NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 29

Pagi itu, langit tampak kelabu. Kabut tipis masih menyelimuti hamparan sawah yang membentang luas di pinggiran desa. Seorang pria tua dengan caping lebar membungkuk, menggenggam cangkul, dan perlahan mencangkul tanah basah di bawah kakinya. Tubuhnya kurus, kulitnya legam karena matahari, dan keriput di wajahnya menunjukkan usia yang tak lagi muda. Ia tampak seperti petani pada umumnya. Biasa. Tak mencurigakan.

Ia tidak tahu bahwa pagi itu, maut tengah menatapnya dari kejauhan.

Dari kejauhan, tiga pria bertubuh besar dan berpakaian gelap mengamati gerak-geriknya. Mereka tidak bicara sepatah kata pun. Mereka hanya saling bertukar pandang dan mengangguk. Tugas mereka jelas. Perintah sudah diberikan oleh Rafael:

“Bawa dia. Hidup-hidup.”

Dalam hitungan detik, ketiganya berjalan cepat melewati pematang sawah, langsung mengarah ke pria tua yang masih fokus pada tanah di depannya.

“Hoi, Pak Tua,” suara rendah seorang dari mereka memecah kesunyian pagi.

Si petani menoleh, alisnya mengerut.

“Ada apa, Nak?” tanyanya, polos. Namun tatapannya segera berubah ketika dua tangan kasar langsung menangkap kedua lengannya dari samping, menyeretnya dengan paksa.

“APA-APAAN INI?! LEPASKAN AKU!” teriaknya sambil memberontak.

Namun usianya telah mengkhianatinya. Tubuh renta itu tidak mampu melawan kekuatan tiga pria muda yang bertubuh kekar dan terlatih. Ia hanya bisa meronta seperti ikan kecil dalam genggaman buaya. Salah satu dari mereka membungkam mulutnya dengan sapu tangan, yang lain mengikat tangannya ke belakang.

Dalam waktu singkat, mereka menyeret tubuhnya keluar dari sawah, memasukkannya ke dalam mobil hitam tanpa plat nomor yang sudah menunggu di pinggir jalan.

Petani tua itu tak bisa berbuat banyak. Matanya panik, mulutnya bergumam kata-kata yang tak terdengar. Dalam benaknya, ia hanya mengulang satu nama: Malik. Orang yang membayarnya beberapa waktu lalu untuk “mengawasi rumah besar itu” dan melaporkan pergerakan di dalamnya.

Ia tidak pernah tahu siapa sebenarnya Rafael. Ia tidak pernah menyangka bahwa sekadar menjadi "mata-mata kecil" bisa menyeretnya ke ambang kematian.

Mobil melaju dengan cepat. Jalanan berganti dari jalan desa ke jalan bebatuan, lalu memasuki area terpencil yang penuh pepohonan tinggi. Sebuah rumah tua berdiri megah di tengah rerimbunan pohon. Tidak ada siapa pun di sekitar. Sunyi. Sepi. Menakutkan.

Rumah lama Rafael.

Mereka menarik paksa si petani dari dalam mobil dan menyeret tubuh lelah itu menuruni lorong sempit yang dingin. Dindingnya dari batu bata, lantainya berdebu, lampu-lampu tua bergelantungan dengan cahaya redup yang berkelap-kelip.

Ruang bawah tanah.

Di ujung lorong, ada sebuah sel. Besi tua berkarat menjadi jeruji pintunya. Mereka membukanya, lalu mendorong tubuh petani tua itu ke dalam.

Tubuhnya jatuh. Mengaduh. Ia langsung bangkit perlahan, memegangi sikunya yang terluka.

“APA DOSAKU?! KENAPA KALIAN LAKUKAN INI?!” teriaknya ketakutan. Suaranya menggema, tapi tak ada yang menjawab.

Tiga pria itu hanya menatapnya dingin, lalu mengunci pintu besi sel itu dengan suara “KRAK” yang menggema tajam. Tanpa berkata sepatah kata pun, mereka berbalik dan pergi, membiarkan si petani tua dalam kebingungan dan ketakutan.

“Aku… aku cuma disuruh mengamati rumah itu… aku… aku tak tahu siapa kalian… aku tak tahu siapa dia!” teriaknya dari balik jeruji, air mata mulai membasahi wajah tuanya. “Maafkan aku… Tolong… Tolong, lepaskan aku…”

Namun suara dan permohonannya tenggelam dalam keheningan ruang bawah tanah itu. Tak ada yang peduli.

Dan di atas sana, Rafael berdiri menghadap jendela, menatap hamparan langit kelabu yang kini diguyur gerimis.

Wajahnya dingin. Rahangnya mengeras.

Ia tahu siapa yang berada di balik semua ini.

Dan waktunya untuk bergerak… telah tiba.

Di dalam sel bawah tanah itu, bau darah dari para tahanan sebelumnya belum benar-benar hilang. Di sisi lain ruangan, berdiri kandang besar dari kaca tebal yang diperkuat dengan jeruji besi. Di dalamnya, lima ekor harimau Benggala berukuran luar biasa besar tampak gelisah. Ekor mereka mengibas, kaki-kaki kuatnya melangkah maju mundur, matanya terus menatap ke arah sel seolah mencium aroma darah dari mangsanya yang baru.

Petani tua itu duduk di sudut, memeluk lututnya. Tubuhnya gemetar. Napasnya memburu, dan matanya tak henti melirik ke arah kandang harimau yang hanya berjarak beberapa meter di depannya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Namun instingnya mengatakan bahwa ia tidak akan keluar dari tempat ini dalam keadaan utuh. atau bahkan hidup.

