Gyantara Abhiseva Wijaya, kini berusia 25 tahun. Yang artinya, 21 tahun telah berlalu sejak pertama kali ia berkumpul dengan keluarga sang papa. Saat ia berusia 5 tahun, sang ibu melahirkan dua adik kembar laki - laki, yang di beri nama Ganendra Abhinaya Wijaya, dan Gisendra Abhimanyu Wijaya. Selain dua adik kembarnya, Gyan juga mendapatkan sepupu laki-laki dari keluarga Richard. Yang di beri nama Raymond Orlando Wijaya. Gracia Aurora Wijaya menjadi satu-satunya gadis dalam keluarga mereka. Semua orang sangat menyayanginya, tak terkecuali Gyan. Kebersamaan yang mereka jalin sejak usia empat tahun, perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasa di hati Gyan, yang ia sadari saat berusia 15 tahun. Gyan mencoba menepis rasa itu. Bagaimana pun juga, mereka masih berstatus sepupu ( keturunan ketiga ) keluarga Wijaya. Ia pun menyibukkan diri, mengalihkan pikiran dengan belajar. Mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin Wijaya Group. Namun, seiring berjalannya waktu. Gyan tidak bisa menghapus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Sekretaris Di Ruangan Gyan.
Gyan tertegun di ambang pintu ruang kerjanya, saat mendapati Senja sudah ada di dalam sana lebih dulu. Dan sedang membersihkan meja kerja pria itu.
‘Cepat sekali. Jadi mulai hari ini dia sudah bekerja di ruangan ini?’
Gyan menghitung hari dalam hatinya. Dua minggu masa latihan menjadi sekretaris calon Direktur Utama telah terlewati. Ternyata gadis itu cukup cepat belajar.
Senja sudah bisa melakukan tugas - tugas pokok seorang sekretaris. Maka, om Dion pun melepas gadis itu untuk bekerja dalam satu ruangan bersama Gyan.
“Selamat pagi, kak — pak Gyan.” Ucap Senja dengan sopan, menyambut kedatangan Gyan.
Senja terbiasa memanggil pemuda itu dengan sebutan ‘kak Gyan.’ Seperti yang Cia perintahkan saat mereka berkenalan beberapa tahun silam.
Karena itu, ia selalu lupa untuk memanggil Gyan dengan sebutan ‘pak Gyan.’
“Tidak apa - apa. Saat berdua seperti ini, kamu tetap bisa memangil saya ‘kak Gyan’ seperti biasa.” Ucap Gyan sembari berlalu menuju meja kerjanya.
Pemuda itu menarik nafas sangat dalam, kemudian membuang dengan kasar. Sepertinya, mulai saat ini hari Gyan akan terasa membosankan.
Senja mengangguk paham. Gadis itu kemudian menyimpan lap dan pembersih perabotan di sudut ruangan, tepat di belakang meja kerjanya.
“Maaf, apa kak Gyan ingin minum kopi?” Tanya Senja saat Gyan baru saja mendaratkan bokongnya di atas kursi kerjanya.
Pemuda itu tak langsung menjawab. Kemudian tersenyum tipis ketika mendapatkan sebuah ide.
Ia akan merepotkan Senja, agar gadis itu tidak selalu berada di dalam ruangan.
Bukannya pantry khusus petinggi perusahaan ada di lantai empat belas? Akan memerlukan cukup waktu untuk pergi kesana. Membuat kopi, kemudian kembali ke lantai sembilan belas.
Baiklah.
Gyan memang jarang minum kopi, tetapi mulai sekarang, ia akan berkenalan dengan minuman berkafein tinggi itu.
“Boleh. Kopi susu tanpa gula.” Ucap pemuda itu kemudian.
Senja mengangguk paham. Ia kemudian pamit untuk pergi ke pantry.
“Setelah ini apalagi? Aku harus mencari cara agar gadis itu sibuk di luar ruangan ini.” Ucap Gyan sembari menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Tak berselang lama, Senja pun sudah kembali dengan membawa nampan berisi secangkir kopi susu tanpa gula untuk Gyan.
Dahi pemuda itu berkerut halus ketika cangkir mendarat dengan pelan di atas meja kerjanya.
‘Cepat sekali? Belum juga sepuluh menit berlalu.’
Monolog pemuda itu sembari melirik arloji mahal di pergelangan tangannya. Ia pun berdecak pelan.
“Ini kopi buatan kamu?” Tanya Gyan sembari menatap minuman berwarna cokelat dengan asap yang masih mengepul.
“Iya, kak. Itu kopi buatan aku. Kak Gyan bisa mencicipinya, mungkin kurang pas dengan selera kakak.” Ucap Senja.
Gyan menggeleng pelan. Senja menganggap sang atasan menerima bagaimana pun rasa kopi buatannya itu.
Gadis itu pun pamit untuk menempati meja kerjanya.
Gyan merasa ada perubahan atmosfer di dalam ruangan itu. Suasana menjadi terasa sangat canggung. Ketika ada orang asing yang kini menempati sudut ruangannya.
Ruangan yang sebelumnya sangat luas untuk di tempati sendiri, kini seketika menjadi sempit. Sungguh Gyan ingin mengusir Senja saat ini juga.
