidak menyukainya, dia malah menyukai Laerrr dan menikah dengannya.
Sampai sekarang ini, Velix masih betah sendiri karena belum bisa menemukan wanita yang memikat hatinya. Velix berharap kali ini Lova bisa dia dapatkan, toh Laerrr sudah tiada.
Sendok dan garpu yang Lova pegang dia letakan di atas piring. Kedua tangannya bertumpu pada tepian meja. Lova menatap Velix serius. "Ve, aku sudah bilang ke kamu berkali-kali. Aku enggak suka sama kamu,"
"Kenapa kamu nggak suka sama aku? Lagian Laerrr su..."
"Stop!" Lova mengangkat tangan, meminta Velix berhenti bicara. "Sudah cukup kamu menjebakku dan membuat suamiku meregang nyawa." Lova beranjak, meraih tasnya dan pergi dari resto itu dengan perasaan bersalah.
Tidak ingin kehilangan yang kesekian kali, Velix menaruh uang dibawah gelas. Dia mengejar Lova yang pasti masih di luar resto. "Lova tunggu!"
"Apa lagi?" Lova berhenti berjalan karena lengannya ditahan oleh Velix.