CKLEK.

Pintu sel terbuka.

Langkah-langkah berat terdengar memasuki ruangan. Dua pria bertubuh besar menyusul di belakang sosok yang tak lain adalah Rafael sendiri. Dengan jas hitam panjang yang bergoyang seiring langkahnya, Rafael berdiri tegak seperti bayangan kematian. Tatapannya tajam, tidak berkedip. Sorot matanya mengandung bara. Wajahnya dingin. Jelas. ia sedang marah.

Rafael berhenti tepat di depan petani itu. Suara langkahnya seperti mengunci udara di ruangan itu.

"Siapa yang menyuruhmu?" tanyanya, suaranya datar tapi mengandung tekanan yang begitu menyesakkan.

Petani itu mendongak, tubuhnya menggigil hebat.

"Ma-maafkan saya, Tuan... saya… saya hanya disuruh mengamati rumah Anda dari jauh... saya tidak tahu apa-apa... saya tidak melakukan apa pun selain itu... saya tidak jahat..." katanya terbata-bata.

Rafael tidak menjawab. Sebaliknya,

BRAKK!

ia menendang dinding batu di sebelah petani itu dengan kekuatan penuh hingga temboknya retak dan bergetar. Debu-debu rontok ke lantai. Petani tua itu menjerit pelan, tubuhnya mundur seketika. Ia melihat kekuatan Rafael bukan hanya dari tenaganya… tapi dari sorot matanya yang seperti pembunuh berdarah dingin.

Rafael kembali menunduk, suara dinginnya terdengar pelan namun mengguncang jiwa, “Siapa yang menyuruhmu?”

“Saya... saya tidak tahu, Tuan... demi Tuhan, saya tidak pernah bertemu dengannya... dia hanya menelepon… memberi saya uang... saya orang miskin, Tuan… saya butuh makan… saya butuh hidup... saya tidak tahu kalau ini akan membahayakan siapa-siapa,” lirihnya memohon, air mata mulai jatuh di pipinya.

Rafael menyipitkan mata. Nafasnya mulai berat.

“Kau tahu... apa yang telah kau lakukan?” ucapnya perlahan.

“Kau tahu dengan siapa kau berhadapan sekarang?”

Si petani hanya menggeleng cepat.

“Kau membuat istri dan anakku dalam bahaya... karena pengkhianatanmu, mereka bisa mati. Dan kau tahu apa yang kau akan terima... untuk itu.”

“Tuan, ampun, saya mohon… saya tidak tahu... saya hanya... saya hanya...”

Rafael tidak mendengar lagi. Matanya hanya menatap kosong.

Ia menoleh ke anak buahnya dan memberikan kode dengan anggukan singkat. Salah satu anak buahnya segera berjalan ke sisi tembok dan mengambil sesuatu dari balik lemari besi: sebilah pedang besar, panjang, dan tajam berkilat.

Anak buahnya menyerahkan pedang itu kepada Rafael. Ia mengambilnya perlahan. Tanpa bicara, Rafael menarik sarung pedang, melemparkannya ke depan petani. Sarung itu jatuh tepat di lantai semen, menimbulkan suara gedebuk berat.

Petani tua itu mengerut, tubuhnya merosot. Ia tahu kematian sangat dekat.

“Tidak, Tuan... ampun... ampun... saya mohon... demi Tuhan... lepaskan saya... saya janji tidak akan bicara pada siapa pun... saya tidak akan pernah keluar rumah lagi, Tuan…”

Tapi Rafael tidak peduli. Ia tetap diam. Mata tajamnya menatap lurus, dingin dan tanpa ampun.

Ia menarik tangan si petani, menariknya berdiri meski tubuhnya lemas. Dalam satu ayunan kejam dan cepat...

SRAAKKKK!!

Tangan kiri petani tua itu terlepas dari pergelangan. Darah menyembur seperti air mancur ke tembok, lantai, dan baju Rafael sendiri. Petani itu berteriak histeris, jatuh tersungkur ke lantai, menggeliat dalam kesakitan, menggenggam lengannya yang kini tak lagi utuh.

“AARRRGHHH!! AAAAAAAAKH!! TANGANKU... TUAN, AMPUN... TANGANKU...!!!”

Jeritannya menggema keras dalam ruang bawah tanah. Suara itu bahkan membuat harimau-harimau di kandang kaca menoleh, mengaum pelan, seolah menanggapi penderitaan yang mengisi udara.

Rafael menatap potongan tangan itu tanpa emosi. Ia berbalik. Dengan langkah pelan seperti bayangan kematian yang baru saja selesai mengeksekusi, Rafael berjalan menuju kandang harimau.

Ia membuka satu celah di bagian atas kandang dan melemparkan potongan tangan berdarah itu ke dalam.

BLUKK.

Potongan tangan jatuh ke lantai kandang. Seketika, lima ekor harimau itu menyerbu ke arahnya. Suara cakaran, raungan, dan daging tercabik-cabik memenuhi ruangan. Potongan tangan itu hilang dalam rebutan liar makhluk-makhluk buas tersebut.

Rafael menoleh sesaat ke arah si petani yang masih menggeliat di lantai, nyaris pingsan, darahnya membentuk genangan kecil.

Ia tidak mengatakan apa pun lagi. Ia hanya berjalan meninggalkan ruangan, pedangnya masih meneteskan darah.

Dari lorong, suara langkah kaki Rafael perlahan menjauh… meninggalkan si petani dalam ketakutan, penderitaan, dan darahnya sendiri.

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!