“Senja, tolong kamu antarkan berkas ini ke ruangan om Dion.” Perintah Gyan setelah hening beberapa menit.
Gadis yang baru saja menyalakan komputernya itu pun bangkit dari tempat duduk.
“Sekarang, kak? Biasanya kak Gyan membawanya saat jam pulang kantor.” Senja teringat beberapa kali mereka berpapasan di depan lift, dengan Gyan yang membawa beberapa map di tangan.
Gyan menghela nafas pelan. “Itu karena saya bekerja seorang diri. Jadi saya bawa sekalian. Sekarang sudah ada kamu disini yang bisa saya andalkan.” Pemuda itu menekan ucapannya di akhir kalimat.
Senja mengangguk paham. Tanpa kembali berbicara, gadis itu meraih map yang di sodorkan oleh Gyan.
“Jangan kembali sebelum om Dion selesai memeriksanya.” Perintah pemuda itu saat Senja hendak memutar tubuhnya menuju pintu.
“Baik, kak.” Ucap Senja dengan sopan. Kemudian benar - benar menghilang dari ruangan itu.
\~\~\~\~
Saat waktu istirahat tiba, Cia pergi ke lantai sembilan belas untuk mengajak Senja makan siang bersama.
Gadis itu tentu sudah tau, jika hari ini Senja mulai bekerja di ruangan Gyan. Ia ingin memastikan jika kedua muda mudi itu bisa bekerja sama dengan baik di hari pertama mereka.
Pintu ruangan Gyan terbuka dengan lebar. Namun Cia tidak langsung masuk. Gadis itu mengamati kecanggungan yang terjadi di dalam sana.
“Sepertinya aku harus berusaha lebih keras lagi.” Gumam Cia sembari menghela nafasnya.
Gadis itu pun melangkah maju. Ia mengulurkan tangan untuk mengetuk pintu meski papan persegi panjang itu terbuka lebar.
Gyan dan Senja menoleh ke arah pintu secara bersamaan.
“Kak Cia —
“Kenapa mengetuk pintu? Masuk saja langsung.” Ucap Gyan dari tempat duduknya.
Cia mengulum bibirnya sembari melangkah masuk ke dalam.
“Ini sudah waktunya makan siang. Kenapa kalian masih sibuk bekerja?” Gadis itu berdiri di tengah ruangan sembari bersedekap dada. Ia menatap ke arah Gyan dan Senja secara bergantian.
Tidak ada yang memberikan tanggapan. Gyan kembali menatap komputer lipatnya. Sementara Senja tersenyum canggung.
“Sudah. Aku datang untuk mengajak kalian makan bersama.” Ucap Cia lagi. Ia menghampiri Senja. Kemudian membantu gadis itu membereskan mejanya.
“Kak Cia itu —
“Lanjutkan setelah makan siang, Sen.” Potong Cia.
Senja tidak bisa menolak jika Cia sudah menatapnya dengan tajam.
“Gy, ayo. Istirahat dulu. Atau kamu makan siang sendiri. Dan nanti sore aku pulang dengan pak Bima.” Ancam Cia.
Gyan mendengus pelan. Ia tau Cia tidak pernah main - main dengan ucapannya.
Mana mungkin ia membiarkan Cia pulang dengan kepala devisi keuangan itu?
Cia menyeringai tipis saat Gyan bangkit dari tempat duduknya. Gadis itu kemudian mengandeng lengan Senja untuk keluar lebih dulu.
Cia mengajak Gyan dan Senja makan di kedai bakso dan mie ayam yang terletak di sebelah kanan gedung Wijaya.
Selama menikmati makan siang, Cia tanpa henti mencuri pandang, memperhatikan interaksi Gyan dan Senja.
‘Mungkin karena ini masih hari pertama mereka bersama. Karena itu masih canggung. Dan itu artinya aku harus membiarkan mereka untuk lebih sering berduaan.’
“Cia, kalau makan jangan sambil melamun.”
Cia tersentak ketika Gyan melayangkan selembar tisu di depan wajahnya.
Gyan dengan begitu telaten membersihkan kuah mie ayam pada pinggir bibir hingga pipi Cia.
“Kamu sedang memikirkan apa? Makanannya tidak enak?” Tanya Gyan penuh perhatian. Pemuda itu melirik mangkok di hadapan Cia.
“Enak.” Jawab Cia dengan cepat.
Ia kemudian menikmati makanannya dengan lahap.
Gyan menggeleng pelan melihat tingkah Cia. Ia kemudian membukakan botol air mineral milik gadis itu.
“Thank you.”
Interaksi keduanya tak luput dari pandangan Senja. Bukan hanya kali ini, namun saat masih kuliah dulu, gadis itu juga sering melihat Gyan yang begitu perhatian pada Cia.
Di awal perkenalan, Senja mengira mereka berpacaran. Namun, Cia mengatakan jika mereka adalah sepupu dan hubungan keluarga mereka sangat dekat satu sama lain.
Senja pun paham. Akan tetapi, tatapan mata Gyan pada Cia tidak dapat berbohong. Pemuda itu terlihat begitu menyayangi Cia.
...****************...